1: CERITA PERTAMA

2.6K 146 45
                                    

Aku tidak pernah mengerti bagaimana bisa seseorang menilai orang lain hanya dengan tampak rupanya saja? Terdengar konyol dan terasa bodoh? Jika rupa menjadi sebuah patokan, lantas bagaimana pandangan tentang hati dan kecerdasan manusia? Apa hanya menjadi sebuah pajangan? Lucu. Atas dasar pandangan itulah, pada akhirnya aku menjadi manusia yang paling membenci diriku sendiri. Malu lebih tepatnya. Aku menatap wajahku lamat-lamat pada cermin kaca kamar mandi Sekolah Menengah Pertamaku. Setelah membasuhnya beberapa kali sebab pelupukku kini tengah memanas dan hendak mengeluarkan linangannya.

Aku lupa memperkenalkan diriku. Aku seorang siswi SMPN 49 Jakarta yang sedang beranjak remaja, di usiaku yang baru menginjak 12 tahun. Emosiku sangat tidak stabil, sehingga membuatku mudah menangis dan marah. Walaupun mampu kutahan, emosiku tetap bergejolak dalam diam.  Kadang tiap kali aku mendengar lontaran ejekan yang mengutukku, aku dapat merasakan nyeri pada hatiku, hingga mataku memanas dan air mataku siap menetes.

“Eh, Gitong lewat, gitong lewat,” seru sekelompok begundal yang sedang duduk-duduk di persimpangan kamar mandi sekolah dan tangga ketika aku baru keluar dari kamar mandi dan hendak menuju kelasku.

Itulah panggilanku. Gitong alias Gigi Tonggos. Satu sekolah menyerukan nama panggilanku seperti itu, karena memang gigiku yang tonggos, berantakan dan sulit mengatupkan bibir. Mungkin mereka pikir itu hanyalah candaan lucu dan panggilan yang wajar. Sebab di Sekolah Menengah Pertama-ku jarang sekali anak yang dipanggil dengan nama aslinya. Semua ada julukannya, entah itu dari fisiknya, sifat anehnya ataupun memanggil dengan nama panggilan bapaknya.

Namun, sekali lagi aku hanyalah anak yang sedang beranjak remaja yang emosinya tidak stabil. Sehingga panggil itu terlalu sakit untuk didengarkan. Pasalnya mereka yang memanggil-manggilku ‘Gitong’ setelahnya tertawa terbahak-bahak atas gigiku yang besar dan maju.

Seharusnya ejekkan yang kudapat sejak Sekolah Dasar, membuatku kuat ketika memasuki SMP. Namun, ternyata aku yang terlalu lemah untuk menanggapi ejekan tersebut. Oleh karena hal itu, aku pelan-pelan menyekap diriku sendiri. Seperti mematikan karakterku sendiri yang seharunnya mulai kubangun ketika aku remaja ini. Aku tumbuh menjadi remaja yang cukup pendiam, pemalu, sulit untuk mengungkapkan pendapatku dan ragu untuk bergaul.

Sesampainya di kelas. Aku langsung duduk membenamkan wajahku diatas meja dengan tanganku yang bertumpu. Hari ini cukup melelahkan sebab banyak guru yang tidak dapat masuk mengajar, karena ada rapat internal perihal Ujian Nasional yang akan berlangsung semester depan. Jika seharusnya, jam kosong menjadi acara yang paling disukai oleh semua murid, aku tidak merasakan seperti itu.

Sebab, jika jam kosong dimulai banyak anak-anak terutama mereka yang laki-laki bercanda menyeru-nyerukan nama panggilan yang paling kubenci. Menertawakan gigiku yang merupakan kejelakan rupaku. Begitupula anak perempuan lainnya yang ikut tertawa menikmati opera yang sedang berlangsung. Menjadikan diriku badut sirkus yang menjadi bahan bercandaan mereka. Belum lagi, aku yang sampai saat ini tidak punya teman kelompok seperti perempuan-perempuan lainnya, sehingga tidak ada yang membelaku.

Mungkin memasukkanku dalam anggota mereka akan menjadi bencana bagi mereka. Sebab keburukan rupaku yang akan merusak citra anggota kelompok mereka, karena memiliki teman sekolmpok yang berparas menawan begitu dielu-elu oleh beberapa remaja muda. Bahkan, ada satu kelompok wanita-wanita yang wajah menawan-menawan semua, terkenal dan menjadi dambaan para siswa. Oleh sebab itulah aku ditolak dimana pun.

Alih-alih mengerjakan tugas dari bu Tuti guru Bahasa Indonesia. Teman-teman di kelasku malah asik mengobrol dengan kelompoknya masing-masing. Ada pula para anak perempuan saling ber-swa foto dari ponsel yang mereka bawa secara diam-diam dan para anak laki-laki sibuk bermain kuda templok. Ada pula anak laki-laki yang menjadi anggota begundal pergi berkerumun bersama begundalan lainnya ke kantin sekolah. Sedangkan aku hanya bisa membenamkan wajahku sebab tak ada lagi yang bisa kulakukan, karena tugas dari bu Tuti sudah aku selesaikan.

Kita, Cerita, Pena.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang