XI

10.3K 1.6K 217
                                    

Di kursi belakang mobil mewah itu, Richa duduk dengan tidak nyaman. Dalam beberapa menit sekali, gadis itu akan melirik ke layar ponselnya, wajahnya menunjukkan kegelisahan tapi pada saat bersamaan juga dengan keras kepala berusaha berpikir bahwa itu benar.

Di depan, sopir yang mengemudikan mobil memperhatikan tingkah majikannya yang tampak tidak biasa. Karena ini hari Senin, mungkinkah dia takut terlambat upacara? Namun, ini masih setengah jam lagi sebelum jam masuk sekolah. Sopir itu ingin bertanya, tapi akhirnya mengurungkan niat karena tahu jika majikan muda ini memiliki temperamen yang agak panas.

Pada saat itu, ponsel Richa tiba-tiba bergetar singkat. Dengan tubuh tegang, jarinya pelahan bergerak, lantas membukan pesan yang baru saja masuk. Namun, tidak lama kemudian, wajahnya perlahan menjadi pucat dan dia buru-buru mematikan benda tersebut.

Lagi-lagi pesan yang, ini sudah keempat kalinya sejak tiga hari lalu.

'Kamu selanjutnya.'

Hanya dua kata itu, tapi Richa merasa sekujur tubuhnya langsung mati rasa. Richa ingin mengabaikannya, bertindak seolah-olah dia tidak mengerti apa maksud pesan itu, tapi pada kenyataannya, pikirannya selalu membimbingnya pada suatu pemahaman.

Tidak bisa menahan gemetar, Richa mulai meringkuk sambil memeluk tubuhnya sendiri. Itu tidak mungkin, pasti bukan itu maksudnya! Bagaimanapun, dia tidak pernah membunuh Aran, tapi kenapa hal-hal seperti ini justru terjadi padanya dan temannya.

"Nona, apa kita kembali saja ke rumah? Anda sepertinya terlihat tidak enak badan."

Richa bahkan tersentak saat mendengar suara sopir keluarganya bertanya. "Tidak, tidak, langsung ke sekolah," jawab Richa.

Pesan itu dikirim padanya tidak peduli di mana dia berada. Lalu apa bedanya dia kembali ke rumah? Lagi pula di sana tidak ada siapa-siapa, dan Richa merasa itu bahkan lebih berbahaya.

Sopir itu ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi melihat Richa terlihat tidak mau mendengarkan, ia akhirnya hanya mengemudikan mobil dalam diam.

Tepat di depan gerbang, seseorang yang berjalan dari kejauhan melihat Richa baru saja turun dari mobilnya. Gadis itu, Melati, tampak diam sejenak. Tangannya yang menggenggam sebuah kertas berwarna merah mencengkeram kuat, tanpa sadar memejamkan matanya.

Melati menarik napasnya panjang, sebelum kemudian berjalan ke arah gerbang dengan pikiran penuh rencana.

"Apa yang kamu lihat?" Gina yang saat itu sedang mematikan mesin motornya berbalik ke arah Aruna yang berdiri diam sambil menatap ke arah lain, tapi ketika dia melihat ke sana, Gina tidak mendapati siapa pun yang dia pikir dapat menarik perhatian Aruna.

"Gina, apakah kamu suka keramaian?" tanya Aruna sambil memandang temannya yang mendorong motor melewati gerbang sampai ke area parkir.

"Keramaian yang seperti apa?" Gina yang polos hanya bisa memikirkan sesuatu seperti festival atau pasar malam. Jadi dia mengangguk agak ragu. "Yah, aku tidak terlalu keberatan. Dibandingkan sepi seperti kuburan, ramai juga bagus."

"Benar sekali, ramai itu bagus." Aruna mengulang.

Alis Gina hampir menyatu karena bingung, tapi saat melihat senyum kecil tiba-tiba muncul di bibir Aruna, dia tanpa sadar mulai merinding. "Sebenarnya apa yang kamu maksud?"

"Tidak ada." Aruna tertawa melihat wajah temannya yang waspada, tidak tega untuk menakutinya. "Aku hanya berpikir bahwa sekolah kita benar-benar sangat suka keramaian."

Pagi itu setelah bel masuk sekolah, guru yang mengajar mata pelajaran matematika belum muncul ke kelas XI IPA 2 bahkan setelah 10 menit berlalu. Awalnya para siswa mengira mereka dapat bebas untuk mata pelajaran ini, siapa yang mengira jika selanjutnya Wakil Kepala Sekolah akan datang bersama seorang wanita muda dan mengatakan jika itu adalah guru matematika mereka yang baru.

Asphodel ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang