12: TATANAN HIDUP BARU

399 71 22
                                    

Aku memasuki SMAN 28 Jakarta bersamaan dengan Adul, sedang Bone berhasil memasuki SMA yang dielu-elukannya, Bone berhasil memasuki SMAN 8 Jakarta. Jali memasuki SMAN 99 Jakarta, Toma memasuki SMA Penabur dan Ikal memasuki SMAN 62 Jakarta. Berbeda ketika SMP panggilan ‘Gitong’ untukku sudah berakhir. Mungkin karena berbeda sudut pandang dan pola pokir anak SMA lebih diatas anak SMP sehingga pertemanan melalui fisik tidak terlalu masalah selama orang tersebut pintar dan baik-baik saja. Sebab mereasa kesulitan berkomunikasi yang membatasiku untuk bergaul, itu sebabnya aku kembali mati-matian belajar agar tidak kembali diasingkan.

Teman-temanku disini cukup berbeda, walaupun masih segelintir mencontek. Tetapi setidaknya kami menyebutnya sebagai ajang kerja sama. Tidak ada kelompok-kelompokkan dalam bermain, semuanya menyatu saja tergantung bagaimana kita memulainya. Biasanya percakapan antar perempuan terjadi ketika membahas tren-tren kecantikan yang sedang berkembang. Entah itu pakaian atau perawatan wajah. Oleh sebab itu aku memberanikan diriku untuk memasang kawat gigi dan memulai perawatan yang paling dini yaitu membersihkan wajah dengan sabun wajah, serta menggunakan pelembab dan sunscreen.

“Bu, teteh boleh pakai kawat gigi, gak?” tanyaku pelan sembari membantu ambu mencuci piring.

Aku tahu biaya kawat gigi tidak semurah kacang goreng. Penanganannya pun lama, belum ditambah sakitnya yang sampai membuat ubun-ubun berkedut. Sebenarnya, tidak enak hati juga aku memintanya, takut-takut aku menggoreskan luka baru karena pertikaian antar kami baru saja dimulai. Mengingat semua yang kuinginkan orang tuaku tidak pernah wujudkan. Namun, aku nekat saja, mencoba peruntungan.

“Tumben teteh ngebahas soal beginian, bisanya mah yang dibahas pelajaran mulu,” kata Ambu yang masih memotong daun bawang.

Aku terdiam sejenak. “Teteh malu punya gigi kayak gini,” kata lirih pada akhirnya.

Sejujurnya selain malu memiliki gigi maju, hal itu juga tidak baik bagi kesehatan. Dulu ketika SMP sempat ada pemerikasaan gigi dan mulut. Lalu dokter gigi tersebut menyarankan untuk aku memasang kawat gigi, sehabis tanggal semua gigi susuku. Dikarenakan gigi yang berantakan membuat pemiliknya kesulitan berbicara dan tidak baik dalam pengolahan makanan saat mengunyah.

Jeda yang kami buat cukup lama, membuat aku ragu untuk sekadar menanya lagi agar lamunan Ambu tidak berlarut. Ambu sepertinya mengerti bahwa masa pubertasku sedang dipuncaknya dan mulai mengerti artinya mempercantik diri. Atau mungkin bintang keberuntungaku sedang bersinar.

“Begitu, ya. Sebenarnya Ambu dari dulu juga pingin masangin teteh kawat gigi. Tapi gigi teteh ‘kan baru habis semua pas umur 14 tahun dan tahun depannya teteh ada UN,” jelas Ambu cukup panjang. “Tapi sekarang, mungkin sudah waktunya,” lanjutnya membuatku mendelik dan melirik ambu sekilas. “Jum’at besok setelah teteh pulang sekolah, kita ke dokter gigi, ya.”

Senyumku merekah, sembari mengangguk sebagai jawaban. Aku meneruskan cucian piringku dengan hari yang gembira. Untuk kali pertamanya aku mendapat apa yang aku inginkan dari orang tuaku. Hari Jum’at bersama ambu, aku pergi ke rumah sakit untuk diperiksa. Segala macam prosedur sudah kujalani, untungnya gigiku tidak berlubang sehingga pencetakkan gigi pun dimulai sebelum kawat tersebut dipasang.

Aku tidak mendengar jelas apa yang dikatakn dokter sebab aku yang masih terbaring di kursi khusus yang tidak kuketahui namanya. Sementara dokter tersebut duduk dikursinya berhadapan dengan ambu berbicara tentang perihal masalah gigiku. Kata ambu, rahangku terlalu kecil sebab terlalu jarang mengyunyah makanan dan aku memiliki kelebihan gigi sehingga harus mencabut sekiranya empat gigi nantinya.

Perjalananku memakai kawat gigi sungguh sangat menyedihkan. Tiap kali karet baru terpasang ngilunya sampai merambah ke ubun-ubun yang meembuatnya berdenyut. Belum lagi kalau gigiku yang dicabut pakasa oleh dokter, begitu obat biusnya habis, aku hanya bisa menangis merana. Nelangsa. Namun, aku tidak bisa memaki apapun sebab ini kemauanku sendiri. Oleh sebab itu aku masih memaksakan diri untuk tetap belajar, agar tidak mengecewakan ambu dan abah walupun gigiku berasa ngilu sampai menyentuh otak.

**

Enam bulan berjalan dengan perawatan gigi, kini aku mulai terbiasa. Tidak terasa lagi ngilu yang mebuat ubun-ubunku berkedut tiap kali kontrol. Terbiasa karena dipaksa, aku mulai bisa belajar dengan normal sebagaimana semestinya. Sampai memasuki UAS pertamaku di SMA. Sama seperti sekolah kebanyakan, ketika UAS ruangan kami pun diacak, duduk dengan senior agar diharapkan kesulitan untuk mencontek. Namun tetap saja, apa lagi aku dan Adul satu ruangan serta duduk depan belakang. Pastilah ajang kerja sama terpanjatkan.

Di hari ketiga UAS, aku lupa membawa kotak pensilku. Untungnya kartu ujianku kupindahkan kedalam dompet. Pada akhirnya aku meminjam semua alat tulis pada Adul. Dari pensil untuk penjawab soal LJK, penghapus yang kupaksa untuk dibelah dua, hingga pulpen untuk mengisi jawaban esai. Dipertengan jam berjalan, pulpen milik Adul tintanya tersendat. Aku mengguncang-guncangkannya, tapi tak kunjung keluar. Ketika kubuka ternyata tintanya habis.

Nasib, meminjam memang. Aku menendang kursi Adul perlahan, namun anak itu tidak berani menoleh sebab dia yang duduk di paling depan tepat berhadapan dengan papan tulis dan kebetulan pengawas hari ini, guru yang cukup disegani disini. Adul menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, menoleh sedikit lalu berbisik.

“Apa?”

Aku mencondongkan tubuhku. “Pulpen lo mati, lo gak ada pulpen lagi?”

“Kagak, minjem sama birseh sono,” bisiknya pelan takut terdengar.

“Birseh aja boleh nemu,” kataku tidak kalah pelan.

Pertikaian kecil-kecilan kami mulai berlangsung. Sampai tiba-tiba ada sebuah uluran pulpen dari senior yang duduk disebelahku. Aku menoleh, menatapnya yang masih fokus dengan kertas ujiannya. Sebuah pulpen clay yang dulu sering aku koleksi bergambar no name dari anime buatan Hayao Miyazaki. Mataku beralih pada pulpen tersebut sampai senyumku terkebang, lebar hingga rentetean gigiku yang dipagar terlihat.

“Pakai ini aja dulu,” katanya masih fokus pada kertas ujiannya.

Aku mengangguk mengucapkan terimakasih dengan kaku lalu kembali mengerjakan soal ujianku yang terbengkalai beberapa menit itu. Sampai ujian selesai memulangkan pulpen lucu tadi yang ingin kucuri pada pemiliknya dan berterimakasih padanya.

**

Pertemuanku dengan dia berlanjut dua hari setelahnya. Kala itu aku yang masih pergi sekolah menggunakan angkutan kota, terlambat bangun pagi padahal ujian sekolah masih berlangsung. Tanpa sarapan, aku menaiki angkutan kota yang masih berhenti tepat didepan gang rumahku. Sepertinya bintang keberuntunganku sudah kugunakan cukup banyak kali ini, karena tepat lima menit lagi bel sekolah berbunyi. Aku bahkan belum sampai setengah perjalanan menuju sekolah.

Kepanikkanku melanda ketika kulihat dari kejauhan daerah pasar yang sering kulewati macet total. Belum lagi supir angkutan kota yang tidak peduli dengan ketelatanku. Aku mengerang berkali-kali. Sudah terbanyang ujian susulan didepan mataku sebab aku yang terlambat masuk sekolah. Aku mengutuk nasib. Ternyata bintang keberuntunganku tidak sepenuhnya padam. Aku bertemu lagi dengannya.

Saat itu aku yang duduk di sebelah pintu angkutan kota yang selalu terbuka. Merasa sesak, kuputuskan untuk mencondongkan tubuh untuk melihat keadaan luar angkutan kota dan mendapatkan angin segar. Lalu kejadian yang tidak terduga itu datang, motor matiknya berhenti tepat disamping pintu angkutan kota yang sedang kunaiki. Dia menoleh begitu pula dengan aku, kami sama terkejut. Mata kita saling beradu, tetapi tak cukup lama. Sampai sebuah klakson panjang dari belakang menghamburkan keterkejutan kami ,pada detik berikutnya dia mengajakku ke sekolah bersama dengan motor matik biru putihnya. Pilihanku seperti diujung tanduk, tapi mau tidak mau aku iyakan.

Dari pada harus mengngerjakan ujian sendiri di ruang guru. Lebih baik malu menebeng dengan seseorang yang tidak terlalu dikenali. Kekurangajaranku terjadi ketika aku tak sengaja memeluk ransel miliknya dan memebenamkan wajah di ranselnya, sebab dia yang menancap gas sepedah motornya seperti atlet balap motor. Sama-sama dikejar oleh sang waktu aku tidak berani protes ataupun mengaduh.

Aku sampai dengan selamat dengan waktu yang tepat. Aku mengangkat wajahku, kulihat parkiran motor sudah sepi sebab para siswa-siswi sudah masuk kedalam ruangan masing-masing. Masih mematung diatas jok sepedah motornya begitu pula dengan dia, yang masih tidak percaya apa yang sedang dia perbuat. Bunyi bel masuk menyadarkan kami dan kami langsung buru-buru berlari bersama menuju ruang ujian. Sebenarnya, bagiku ini kejadian baru yang lucu, tetapi aku tidak sempat tertawa sebab langsung dihadapkan soal-soal yang membuatku berpikir. Sampai, bel istirahan berbunyi, aku dan dia sama-sama menoleh lalu terkekeh bersama mengingat sebuah kejadian konyol yang ganjil itu.

Kita, Cerita, Pena.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang