((4.a))

2.4K 383 73
                                    

"Bapak tidak apa-apa?" tanya Rebecca yang terlihat cemas dengan kondisi Alvin, keringat sebesar biji jagung ke luar dari pori-porinya.

"Perut saya sakit sekali," keluh Alvin.

Rebecca yang kebingungan hanya bergerak tak jelas. Dia tidak tau harus melakukan apa.

"Apa perlu ke rumah sakit saja, Pak?"

Alvin berpikir sejenak, ide Rebecca tidaklah buruk.

"Tolong, kamu cari Hakim. Suruh dia antar saya!" kata Alvin yang bibirnya sudah pucat.

Rebecca mengangguk. Bergegas dia pergi mencari Hakim, seorang security yang cukup dekat dengan Alvin. Jarak rumah sakit tak jauh dari gedung kantor. Hanya perlu waktu tiga menit jika kondisi jalan lancar.

Seorang dokter wanita yang sudah berumur menemaninya.

"Bapak menderita Mag, hindari makanan pedas, panas dan asam. Kurangi minum berkafein seperti kopi. Oh, ya, Bapak merokok?"

Alvin menggeleng, dulu dia adalah perokok berat, dan demi Dayu, dia berhenti merokok, sebagai salah satu syarat untuk menikah dengan wanita itu. Wanita suka mengatur sampai hal sekecil-kecilnya.

"Tidak, Dok."

"Bagus, karena nikotin tak bagus untuk penderita mag seperti Bapak. Baik, saya tuliskan resepnya, silakan tunggu di luar!"

"Baik," sahut Alvin, dia dibantu oleh Hakim dan Rebecca turun dari ranjang rumah sakit.

"Terimakasih," kata Aldi pada Rebecca sambil tersenyum dan direspon Rebecca dengan senyuman yang amat manis. Hakim yang melihat semua itu berdehem sebagai tanda tak nyaman.

"Sebaiknya Bapak tidak usah masuk kantor dulu hari ini, bapak bisa kok istirahat di kos saya, tempatnya tidak jauh dari sini, kalau sudah pulih baru pulang," kata Rebecca setelah mereka sampai di mobil. Sedangkan Hakim hanya bisa menjadi pendengar yang baik.

"Apa tidak masalah?" tanya Alvin.

"Kalau bagi saya, ya nggak apa-apa." Rebecca menyahut dengan wajahnya yang berbinar. Dia bukan tak tau, Alvin sudah menikah. Dia tau pasti, pria itu bukan pria lajang, tapi dia menaruh hati pada pria itu, pria tampan dan mapan serta menjanjikan masa depan yang cemerlang bagi setiap wanita.

"Kos kamu di mana?"

"Setalah ini, kita belok kiri!" kata Rebecca. Dia merasa kegirangan.

"Belok kiri, Kim!" perintah Alvin pada Hakim yang hanya bisa pasrah. Ingin menegur, tapi dia takut dianggap terlalu ikut campur.

Sebuah kossan yang cukup bagus, dengan halaman parkir yang luas, terdiri dari sepuluh pintu. Kos Rebecca terletak di bagian tepi, warna cat biru muda dan keramik putih. Terkesan terawat dan bersih.

"Nanti kalau aku telepon, baru kamu ke sini," kata Alvin pada Hakim. Hakim tak menjawab, dia hanya mengangguk, walaupun enggan.

"Silakan masuk, Pak! Maaf, berantakan." Rebecca buru-buru menyingkirkan tumpukan pakaian di atas sofa hitam itu, serta menyingkirkan gelas dan piring kotor yang ada di meja di depan sofa.

Gorden masih dalam keadaan tertutup, Rebecca buru-buru menariknya dan membuka jendela, sehingga udara masuk ke dalam. Hidung Alvin menangkap, bau tak enak, yang ternyata berasal dari kandang kucing Anggora yang pasirnya dipenuhi oleh kotoran yang belum dibuang.

"Saya ingin menawari Bapak makan, tapi saya tidak bisa memasak, saya hanya punya ini," kata Rebecca, dia menyodorkan roti kemasan pada Alvin. Alvin mengambilnya, dia butuh nasi.

Alvin memaksakan dirinya mengunyah roti itu, dengan sebotol air mineral. Lalu meminum obatnya.

Rebecca membuka blazernya, Alvin terpaku, pada tanktop hitam yang membungkus dada sintalnya, Alvin menemukan tato kecil di pangkal dada wanita itu, setangkai bunga mawar.

Alvin meneguk ludah susah payah.

"Maaf, Pak. Udaranya panas."

Rebecca pura-pura kepanasan dan mengipas dirinya sendiri. Alvin hanya terpaku, Rebecca terlihat sangat mengagumkan.

***
Ramaikan dong, Beb. 100 komen hajar. Wkwkwkw

Kira-kira bakal ngapain, ya?

Merengkuh Peluh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang