Prolog

300 39 7
                                    

Pagi ini, mentari begitu semangat menyapa cakrawala, untuk kemudian angin menyapu bersih serupa permen kapas berwarna putih guna menunjukkan eksistensi si biru yang terhampar luas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi ini, mentari begitu semangat menyapa cakrawala, untuk kemudian angin menyapu bersih serupa permen kapas berwarna putih guna menunjukkan eksistensi si biru yang terhampar luas. Sangat luas hingga mampu menyadarkan manusia betapa kecilnya mereka dibanding alam semesta ini.

Ditemani secangkir teh hangat dan roti gandum di sisinya, jemari lentik itu bergerak halus menekan tuts piano guna menghantarkan senyawa rindu melalui melodi indah yang dia buat. Sangat indah bahkan tak ayal untuk menarik makhluk hidup selain dirinya menikmati melodi indah yang tercipta. Seolah terhipnotis akan irama yang dibuat, seseorang memejamkan matanya dan berjalan mengikuti alunan indah dan lembut itu, hingga...

Brukk

Pyarrrr

Prangggg

TRINGGGG

"IBUUUUUU"

Teriakan penuh kesakitan ditambah suara piano tidak beraturan itu membuat suasana kian dramatis dan menegangkan.

Dengan perasaan kesal si anak tengah berdiri untuk kemudian menghentakkan kakinya dan berkacak pinggang menatap nyalang si pelaku.

"SABDA HADI GALENO!!!"

Mendengar nama lengkapnya dipanggil, si empu yang tengah kesakitan pun meringis dan menghela napas pelan demi menetralkan detak jantungnya yang tidak karuan. Si bungsu berusaha tenang dengan menunjukkan senyuman indah dan dua mata yang mengerjap lucu. Siasat meluluhkan lawan yang dikira ampuh, nyatanya tidak mempan sama sekali untuk menyelamatkan hidupnya pagi ini.

"Hehe, peace, kita damai," menunjukkan cengiran menyebalkannya, Sabda segera bangkit dan berlari dengan tertatih menjauhi singa tidur yang baru saja dia bangunkan. Belajar dari pengalaman, Sabda memilih untuk kabur dibanding menerima cubitan maut dari kakak keduanya. Beruntung bukan kakak pertamanya yang dibuat kesal. Bisa-bisa pemasok uang tambah jajan untuk membeli bakso bakar Bang Jarwo terpaksa istirahat untuk sementara waktu.

Tak lama, pintu utama terbuka lebar. Dua orang perempuan beda generasi yang menampilkan raut wajah bingung dan terkejut muncul dibalik pintu. Berjalan cepat, wanita berumur 45 tahun yang masih terlihat cantik dan muda itu menghampiri anak tengahnya yang sedang membereskan pecahan beling yang berserakan.

"Kenapa, Kak? Kok bisa pecah?" Tanyanya yang kemudian menaruh dua kantong plastik putih berisi buah yang dibelinya sewaktu di pasar tadi.

Yang ditanya pun hanya diam, sibuk mengumpulkan pecahan-pecahan beling. "LENKARA DWISARI!" Suara lantang dari arah belakang mereka seolah memberi peringatan pertama pada sang empunya nama.

"Ditanya Ibu tuh di jawab, bukan malah diam. Sopan begitu? Iya?!" Si sulung yang menjunjung tinggi unggah-ungguh pun tersulut emosinya.

"Mbak Anja diem dulu. Ini adeknya lagi fokus bersihin beling." Wanita paruh baya yang disebut Ibu itu tersenyum lembut menenangkan si sulung.

Beliau bernama Cahyani, atau sering dipanggil Ibu Yani. Ibu tiga orang anak dengan pembawaan lemah lembut namun tegas diwaktu yang sama.

"Tapi Bu-"

"Dyah Rinjani." Nada tegas itu mampu membuat si sulung terdiam. Menarik napas dalam lalu menghembuskannya pelan, "Aku ke dapur dulu," ucapnya kemudian undur diri membawa serta plastik putih berisi buah-buahan yang dibawa Ibundanya tadi.

Setelah lama terdiam, Lenkara Dwisari atau biasa dipanggil Ara pun membuka suaranya, "Aku buang ini dulu, Bu." Tunjuknya pada pecahan beling yang sudah terkumpul di dalam plastik hitam.

"Ada yang luka?" Tanya Yani khawatir. Kemudian, gelengan sang puan membuat ibu tiga anak itu menghela napasnya pelan lantas mengangguk membiarkan Ara pergi keluar rumah untuk membuang plastik berisi beling. Berharap emosinya ikut terbuang bersama serpihan terkecil dari gelas teh yang hancur pagi ini. Menyampingkan rasa perihnya akibat perkataan kakak tertuanya yang sialnya mampu membuat hatinya berdenyut nyeri biarpun benar yang diucapkan. Namun, tetap saja, Dyah Rinjani tidak mau mengerti bagaimana perasaannya saat ini.
Bagaimana menahan mati-matian sebuah emosi demi keselamatan hati orang lain.

♡♡♡

Fanfict pertamakuu btwSalam hangat,I love me Byeee

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fanfict pertamakuu btw
Salam hangat,
I love me
Byeee...

never knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang