Bagian 5

107 16 4
                                    

Bola mata Rinjani bergerak-gerak. Perempuan itu sudah sadar beberapa menit lalu. Tapi masih enggan untuk membuka matanya. Banyak ketakutan tentang hal-hal buruk yang mungkin saja bisa terjadi.

"Hey~" Suara itu nampak asing namun juga tidak. Rinjani sepertinya pernah mendengar suara berat itu sebelumnya. "Buka matanya pelan-pelan aja. Lensa mata kamu udah dicopot kok sama dokternya tadi. Tenang aja," ucap seseorang itu dengan lembut.

Tanpa sadar Rinjani menghembuskan napasnya pelan. Kemudian mengerucutkan bibirnya. "Ck, baru aja kemarin keluar rumah sakit." Gumamnya pada diri sendiri. Dengan perlahan namun pasti, Rinjani membuka netranya sedikit demi sedikit. Menyesuaikan cahaya yang masuk beserta ringisan kecil yang keluar dari bibir mungilnya.

"Perih," lirih Rinjani lalu menutup kembali kelopak matanya.

Seseorang mendekat. Saking dekatnya, Rinjani mampu merasakan napas hangat orang tersebut. Semerbak bau mint mamasuki indera penciumannya. Rinjani menahan napas. Untuk pertama kalinya dia sedekat ini dengan seseorang.

Semilir angin kecil meniup lembut kelopak matanya beserta jemari yang turut andil untuk memberi sentuhan pelan pada ujung kedua mata. Seseorang itu menjauh, "Sekarang buka." Ujarnya dengan halus.

Rinjani menurut dan berhasil. Netra jernih dengan bola mata hitam itu terbuka sempurna.

"Siapa?" Tanya Rinjani pada pemuda di sampingnya dengan kerutan di dahi.

"Khai." Pemuda itu mengusap pelan dahi Rinjani. "Ternyata dunia sempit yaa,"

"Kita pernah ketemu?" Rinjani menatap penuh wajah Khai yang terlihat sedikit buram itu.

"Si motor biru sama kacamata."

Mata Rinjani membola, "Deketan sini." Perintahnya kemudian.

Khai yang bingung pun menurut saja. "Kena—ADUH SAKIT!" Rinjani menggeplak kepala Khai kencang.

"Karena kacamata gue yang lo injek, gue jadi kayak gini, brengsek!"

"Kok kamu nyalahin saya?"

"Masih nanya?!" Emosi Rinjani sudah berada di ubun-ubun. "Keluar! Gue gak mau liat muka jelek lo."  Perempuan itu memalingkan wajahnya kesal.

Khai mendekat dan membawa Rinjani ke dalam dekapannya. "Hey, dengerin saya dulu. Maaf sebelumnya udah nginjek kacamata kamu. Maaf juga udah lancang meluk kamu kayak gini. Demi Allah, saya benar-benar menyesal liat keadaan kamu seperti  ini." Ucapan lembut itu nyatanya mampu menenangkan hati Rinjani. Katakan jika Rinjani itu lemah dengan kata-kata. Tapi, memang kenyataannya begitu.

"Jahat tau gak...hiks," Entah kenapa jiwa dan raga Rinjani menjadi lemah seperti ini. Dia sulit sekali menumpahkan tangisannya sekalipun di depan orang tua beserta kedua adiknya itu. Namun, kali ini berbeda. Rasanya Rinjani seperti menemukan sebuah tempat yang tepat untuk mengeluarkan sisi lemahnya.

"Assalamualaikum—ANJIRR MAS KHAI ASTAGHFIRULLAH JAGA JARAK SATU METER DARI MBAK ANJA!" Sabda langsung berlari tunggang langgang menghampiri Rinjani yang sekarang ini tengah berada di pelukan lelaki lain selain keluarganya.

Pemuda itu memisahkan keduanya. "Istighfar Mas, Mbak. Bukan muhrim!" Ucap Sabda menggebu-gebu,"Nikahin dulu baru boleh pelukan." Ceplosnya begitu saja.

Khai yang tadinya terkejut pun tertawa kecil. Lalu tersenyum jahil ke arah Sabda, "Loh, kalo Mas emang udah nikah sama Mbak mu, gimana?"

Sabda tampak berpikir, "Y-ya boleh sih—HAH KAPAN?!" Seru Sabda yang membuat Rinjani terkejut. "Galeno..."

Sabda meringis pelan, "Siap salah, Tuan Putri!"

never knowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang