1. Kembalinya Aster

564 87 4
                                    

"Arsen! Mami sudah bilang berapa kali kalau kau harus sarapan dulu?"

Airin kembali dibuat kesal. Dia sudah membuat sarapan, tapi lagi-lagi putranya tak makan sedikit pun. Arsen malah terburu-buru dengan seragam sekolah yang sudah dia kenakan.

"Nanti saja, sarapan di sekolah," ucap Arsen yang berjalan menghampiri Airin. "Aku berangkat."

Satu kecupan dilayangkan pada pipi Airin, rutinitas pagi yang selalu Arsen lakukan sebelum akhirnya berangkat ke sekolah. Padahal, dia masih memiliki banyak waktu, tidak terlambat atau semacamnya.

Dan seperti biasa, Airin hanya bisa menghela nafasnya. Selalu seperti ini belakangan ini, berakhir dengan dirinya yang sarapan seorang diri. Arsen terasa mulai menghindar darinya, Airin sadar mereka sudah tidak sedekat dulu.

"Apa karena kau semakin besar, ya?" gumam Airin disertai helaan nafas yang kembali dia lakukan.

Tak mau mengulur waktu memikirkan hal itu, Airin lebih memilih segera menyelesaikan sarapannya. Bersiap untuk kembali bekerja, meski melelahkan, dia tak bisa berhenti begitu saja. Ada Arsen yang harus dia cukupi kebutuhannya, sebab mereka hanya tinggal berdua saja. Airin yang bertanggung jawab penuh atas putranya itu.

"Mami?"

Airin membulatkan matanya begitu dia keluar dari rumah. Menatap seseorang yang kini menunjukan senyuman yang begitu lebar.

"Aster? Is that you?"

Pria di hadapan Airin mengangguk. Sebelum akhirnya berhambur ke dalam pelukan Airin. Dimana wanita itu masih menunjukan ketidakpercayaannya atas apa yang dia dapati saat ini juga.

"Mami, akhirnya aku bisa bertemu denganmu. Ternyata kau memang secantik di video, lebih cantik!" Seru Aster di dalam pelukan Airin.

Airin meneteskan air matanya. Dia bahkan bisa merasakan jantungnya berdegup dengan lebih cepat daripada biasanya. Pelukannya juga begitu erat, seolah baru saja menemukan sesuatu yang selama ini hilang di dalam hidupnya.

Karena pada faktanya memang seperti itu, dia kehilangan Aster belasan tahun lalu. Dimana Aster harus tinggal bersama ayah kandungnya. Dua anak kembarnya, Arsen dan Aster, harus berpisah selama ini. Begitu juga dengan Airin sendiri yang tak pernah bertemu dengan Aster sejak anaknya itu menginjak usia enam bulan.

"Bagaimana bisa kau mengenali Mami? Lalu, bagaimana bisa kau berada di sini? Kau datang dengan ayahmu?" tanya Airin penasaran. Pelukannya juga sudah terlepas, dia memilih untuk menatap wajah Aster di sana.

Aster menyunggingkan senyum. "Mami selalu melakukan panggilan video, meski tak sering. Jelas aku mengenali Mami. Wajahmu juga tidak berubah dari foto yang sempat aku temukan di ruangan Daddy."

Aster kini mengangkat kedua bahunya. "Aku juga datang sendiri. Aku kabur dari rumah," tambahnya.

"What? Ada masalah di sana? Kenapa? Ayahmu menyakitimu?" tanya Airin panik.

Aster menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. "Tidak, hanya saja dia melarangku terus untuk datang ke Korea. Jadi, aku lebih memilih kabur. Aku ingin tinggal bersamamu, Mi."

Airin tidak tahu harus bagaimana dia sekarang. Senang? Khawatir? Atau perasaan lainnya?

"Kemari, kita masuk dulu ke dalam dan—"

"Aku tidak mau menambah anggota keluarga lagi di rumah."

Keduanya menoleh. Airin dan Aster menoleh secara bersamaan pada pemilik suara. Pernyataan yang tiba-tiba saja mereka dengar.

"Arsen?"

"Wow, saudara kembarku?"

"Aku tidak setuju kalau Aster tinggal di sini," ucap Arsen menghampiri keduanya. Mengabaikan apa yang baru saja dikatakan keduanya.

Airin lantas menatap Aster dan Arsen bergantian. Baiklah, dia malah salah fokus karena keduanya benar-benar mirip. Wajah dua anak kembarnya memang terlihat sama persis.

Kecuali dengan beberapa hal yang membedakan seperti, tato di lengan Aster, style yang mereka kenakan, dan gaya rambut keduanya yang berbeda. Jika diperhatikan lagi, sepertinya mereka berdua memiliki sikap dan sifat yang berbeda.

"Tunggu, kenapa? Aku juga anak Mami Airin, kenapa tidak boleh? Tapi sebentar, wajah kita benar-benar mirip ternyata," ucap Aster dengan kekehannya. Sama seperti Airin, dia juga salah fokus dengan wajah Arsen yang mirip dengannya.

Jelas, mereka anak kembar!

Berbeda dengan Aster yang terkekeh dan Airin yang tersenyum melihat keduanya, Arsen justru hanya diam. Wajahnya begitu datar, terkesan dingin dengan keseriusan yang ditunjukannya.

"Mami benar-benar akan menyetujuinya tinggal di sini? Bagaimana kalau Papi—"

"Daddy," koreksi Aster.

Arsen menoleh ke arah Aster, terlihat kesal.

"Terserah apa sebutannya. Bagaimana kalau dia mencarinya? Mami bisa terkena masalah. Aku tidak mau itu terjadi," jelas Arsen serius.

"Hai, ini pertemuan pertama kita. Pertemuan aku, kau, dan Mami. Jadi, kenapa malah sudah kau perlakukan aku seperti ini? Kakak macam apa kau?" Aster lantas mendecak. "Kakak durhaka, iya?"

Arsen memutar bola matanya malas. Dia tak menyukai itu. Fakta jika dia adalah kakak dari adik kembarnya. Adik yang sama sekali belum pernah dia temui.

"Oke, oke! Sekarang kita masuk lebih dulu ke dalam. Kita tidak bisa berdebat di luar seperti ini," ucap Airin menengahi keduanya.

"Aku mau berangkat sekolah. Aku bisa terlambat," tolak Arsen.

"Benar juga. Aku harus pindah sekolah. Mami, aku mau bersekolah di tempat yang sama dengannya," tunjuk Aster pada Arsen.

Arsen lantas menatap Aster tajam, semakin tak suka.

"Oke, serang kau berangkat dulu ke sekolah, Arsen. Dan Aster, ayo masuk ke dalam terlebih dulu. Kau juga pasti lelah setelah menempuh perjalanan jauh."

Arsen melihatnya, Airin yang merangkul tangan Aster di hadapannya. Dan dia tak menyukai itu!

"Mam—"

"Good morning, everyone!"

Suara lain terdengar. Suara baritone yang khas, suara yang terdengar tak asing bagi Airin dan Arsen.

"Vee?"

Arsen menoleh ke arah Airin, matanya memicing. "Kau masih dekat dengannya?"

Airin hanya bisa merutuki Vee di dalam hati. Dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan yang baru saja dilemparkan oleh Arsen.

"Arsen? Belum berang— wow! Arsen ada dua?" Vee menghentikan langkahnya. Menatap terkejut ke arah Arsen dan Aster bergantian. Seolah dia baru saja menemukan sebuah hal luar biasa.

"Airin, apa Arsen membelah diri?" tanya Vee kemudian.

Dan dengan semua itu, kini Airin hanya bisa kembali merutuk kesal di dalam hati.

Satu masalah belum selesai, dan dia akan mendapatkan masalah lain. Choi Vee, sialan!

TO(GET)HERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang