7. Keputusan

217 51 0
                                    

"Ini minumnya," ucap Aily begitu dia memberikan segelas air putih pada Vee begitu dia kembali ke kamar Arsen.

Vee menoleh pada Arsen tanpa dia menerima gelas yang disodorkan Aily. "Berikan padanya," ucap Vee pada Aily.

Aily akhirnya paham. Dia tahu yang dimaksud Vee hingga akhirnya dia segera memberikan air putih itu pada Arsen.

Sebenarnya Arsen sendiri sama sekali tidak haus dan malah kebingungan apa maksudnya Vee memberikan air putih tersebut. Akan tetapi, karena Aily sudah memberikannya, Arsen juga tidak dapat menolak dan meminum sedikit dari isi gelas tersebut.

"Aku tidak sedang membela siapa pun, tapi kau tahu kalau Aster juga tak bersalah. Kupikir kau juga sudah tahu bagaimana ceritanya kalau memang sebenci itu pada ayahmu, bukan?"

Arsen lantas terlihat mengangguk pelan. Ya, dia memang sudah cukup tahu bagaimana ceritanya hingga mereka bisa terpisah. Untuk itu dia merasa begitu kesal saat berhadapan dengan ayahnya. Sama kesalnya saat Aster tiba-tiba datang dan meminta tinggal di sana. Hingga akhirnya semua kacau karena ayahnya juga ikut datang menyusulnya.

Arsen tak suka saat sang Mami harus menghadapi pria itu lagi. Meski pada faktanya pria itu adalah ayah kandung Arsen sendiri, tetap saja tak membuat Arsen akan berbaik hati padanya saat dia sendiri sama sekali tak menunjukan kasih sayangnya selama ini pada dirinya. Membuat Arsen merasa seperti anak buangan.

"Tetap saja, aku tak suka jika Aster harus tinggal di sini," ucap Arsen.

"Itu terserah padamu. Tapi, jangan lupakan kalau Mami mu juga berhak memutuskan. Sama seperti kau, faktanya Aster juga anaknya. Dia juga pasti sama rindunya pada Aster, begitu juga sebaliknya."

Arsen terdiam. Dia tak dapat kembali melanjutkan perdebatannya dengan Vee. Terlebih saat seseorang kini tengah mengetuk pintu Arsen. Dimana di sana, sudah ada Airin yang kini berdiri tepat di pintu yang memang terbuka sejak tadi.

Dan selanjutnya, ada Aster yang juga muncul di belakang Airin.

"Dia tetap tinggal di sini?" tanya Arsen saat melihat saudara kembarnya itu.

Dengan ragu, Airin mengangguk. Berbeda dengan Aster yang nampak mengangguk dengan bersemangat dan senyuman lebarnya.

"Dia sudah pergi? Maksudku, papinya Aster?" tanya Arsen sekali lagi.

"Papimu juga, Ars," koreksi Airin.

"Papi kita. Daddy kita, Arsen!" Seru Aster tak ingin kalah.

"Terserah apapun itu!"

"Dia sudah pergi untuk sekarang, dia akan membiarkan Aster di sini untuk sementara," jelas Airin soal pertanyaan Arsen sebelumnya.

"Aku mau mengantar Aily dulu," ucap Arsen tanpa menanggapi apa yang dijelaskan Airin. Dimana dia lebih memilih untuk menarik pergelangan tangan Aily di sana dengan lembut.

"Oh? Benar, Aily maaf tante tidak menyadari kau. Maaf juga atas keributan yang harus kau lihat di sini," ujar Airin merasa tak enak pada Aily.

Seharusnya dia menyambut dengan baik gadis itu seperti biasanya. Satu-satunya teman dekat Arsen, tapi yang didapatkan gadis itu malah perdebatan seperti tadi.

"Tidak apa-apa, Mami. Aku juga sebenarnya datang untuk menyapa saja," ucap Aily dengan senyuman yang dia tunjukan.

Dimana berikutnya, Arsen malah membawa Aily berjalan pergi dari sana.

"Arsen!"

"Sudah, Airin. Biarkan dulu Arsen. Kurasa, gadis itu juga bisa membuat Arsen lebih tenang dan memikirkan semuanya dengan baik," tahan Vee bersamaan dengan dia yang menahan tangan Airin saat hendak menyusul Arsen yang sudah berjalan keluar kamar.

Aster lantas terdiam. Dia paham mungkin Arsen memang masih sulit menerimanya. Meski dia mencoba untuk bersikap baik dan seolah dia mudah bergaul. Nyatanya, dia juga merasa bersalah pada Arsen. Dia juga sempat merasa tak enak pada Arsen, bersamaan dengan rasa cemburunya pada Arsen karena selama ini tinggal bersama Airin.

Setidaknya Arsen pasti mendapatkan perhatian yang cukup dari Airin. Tidak seperti dirinya, yang bahkan bertemu dengan Juna saja jarang sekali karena kesibukannya. Aster tak mengerti kenapa juga Daddy nya itu menyusulnya kemari, padahal biasanya saja tak perduli jika dia tak pulang ke rumah.

"Kau bisa tidur di kamar Mami dulu, Aster," ucap Airin kemudian pada Aster.

Aster mengangguk dan menunjukan senyuman lebarnya. "Boleh aku juga mandi dulu sebentar?"

Airin mengangguk. Hingga akhirnya Aster nampak berjalan meninggalkannya. Meraih tas miliknya dan berjalan menuju kamar Airin.

Vee menatap pada Airin. Sorot matanya melembut seketika, dimana di saat bersamaan Airin juga seolah menunjukan kepeningannya di sana.

"It's okay. Kau bisa mengatasinya sedikit demi sedikit," ucap Vee dengan usapan pada lengan Airin.

Airin sendiri menganggukkan kepalanya dengan perlahan.

Dan pada detik berikutnya, Vee sudah memberikan satu pelukan pada Airin. Menunjukan keperduliannya pada Airin denhan pelukan yang dia berikan, dengan usapan yang dia berikan juga pada punggung wanita itu.

"Kau sudah bekerja keras, Bae," ucap Vee lembut.

Pada saat itu juga Airin sadar, dia memang merasa nyaman saat bersama Vee. Seolah saat bersama pria itu, rasa lelahnya sedikit berkurang. Dia membutuhkan Vee untuk tetap bersamanya. Meski, Airin masih tidak bisa berpikir kalau mereka bisa bersama selama itu. Terlalu banyak hal yang menjadi penghalang.

TO(GET)HERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang