"Antar Mbak beli baju mau enggak?"
Tiba-tiba terlintas dalam benakku untuk mengajak Gio keluar. Meski usianya di bawahku, tetap saja dia seorang lelaki. Dan sesuatu bisa saja terjadi jika kami berlama-lama hanya berdua di dalam kamar.
"Boleh, tapi aku bawa motor. Enggak apa-apa Mbak Cintya naik motor?" tanyanya ragu.
"Lah memang kenapa kalau naik motor? Kalau kamu naik kuda baru Mbak takut."
Gio hanya nyengir. "Ya ... Kali aja Mbak sukanya yang bawa mobil."
"Udah enggak usah banyak ngeles, kalau mau buruan. Eh ... Tapi kalau Ibumu tahu bagaimana? Perlu izin dulu enggak?"
"Udah enggak usah. Paling juga masih ngorok dia. Udah aku servis tiga kali soalnya."
Aku mengernyitkan kening. "E buset ... Kecil-kecil ampuh juga burung Gio," pikirku dalam hati. Tapi memang benar sih. Sekilas aku lihat dari cara dia memainkan Bu Saodah, dia lebih mendominasi. Dan terbukti sudah hampir dua jam dia di kamarku Bu Saodah belum terlihat menyatroni kamar kami.
"Ya udah kita jalan sekarang!" ucapku sambil mengambil dompet sebelum keluar dan mengunci kunci kamar.
Seperti sepasang kekasih, aku duduk di belakang jok motor matik Gio ke pusat perbelanjaan di daerah Jakarta Barat.
"Yakin kita ke sini?" tanya Gio ragu saat memasuki halaman parkir Pasar Pagi Mangga Dua. "Kenapa enggak ke—"
"MAHAL!" potongku. "Kita cari yang murah aja. Lagian ngapain pakai baju mahal-mahal, toh lelaki itu yang dilihat bukan bajunya, tapi isinya."
Gio kembali nyengir. "Sekarang udah pinter ya ngomongnya," ucap Gio seraya menarik lenganku setelah mengunci motornya masuk ke dalam gedung.
Hampir satu jam kami mencari baju yang cocok untukku. Sebenarnya sih tidak terlalu sulit, karena pusat perbelanjaan yang kami kunjungi memang berisi toko-toko pakaian. Tapi yang namanya pasti akan betah kalau jalan-jalan di mal meski cuma melihat-lihat.
"Baru kali ini aku menemani wanita belanja," keluh Gio sebelum meminum es jeruk yang kami pesan di puja sera gedung itu.
"Memangnya sebelumnya belum pernah?"
Gio menggeleng. "Dari pada main ke mal, mending main game online bareng sama teman-teman. Lebih seru!"
"Memangnya kamu belum cewek? Apa cewekmu enggak pernah minta jalan-jalan gitu?"
Gio hampir tersedak mendengar pertanyaanku. "Cewek? Pacar maksud Mbak Cintya? Buat apaan? Aku enggak suka terikat, kalau ada yang mau, kita tidur bareng habis itu sudah. Buat apa status pacar segala."
"Sttt!" Aku melotot ke arah lelaki itu. Ucapannya yang blak-blakan dan keras hampir terdengar oleh seluruh pengunjung kafetaria itu yang sontak menatap heran ke arah kami.
"Tuh kan orang-orang jadi perhatiin kita!" ucapku setengah berbisik. "Kamu kalau ngomong harus di saring. Jangan asal jeplak saja. Apalagi di tempat umum seperti ini."
Gio menutup mulutnya sambil menunduk. Entahlah ... Aku merasa anak ini begitu patuh padaku. Aku juga merasa cocok dengan dia seperti sudah mengenalnya lama. Padahal, kami baru bertemu beberapa jam yang lalu.
"Mbak Cintya sih, suka memancing-mancing!" gerutunya.
"Kok jadi nyalahin aku!" ucapku sambil tersenyum. "Udah tuh! Mereka udah gak liatin kamu lagi."
Gio buru-buru menghabiskan minumannya dan mengajakku pergi dari tempat itu.
Matahari semakin condong ke barat. Sudah terlalu sore dan sebentar lagi akan malam. Aku harus bersiap-siap untuk stand by menunggu panggilan dari Om Sentot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Open BO
RomanceWARNING!!! AREA 21++ Banyak adegan mengenakan yang membuat anumu berdiri. Bijaklah dalam membaca. Semua orang tidak ingin terlahir dalam kemiskinan. Namun, impitan ekonomi membuat Cintya harus menjual tubuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia semak...