10. Dengan Arsen

188 42 0
                                    

Helaan nafas lega dirasakan Airin. Meski tak sepenuhnya, dia memang cukup merasa lega saat dia telah berbicara pada Aster. Respon Aster juga tak seburuk yang dia bayangkan.

Nyatanya, Aster yang terlihat berbeda dalam beberapa hal dengan Arsen, tetap saja terlihat sama baiknya dengan Arsen. Hidup berjauhan selama ini tetap tak membuat keduanya benar-benar berbeda. Membuat Airin juga yakin, kalau Aster dan Arsen juga memiliki ikatannya sendiri. Jauh dari lubuk hati mereka, pasti ada rasa yang tidak bisa diungkapkan begitu saja.

Hanya tinggal menunggu waktu, hingga semuanya perlahan membaik dan mereka menyadari semua itu. Khususnya mungkin adalah untuk Arsen.

"Hai, Seri!" Sapa Airin saat pintu di depan Airin sudah terbuka –Rumah Aily–

Seri tersenyum dengan begitu ramah. Wanita berambut pendek itu menyambut kehadiran Airin dengan baik.

"Oh hai, Airin! Masuklah," ucap Seri dengan pintu yang sudah dia buka dengan lebar.

Airin mengangguk dengan senyuman yang dia tunjukan. Sebelum akhirny melangkahkan kakinya memasuki hunian besar Seri dan keluarganya di sana.

"Mami Airin!"

Panggilan yang diteriakkan juga lantas menyambut Airin di dalam rumah tersebut. Dimana Airin dapat melihat Aily nampak berlari kecil menghampirinya. Sebelum akhirnya melayangkan sebuah pelukan untuk Airin di sana.

Ya, nyatanya Aily juga sudah sedekat itu dengan Airin.

"Aily, ajak Mami Airin untuk duduk. Bunda mau buatkan minum dulu," ucap Seri saat melihat Aily memeluk Airin dengan begitu erat.

Seri sampai menggelengkan kepalanya sembari terkekeh saat melihat itu semua. Tidak dengan Arsen, tidak dengan ibunya Arsen, Aily seperti begitu tak ingin berpisahnya.

"Ah, tidak, Seri. Tidak perlu. Aku kemari hanya mau menjemput Arsen," ucap Airin.

Seri menatap Airin dengan begitu lembut. Dia paham yang dimaksudkan Airin. Dia juga memiliki seorang putra, jadi Seri paham bagaimana rasanya. Mengurus anak laki-laki lebih sulit daripada mengurus seorang anak perempuan.

"Arsen ada di halaman belakang, sedang bersama Yugi," ucap Seri. Dimana yang dimaksud adalah suaminya, ayah Aily. "Biar aku panggilkan dia," tambahnya yang langsung melangkahkan kaki meninggalkan Airin di sana.

"Arsen nya mau dibawa pulang lagi ya, Mami? Memangnya tidak boleh kalau Arsen menginap di sini saja beberapa hari lagi? Tinggal di sini terus bagaimana?" tanya Aily dengan bibir yang sudah menekuk, cemberut.

Airin terkekeh saat melihat Aily. Jujur saja, gadis itu menggemaskan. Membuat Airin lantas mengusap pipi Aily dengan lembut. "Tidak boleh, Aily. Bagaimana pun Arsen itu pria. Kalau dia tetap menginap di sini selama itu, yang ada nanti malah menimbulkan pembicaraan yang tidak-tidak. Lagipula, memangnya Aily tega kalau Mami tidak tinggal bersama Arsen?"

Aily terdiam dan sedikit menunduk. "Tidak tega juga, sih."

"Aily anak baik," ujar Airin dengan satu usapan pada lengan Aily.

Fokus Airin lantas teralihkan saat Seri sudah kembali bersama Arsen yang mengekor di belakangnya. Dimana raut wajah kekesalan masih terlihat jelas di wajah Arsen di sana.

***

Hening menyelimuti. Mobil yang melaju dengan kecepatan sedang itu hanya berisi keheningan saat dua orang di dalamnya tak dapat memulai pembicaraan untuk dikeluarkan. Airin fokus menyetir. Sedangkan Arsen di sampingnya sibuk memperhatikan gedung-gedung yang terlewati di sampingnya.

Sampai pada saatnya Airin merasa dia yang harus memulai terlebih dahulu. Tidak bisa jika harus saling terdiam terus seperti itu saja.

"Sudah makan?" tanya Airin mencoba untuk berbasa-basi.

"Sudah," jawab Arsen singkat. Sama sekali tak ada jawaban lainnya yang dia tambahkan.

Airin menghela nafasnya. Arsen memang tak banyak bicara. Tapi, kali ini rasanya Arsen masih marah hingga berkata lebih singkat lagi.

