Langit baru saja gelap. Aku sudah berdandan rapi sejak usai magrib tadi. Kemeja lengan panjang warna putih dan rok hitam yang sampai menutup atas mata kaki.
“Eh ... kamu mau kondangan di mana?” tanya Lisa sambil terkekeh melihat penampilan culunku.
“Aku mau melamar kerja, tadi Om Sentot menawari aku kerja di kafenya.”
“Hah ... Gak salah, Lu? Jangan-jangan kamu mau di ....”
“Di ... Apa?” tanyaku penasaran.
Lisa terlihat celingak-celinguk, lalu buru-buru menarik tanganku agar mengikutinya masuk ke dalam kamarnya.
“Kamu tahu enggak? Om Sentot itu germo. Kafe yang dia punya itu cuma kedok saja, di dalamnya mah sama saja, bisnis lendir.”
“Bisnis lendir? Bisnis lendir apaan?” tanyaku polos.
“Duh kamu benar-benar katro ya!” Lisa menggaruk-garuk kepalanya seperti kebingungan harus mengatakan apa. “Kamu masih ingat dengan tawaranku tadi siang?”
“Tawaran yang mana? Jual keperawanan?”
“Nah itu kamu tempe!”
“Kok tempe?”
“Kan tempe temannya tahu, ah tulalit kamu!” Lisa melengos kesal. “Jadi ... Om Sentot sama kayak aku, cari mahasiswa atau anak-anak ABG yang mau terjun ke dunia malam. Masih mending aku, nawari kamu jual keperawanan dengan harga tinggi, nah kalau dia tahu-tahu jual kamu ke Om-om terus uangnya ditilep dia sendiri? Rugi, Lu! Udah jual keperawanan. Enggak dapat apa-apa lagi.”
“Jangan suuzan gitu, ah! Siapa tahu dia benar-benar ingin membantuku memberi pekerjaan.”
“Ha ha ha haaaa!” Lisa terkekeh mendengar pembelaanku. “Ini Jakarta, Men! Lu pikir segampang itu dapat pekerjaan? Terus kamu juga mau bilang aku tidak mau membantumu? Iya dia ingin memberimu pekerjaan, tapi sama sepertiku, MENJUAL KEPERAWANAN!”
Sebenarnya aku agak tidak suka juga dengan kata-kata Lisa yang terkesan sentimen terhadap niat baik Om Sentot, tapi setelah aku cerna, kata-katanya ada benarnya juga, waspada lebih baik dari pada akhirnya menyesal karena terjebak dalam kesesatan. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah terlanjur berjanji akan datang ke kafe miliknya, setidaknya aku lihat dulu bagaimana situasinya di sana.
“Ya itu sih terserah kamu saja sih, aku cuma sebatas menyarankan dan membantu mencarikan lawan yang mau membayar ‘lebih’ keperawananmu dari pada lewat Om Sentot yang sudah pasti mengambil semua keuntungan dan hanya memberimu uang ala kadarnya.”
Aku jadi ketakutan mendengar semua ceramah Lisa. Aku sendiri kurang kenal betul dengan Om Sentot, hanya sesekali bertemu dengannya pas dia ikut menemani Bu Saodah buat menagih uang sewa.
“Terus aku mesti bagaimana?”
“Ya kamu buktikan saja kata-kataku, dari pada kamu penasaran, mana yang benar dan mana yang enggak, apa aku bohong atau aku mengada-ada, mending kamu jalan saja deh.”
“Temenin, dong!” pintaku.
“Hah? Temenin? Ogah! Mending aku open BO dari pada nemenin kamu ke sana.” Meskipun berkata ketus, Lisa terlihat berpikir juga.
“Eh ... Boleh deh, siapa tahu di sana ketemu Om-om tajir, lumayan kan bisa nambah-nambah buat beli bedak dan pergi ke salon.”
Akhirnya Lisa setuju juga menemaniku untuk pergi ke kafe milik Om Sentot walau sebenarnya aku merasa tidak nyaman pergi berduan dengannya. Penampilan kami sangat kontras, dandannya yang sangat terbuka dengan bedak yang sangat menggoda berbeda jauh denganku yang berpenampilan seadanya.
Kurang dari setengah jam taksi online yang kami tumpangi pun berhenti di sebuah bangunan berlantai dua belas sesuai yang tertera di alamat yang diberikan Om Sentot.
“Alamat benar ini, Sa?” tanya ragu.
“Benar lah, aku kan juga sering ke sini,” ucap Lisa sambil menarik tanganku masuk ke dalam gedung itu.
Pada lantai dasar gedung itu banyak toko-toko baju diselingi konter HP yang menjual berbagai aksesoris yang sebagian sudah mulai tutup. Lisa terus menarikku ke arah lift.
“Kamu sering ke sini, Sa?”
“Ya ... Sesekali. Gedung ini hanya sampai lantai empat sebagai area pertokoan. Lantai lima ke atas adalah apartemen yang disewakan sebagai tempat untuk menginap tamu-tamu kafe. Dan di bangunan paling tinggi di lantai 12 adalah kafe, tapi aku menyebutnya diskotek sih.”
“Diskotek? Banyak orang teler dong?”
“Ya iya lah, masa orang tahlilan, kuburan kali,” ucap Lisa sambil menghampiri dua sekuriti yang duduk di meja di samping lift.
“Mau ke mana, Non?” tanya salah satu sekuriti dengan tahi lalat besar di pipi kirinya.
“Crown!” jawab Lisa santai sambil menekan tombol dua anak panah yang saling berlawanan sebagai simbol membuka pintu lift.
“E buset, baru jam 20.00 sudah ke sini saja, target berapa ronde malam ini?” goda lelaki itu.
“Berisik, Lu!” ucap sekuriti satunya lagi yang tertulis nama Indra di dada kirinya. Mataku berhenti sesaat menatap wajah itu. Wajah putih dengan rambut lurus, usianya berkisar tak jauh di atasku, mungkin dia masih berumur 25 tahunan.
“Tahu tuh, si Tompel!” cibir Lisa yang sepertinya sudah mengenal kedua sekuriti itu. “Aku mau antar teman nih, katanya mau melamar jadi cleaning service di Crown, Om Sentot yang menyuruhnya ke sini.”
“Wah ... Barang baru nih, masih rapet Sa?” Mata nakal sekuriti yang di panggil si Tompel itu menatap nakal ke arahku. Lidahnya menjulur membasahi bibirnya yang hitam bekas karena asap tembakau.
“Lu tanya saja sendiri!” jawab Lisa tak acuh, kepalanya masih terus mendongak memperhatikan lampu indikator yang masih menyala di angka 9 di atas pintu lift.
“Kamu baru ke tempat ini?” tanya sekuriti yang bernama Indra itu. Berbeda dengan tatapan si Tompel, sorot mata Indra memandangku dengan penuh selidik.
“I-iya!” jawabku gugup. Entah kenapa tiba-tiba hatiku berdesir melihat sorot mata Indra yang tajam. Iris hitam itu mengilat terkena pantulan lampu. Seperti tatapan elang yang siap menguliti mangsanya.
“Sayang sekali, dandananmu rapet tapi dalamanmu bo ....”
“Sssst! Lu punya duit nggak buat bayar lubang rapet?” Lisa memotong kalimat Indra. “Mending kamu fokus kerja biar bisa bayar ujian, jadi kamu enggak perlu lama-lama jadi mahasiswa. Menuh-menuhin kampus saja tahu!”
‘Oh jadi si Indra ini masih kuliah? Jadi dia kerja jadi sekuriti karena buat bayar ujian. Senasib denganku berarti,’ hiburku dalam hati merasa ada teman yang memiliki nasib yang sama.
Indra hanya bisa diam dengan mengulum senyum tipis di bibirnya.
“Kamu kenal dia, Sa?” tanyaku penasaran.
“ENGGAK!” jawab Lisa dan Indra secara bersamaan. Sementara sekuriti yang bernama Tompel hanya menutup mulutnya yang tertawa cekakakan.
“Cie ... Kompak cie ... Jangan-jangan kalian jodoh yang tertukar,” seloroh Tompel.
Ting!
Bunyi lift diiringi pintu yang terbuka Lisa segera kembali menarik tanganku untuk masuk ke dalam.
“Apaan sih, Lu! Kagak jelas!” sungut Lisa meninggalkan mereka. Aku hanya mengikuti Lisa yang masih menarik tanganku masuk ke dalam lift.
Sesaat sebelum pintu lift tertutup. Mataku beradu pandang dengan tatapan Indra yang seperti menyimpan sebuah pesan. Jantungku kembali berdegup kencang.
“Ada apa dengan diriku? Ada apa dengan lelaki itu? Kenapa perasaan tak biasa menggerogoti hatiku?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Open BO
RomanceWARNING!!! AREA 21++ Banyak adegan mengenakan yang membuat anumu berdiri. Bijaklah dalam membaca. Semua orang tidak ingin terlahir dalam kemiskinan. Namun, impitan ekonomi membuat Cintya harus menjual tubuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia semak...