Memasuki semester dua kehidupan sekolahku biasa-biasa saja. Aku yang masih belum mendapatkan teman baik dan aku yang masih dirundung oleh teman-teman angkatanku, tidak jarang senior-seniorku juga ikut mengejek tentang gigiku yang berantakan nan tonggos ini. Tapi aku bisa apa? Melaporkan pada BK sudah terlanjur, panggilan ‘Gitong’ sudah melebar luas. Sehingga guru BK tidak mungkin menyalahkan semua murid disini. Alih-alih aku yang menuntut keadilan, justru nantinya aku yang disuruh berpindah. Jadi, mau tak mau, kuat tak kuat, aku tahan saja, tinggal dua setengah tahun lagi sampai aku lulus sekolah.
Namun, seperti angin di musim panas yang hembusnya menghilangkan dahaga, aku menemukan satu titik cerah. Pertemanku dimulai kala aku yang terlalu dini memasuki ruang kelas sehingga tidak ada satu ‘pun murid yang mengisi ruang kelas. Sebab bosan, aku mengeluarkan buku novel yang kubawa, membacanya sambil menunggu bel masuk berdentang.
Keajaiban itu terjadi ketika berselang beberapa detik masuklah salah satu siswi yang terkenal akan kecantikannya, kecerdasaannya, tapi rusak karena suaranya yang cempeng dan menggelagar dan tingkahnya yang cukup aneh. Toma panggilannya alias Toa Masjid, walaupun beragama katolik, panggilan Toa Masjid sudah melekat padanya.
Saat itu, aku mendengar kerasak-kerusuknya yang bising. Di mulai dari Toma yang membuka pintu kelas dengan berisik, menarik kursinya, duduk, hingga membuka ranselnya. Semua dilakukan begitu terdengar menghebohkan, tapi aku masih terpaku pada buku yang kubaca. Sampai suara decit sepatunya yang mendekat kearahku. Kulirik Toma yang tidak acuh pada lirikanku. Toma dengan santai duduk di kursi guru yang berhadapan denganku, lalu mengisi daya pada ponselnya yang di colokkan pada saklar yang hanya tersedia di dekat meja guru.
Sisanya kami sama-sama diam, aku yang kembali membaca buku, Toma yang memainkan ponselnya. Sampai Toma yang mungkin mulutnya sudah gatal untuk berbicara, dia berceletuk.
“Lo baca Burung-Burung Manyar juga?” tanya nya setelah meletakkan ponselnya di tempat yang cukup tersembunyi dalam kolong meja guru, karena takut jika tiba-tiba ada guru iseng masuk dan ponselnya menjadi sasaran empuk penyitaan.
Aku mengangkat kepalaku. “Iya,” jawabku singkat dan sebab aku yang jarang bergaul membuatku kesulitan mencari ide pembicaraan.
“Gue baru sampai bab dua. Kalau lo udah sampai bab berapa?” tanyanya lagi.
Aku tersenyum simpul mengetahui Toma yang ekspresif dan enggan mengakhiri pembicaraan. “Mau habis.”
Toma mengangguk dan ber-oh panjang. “Lo suka baca buku klasik ternyata,” ujarnya menyimpulkan membuatku hanya bisa menyunggingkan senyum dan mengangguk membenarkan. “Gue juga,” katanya lagi.
“Sama dong,” kataku singkat.
Toma mengerutkan keningnya lalu terkekeh. “Iya, tadi lo udah ngangguk.”
Aku terkesiap malu sambil mengulum bibir.“Lo baca Layar Terkembang gak?” tanyanya lagi.
Sontak mataku membulat berkilat-kilat berpendar menunjukan antusias yang membuncah. “Iya, lo juga?”
Toma mengangguk. Lalu selanjutnya kami saling bertukar pikiran tentang buku tersebut. Tentang karakter yang memiliki pekerti yang berbeda-beda. Ada Tuti yang tegas, cerdas dan mendambakan kebebasan sebagai seorang wanita. Ada pula Maria yang ceria, berwarna dan mampu mencairkan suasana. Ada Yusuf yang cerdas, pemikir dan aktif. Dalam latar belakang Indonesia yang baru merdeka, kisah cinta tragis yang indah dibalut dengan kalimat yang luar biasa menyentuh dan alur yang manis.
“Gue kurang suka dengan karakter Tuti,” kata Toma memberikan suaranya.
“Maksud gue, namanya pernikahan itu pasti ada konsekuensinya. Kalau sudah menjabat menjadi isteri, pasti ada tanggung jawab baru yang mengemban pada pundak kita. Tidak bisa serta merta bisa bebas kesana kemari, menjadi ini itu sekuka hati,” jelasnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita, Cerita, Pena.
Storie d'amore(Tahap Revisi) Terpilih dalam WattpadRomanceID reading list bulan Juli tahun 2023 ---- Hai... Apa kabar mu? Sehat kah? Aku sejauh ini baik-baik saja. Ada banyak untaian yang ingin aku sampaikan, tapi... Maaf. Saat itu aku benar-benar memberi mu bat...