"Boleh Mami bicara denganmu soal Aster?" tanya Airin yang beberapa kali menoleh pada Arsen.

Namun, sayangnya tak ada jawaban yang diberikan Arsen.

"Mami anggap kau memperbolehkan," ucap Airin kemudian.

Dan lagi-lagi, tak ada jawaban.

"Ars, jawab Mami, ya? Please."

"Apa, Mam? Aku mendengarkan," ucap  Arsen yang kini sudah menoleh pada Airin.

Arsen tak tega juga kalau harus membuat Maminya memohon seperti itu.

Dan hal itu membuat Airin sedikit tersenyum lega sebab setidaknya Arsen mulai mendengarkannya dengan baik.

"Boleh Mami tahu apa alsanmu tak ingin Aster tinggal bersama kita?" tanya Airin berhati-hati. Suaranya juga begitu terdengar lembut.

Dia ingin Aster mengerti apa yang dia maksudkan. Airin juga tak ingin jika Arsen salah paham atau semacamnya.

Arsen tak langsung menjawab pertanyaan Airin. Dia hanya terdiam seolah tengah berperang dengan dirinya sendiri. Antara harus mengatakannya dengan jujur, atau justru mengatakan sebuah kebohongan.

"Mami selalu mengingatkan agar kau bisa selalu berkata jujur pada Mami, Ars," ucap Airin.

Kalimat dari Airin pada akhirnya mampu membuat Arsen memutuskan apa yang harus dia lakukan. Dengan kepala yang sedikit menunduk, Arsen berbicara.

"Aku tidak ingin perhatian Mami padaku berkurang. Aster sudah mendapatkan perhatian pria itu, seharusnya cukup. Dia tak perlu datang pada kita untuk mendapat perhatianmu," ucap Arsen pada akhirnya.

Rasanya, hati Airin begitu tersentuh saat Arsen mengatakannya. Hatinya juga terasa mencelos begitu saja. Tak menyangka jika Arsen mengatakan demikian. Dia kira, Arsen tak setuju karena memang dia tak menyukai Aster. Tapi, ternyata Arsen juga memiliki alasannya tersendiri.

Airin segera menepikan mobilnya di bahu jalan yang sepi. Hingga akhirnya menghadap pada Arsen dan membawa satu tangan putranya itu ke dalam genggaman.

"Lihat Mami, Ars," pinta Airin saat Arsen berusaha menghindarinya.

Dan itu berhasil, Arsen pada akhirnya menatap pada Airin.

"Dengar, ya? Tidak akan ada yang berubah, Ars. Kalian berdua sama-sama putra Mami. Mami juga akan memberikan perhatian yang sama untuk kalian. Mami tetap menyayangimu seperti biasanya. Dengan membiarkan Aster tinggal bersama kita, tak akan membuat Mami lantas hanya fokus pada Aster."

Arsen terdiam. Dia tak tahu bagaimana harus memberikan respon yang benar. Dia juga sebenarnya merasa lega saat Airin memberikan penjelasan seperti itu, tapi tetap membuat Arsen meragu tentang kehadiran Aster. Ini masih terasa aneh untuknya.

Seperti dia tiba-tiba saja harus menerima fakta jika dia memiliki saudara kembar. Padahal, selama ini dia selalu merasa kalau dia hanyalah satu-satunya.

"Tapi, aku tidak mau sekamar dengan Aster. Jangan biarkan dia juga tidur di kamar Mami," ucap Arsen.

Airin tersenyum menatap Arsen yang kini justru menghindari tatapannya. Secara tak langsung, Arsen mulai menerima Aster untuk tinggal bersama.

Dengan anggukkan kepala setuju di kepala Airin, wanita itu juga terlihat mengusap punggung tangan Arsen dengan begitu lembut.

"Iya, Ars. Nanti Mami akan membuat kamar baru untuk Aster," ucap Airin antusias. Dimana kelegaan mulai menyeruak di dalam dadanya. Setidaknya, satu masalah telah selesai meski dia sendiri sadar justru ini adalah awal dari beberapa hal yang mungkin akan terjadi saat mereka tinggal bersama.

"So, can i hug you now?" tanya Airin.

Arsen menggelengkan kepalanya. Membuat Airin sempat menghela nafasnya kecewa. Tapi, Airin tetap menunjukan senyumnya. Dia juga sudah bersiap untuk kembali melajukan mobilnya, sampai tiba-tiba—

"But i can give you a kiss," ucap Arsen dengan satu kecupan yang dia layangkan pada pipi Airin.

Kecupan teramat singkat yang mampu membuat Airin tersenyum begitu lebar. Sebelum akhirnya dia mengusakkan tangannya pada rambut Arsen di sana.

"My precious boy!"

TO(GET)HERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang