5 jam perjalanan (lagi) harus ditempuh oleh Tama dengan pesawat pribadi milik perusahaan keluarganya, sebuah buku tentang seni menjalani hidup yang setengah lebih halamannya sudah ia baca menemani perjalanan pulangnya kali ini.
Pukul 21.33 pesawat landing di negara kelahiran Tama, ia segera bangkit dan mengambil kopernya dari kabin segera setelah pilot memberitahukan bahwa pesawat telah berhenti dan Tama diijinkan untuk turun.
Tama menarik koper kecilnya menyusuri bandara menuju tempat parkir, ia membuka bagasi mobilnya dan memasukkan koper kesana. Setelah koper dimasukkan, Tama segera menuju kursi pengemudi dan memacu kuda besinya menyusuri jalanan kota menuju penthousenya.
Pukul 22.17 mobil mewah yang Tama kendarai memasuki area penthouse, ia memarkinkannya di garasi dan berjalan masuk setelah menurunkan koper kecilnya. Tama segera membersihkan dirinya dan merebahkan tulang-tulang yang hari ini ia paksa duduk di pesawat selama kurang lebih 10 jam pergi-pulang.
Sebelum memejamkan matanya, lagi-lagi Tama teringat mengenai masa lalunya dan Anandya, namun ingatan itu segera hilang digantikan oleh Kirana, si gadis pramusaji yang baru ia kenal beberapa hari terakhir, ya gadis yang siang tadi mengirim cake untuknya sewaktu dia masih di Paris.
Pagi menjelang, mentari menyapa dengan garis sinar yang mirip benang transparan, kali ini Tama tampak masih terlelap dibalut selimut tebalnya, pria itu tampak tenang dalam tidurnya.
Hampir pukul 7 dan Tama masih tampak tentram dalam mimpinya, entah apa yang tengah ia lakukan dalam dunia fananya sehingga membuat sosok berkulit putih itu seolah enggan bangun dan menjalani kehidupan di dunia nyata yang menyesakkan ini.
Tak berselang lama dering ponsel rupanya berhasil menganggu Tama, dengan mata masih setengah tertutup Tama berusaha meraih ponselnya yang berada di atas nakas, ia menggeser tombol terima telepon dan menempelkan benda persegi itu ke telinganya.
'Kau dimana tuan Aryasatya? Jam berapa sekarang? Masih di Perancis? Aku bilang apa soal memberi kabar?' Adalah cercahan pertanyaan dari Maha, ya bisa dipastikan pria itu kini tengah berkacak pinggang di ruangan Tama.
"Ck, aku masih mengantuk karena lelah, handle saja kalau ada pertemuan pagi, aku datang ke kantor sebelum makan siang, sudah diam, aku mau melanjutkan tidurku!" Balas Tama dengan suara serak khas orang bangun tidur.
Terdengar dengusan kesal dari Maha, 'Memang benar-benar kau ini, kalau jam 9 kau belum menampakkan diri di kantor, awas saja!' Ancam Maha.
"Hush! Kubilang diam, aku mau melanjutkan tidurku, sudah!" Dan Tama memutus sambungan telepon begitu saja tanpa peduli Maha di seberang sana sudah siap menyemprotnya dengan makian dan omelan.
Waktu terus berjalan seolah tidak mempedulikan bahwa ada beberapa umat manusia yang butuh mengistirahatkan tubuhnya sedikit lebih lama, sementara sang surya seperti punya pemikiran yang sama, ia terus menerus meninggi, memperkokoh kedudukannya atas planet dalam tata surya juga bumi.
Jam kecil di atas nakas Tama menunjukkan pukul 08.19 namun keadaan masih seperti beberapa waktu lalu, selimut nampak senantiasa memeluk si empunya seolah melarang sang tuan untuk menjalani aktifitas selain berselancar dalam dunia fana.
Menit berikutnya Tama tampaknya memutuskan untuk meninggalkan dunia fananya, pria berkulit putih itu tampak mengulat dan berusaha membuka matanya sementara matanya meraba jam dan mengangkat benda itu untuk didekatkan ke wajahnya, "Sial, sudah hampir pukul 9!" Umpatnya.
Tama meletakkan kembali jam yang ia pegang tadi dan segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya, setelah selesai ia segera ke wardrobe dan memilih setelan jas berwarna abu tua untuk ia kenakan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Piece Of Love [BTS SUGA] ✔
Fanfiction(Trigger Warning ⚠️ : Kecelakaan) Pada akhirnya Adyatama Madani Aryasatya atau yang kerap disapa Tama mau tidak mau harus memimpin perusahaan yang dibangun oleh kakeknya, pasalnya ia menjadi satu-satunya pewaris dari keluarga Aryasatya. Dengan diban...