Melepas seseorang memang begitu sulit untuk dilakukan. Pun yang dirasakan oleh Ibu dan Ayah tiga anak itu. Mendekap erat si sulung nampaknya sudah dilakukan berulang kali demi mengulur waktu perpisahan.
"Mbak Anja cuma pindah gak jauh dari sini, Bu. Cuma tiga puluh menit doang." Rinjani mengelus punggung sang Ibunda penuh hangat guna menyalurkan ketenangan yang kiranya dapat mengurangi kegundahan hati Yani. Menggeleng pelan, Yani masih enggan untuk melepas si sulung.
Sedikit tidak menyetujui ucapan Rinjani karena bagi Yani, tiga puluh menit itu lama sekali. Jaraknya pun lumayan jauh. Terlebih kota Jakarta yang selalu macet.
Seolah tak ingin suasana sedih berlarut-larut, Sabda dengan kurang ajarnya melepas paksa pelukan perempuan beda generasi itu. "Udahan dulu. Sekarang kita berangkat." Sabda berucap sok tegas dengan muka yang dibuat seserius mungkin.
Lenkara memukul kepala belakang Sabda dengan enteng. "Gaya lo, bocah!"
Sabda menatap sengit Lenkara. Baginya, manusia macam Lenkara harus dibasmi dari dunianya. Sudah berhati dingin, tidak berperi-kemanusiaan pula. Pantas saja jika banyak lelaki yang pilih mundur ketimbang harus mendapat pukulan maut gadis berambut pendek itu. Tapi, herannya, masih ada satu manusia gigih yang pantang menyerah untuk mendekati Lenkara. Bahkan sudah diberi tanda silang pun laki-laki itu tetap maju tak gentar. Seolah menentang garis merah yang menjadi batas dirinya untuk melangkah.
"Cantik, jangan pukul-pukul gitu, ah." Ucap Wisesa yang baru saja datang bersama dengan Khai. Senyuman Sabda merekah seketika tatkala mendengar penuturan Wisesa.
Sabda merasa terbela. Maka dengan gaya tengil, Sabda menyugar rambut legamnya ke belakang dan tersenyum pongah. "Tuh dengerin kata Bang Sesa. Cewek kok kasar," cibir Sabda kemudian. Baru saja ingin membalas ucapan Sabda, Lenkara merasakan pergerakan lembut pada tangannya.
"Tuh kan merah. Aduhh.. sakit nggak?" Wisesa meniup-niup pelan telapak tangan Lenkara guna mengusir semburat merah yang kontras dengan warna kulit putihnya.
Sabda yang tadinya merasa menang pun menatap cengoh Wisesa dan Lenkara. Tapi, tidak hanya sampai di situ keterkejutan Sabda. Pasalnya, kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Wisesa mampu membuat Sabda tidak habis think dan ingin menghancurkan pot bunga milik Yani saat ini juga.
"Lain kali pinjem tangan gue aja, ya? Soal pukul-memukul gue juaranya." Dengan lembut Wisesa mengusak surai Lenkara dan tersenyum.
Demi Allah, Sabda ingin menghajar mereka berdua sekarang juga! Ternyata selama ini pemuda itu salah menilai seseorang. Wisesa sama-sama gilanya dengan Lenkara! Dunia macam apa ini? Kalau tahu begitu, Sabda tidak akan memberi lampu hijau untuk Wisesa. Niat hati mencari sekutu untuk melawan Lenkara, justru musuh yang dia dapatkan.
Dasar manusia prik! Batin Sabda menjerit.
Memang yang terbaik hanya kakak iparnya alias Mas Khai.
"Baku hantam ajalah kita. Sini maju kalian!" Sabda sudah memasang kuda-kuda dan menggulung lengan bajunya sampai pundak. Siap menantang keduanya dengan jurus yang diajarkan oleh Jejen. Masih ingat Jejen, kan?
"Dek," panggil Khai setenang mungkin.
Sabda enggan menoleh, "Diem dulu, Mas Khai." Jawab pemuda itu sembari mengepalkan tangan siap meninju.
"ASTAGHFIRULLAH ADEKKK! CELANA KAMU MELOROT!" Pekik Rinjani demi mengalihkan atensi Sabda.
Sabda melotot kaget dan reflek melihat ke bawah.Celananya memang melorot sampai lutut bawah. Bagaimana bisa dia tidak menyadarinya? Sial! Sudah kepalang malu, Sabda lari tunggang langgang ke dalam rumah sembari menaikkan celananya dan memegangnya erat supaya tidak melorot. Mana boxer yang dipakainya berwarna hijau dengan motif bunga-bunga yang dibelikan Yani karena promo sepuluh ribu dapat tiga sewaktu di pasar kemarin. Lagian juga Sabda tidak sadar saat memakainya tadi karena terburu-buru.
Di samping itu, Abim sudah tertawa hebat sambil memukul punggung Khai, menantunya. Yani yang melihat menantunya dipukul pun menjewer telinga Abim hingga memerah. "Kebiasaan banget kalau ketawa heboh pasti mukul orang!" Semprot Yani pada Abim.
"Sekarang gue tahu kenapa Lenkara suka mukul." Gumam Wisesa pelan ketika melihat Khai yang meringis kecil akibat gebukan ayah mertuanya.
"Apa?!" Sewot Lenkara yang masih bisa mendengar gumaman Wisesa. "Hehe, kita damai~" ucap Wisesa dengan cengiran yang menurut Lenkara sangat menyebalkan.
"Kita langsung pulang aja, yuk?" Ajak Rinjani lantas menarik lengan Khai untuk menjauh.
"Habis itu simulasi bikin debay, ya?"
"Mulutnya!"
Khai pun tertawa lepas saat melihat wajah Rinjani memerah.
Hikss, lucuukk. Mau jugaa
~♥~Holaaaaa
Long time no see,
Gimana kabarnya?
Semoga segala hal baik kalian terima ya!
Salam dari Khai,
Pict ini aku dapet dari twitter,
Edyannnn, Tuan Muda Lee Jeno ini memang bisa membuat keributan dalam hati!😭🤧
Dahlah, byeee! 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
never know
ChickLitTentang anak sulung si tukang emosi. Tentang anak tengah bersama rahasianya. Tentang anak bungsu dengan karandoman tinggi.