Aku memberanikan diri memegang dan meremas benda itu. Spontan tubuh Om Sentot menggelinjang. Desahan terdengar dari bibirnya yang melepas pagutannya dari leherku.
“Lebih keras lagi, Cintya!” bisiknya meminta. Kedua kakinya dijulurkan lurus ke depan. Kepalanya telah menjauh dari leherku dan menyandarkan tubuh telentang di atas sofa. Namun tangan kirinya sempat menarik tubuhku dan membuatku harus terjatuh menimpa tubuhnya.
Tangan kiriku yang memegang kemaluannya kini terlepas, karena posisi jatuhnya tubuhku lebih ke atas dengan buah dada menimbun wajahnya. Om Sentot sama sekali tak mengeluh. Kedua tangannya yang kini telah bebas, memegang pinggulku lebih ke atas, tepatnya di bawah ketiak sejajar dengan buah dadaku.
Kedua tangan itu bergerak dengan cepat menarik kemejaku. Aku bisa merasakan ada satu atau dua kancing yang terlepas dengan paksa, bahkan mungkin juga robek. Namun aku tak bisa memprotesnya karena detik berikutnya, bibir Om Sentot kembali mengendus-endus bagian dadaku yang menonjol yang hanya tertutup bra tipis tanpa kawat.
“Oooom!” Tubuhku seperti melayang. Aku hanya menggigit bibirku ketika merasa ada aliran listrik begitu kuat menjalar sekujur tubuhku. Kedua buah dadaku perlahan mengeras dengan denyut-denyut kecil bergerak di sekitar rahimku.
Aku masih dalam kondisi sadar, bahkan sangat sadar jika harus menolak gairah itu. Tapi sekali lagi, aku membutuhkan uang yang dijanjikan Om Sentot. 20 juta bukan nominal yang kecil bagi mahasiswa sepertiku. Aku bisa menggunakannya untuk membayar uang kontrakan dan biaya hidup selama satu bulan ke depan. Belum cukup memang kalau untuk membayar uang kuliahku, namun hal itu bisa aku pikirkan nanti. Yang jelas saat ini, dalam pikiranku harus mendapatkan uang itu.
Tangan Om Sentot kini menuruni pinggangku. Aku memberanikan diri mengangkat bokongku. Kedua kakiku berpijak pada sofa dan melangkahi tubuhnya. Kini posisi tubuhku duduk sempurna di atas perut bagian bawahnya yang buncit. Posisi seperti ini mungkin membuatnya sulit bernapas. Setengah duduk dengan badan bersandar pada sofa, Om Sentot menarik pinggulku ke bawah. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di antara bokongku. Benda besar dan keras milik Om Sentot itu kini aku duduki.
“Mana goyangannya?” tanya Om Sentot seperti pakar penari yang sedang mengajari anak didiknya. Tangannya masih berdiam di pinggulku, namun jemarinya bergerak-gerak menarik rok panjang hingga ke atas pahaku. Paha putih mulusku terbuka dari rok panjang yang kini tersingkap.
Dan tidak berhenti sampai di situ saja, begitu usahanya menarik rok panjangku berhasil, kedua tangannya kini berpindah ke punggung, menyusup ke dalam kemeja yang telah terbuka kancingnya dan mulai melepas pengait behaku. Dua daging kenyal langsung menyembul keluar begitu kain berbentuk mangkuk telah terlepas dan jatuh dari tubuhku.
“Punyamu tidak terlalu besar tapi sangat menyukainya.”
Om Sentot hampir saja melumat salah satu payu daraku, namun kedua tanganku langsung menahan kepalanya. “Tapi benar kan, Om? Kau akan memberiku uang?” tanyaku ingin memastikan.
“Aku tak mau melepas kegadisanku tanpa mendapat sepeser pun darimu.”
“Aku pasti membayarmu, Cintya!” ucap Om Sentot memaksa kepalanya melawan tanganku yang memegangnya. Aku melonggarkan pegangan tanganku dan membiarkan bibirnya mulai mengulum payu daraku. Dengan lahap, bibir itu bergantian mencumbu kedua puting payudaraku. Lidahnya menari-nari memainkan puncak daging kembar yang masih kecil dan berwarna abu-abu muda kemerah-merahan.
Aku menggelinjang sambil merangkul lehernya. Bokongku sengaja aku gerak-gerakkan naik turun menggesek-gesek kemaluannya yang bergerak-gerak menggeliat keras dan tegang. Rok panjangku yang sudah tersingkap membuat kulit pahaku yang mulus bisa merasakan langsung kehangatan sekitar pangkal pahanya yang masih tertutup celana.
“Terus Cintya! Lebih cepat lagi!” erang Om Sentot. Mulutnya menganga melepas pagutannya dan menikmati tiap goyangan pinggulku. Wajahnya terlihat memerah karena aliran darahnya memacu jantungnya berdegup lebih cepat dan mengalir menuju otaknya.
Mungkin wajahku pun sama dengannya. Memerah dengan napas yang terengah-engah. Peluh mulai mengalir di sekejur tubuhku. Rasa hangat seolah membakar tubuh dan otakku bersamaan dengan cairan yang mulai keluar membasahi rahimku. Dinding-dindingnya mulai berdenyut menginginkan sesuatu yang hangat menyentuhnya.
“Cukup, Cintya! Cukup!” Om Sentot mencengkeram dengan kencang kedua bokongku dan menghentikan goyanganku. “Aku sudah tidak tahan, kita pakai cara yang lain saja.”
Aku sudah pasrah, aku tak bisa menolak keinginan yang sebenarnya tak ingin aku lakukan. Namun kenikmatan yang baru kali ini aku rasakan, seperti menagihku untuk melakukan lebih dari ini. Selama aku bersama Doni, meski aku pernah merasakan hal ini, aku tak berani melakukan hal sampai segila ini. Namun di usiaku yang sudah tergolong dewasa ini. Keinginan untuk mendapatkan puncak kenikmatan begitu kuat mendorong alam sadarku.
Permainan lidah Om Sentot yang melahap rakus kedua puting payu daraku seperti sebuah serabut halus yang ditarik dari ujung kaki hingga ubun-ubunku, menciptakan kenikmatan luar biasa yang berpusat di dalam rahimku. Dan aku menginginkan lebih dari itu.
Om Sentot tiba-tiba berdiri. Tubuhku yang duduk di atas tubuhnya ikut terangkat dan bergelantungan di dadanya. Ia lalu membaringkan tubuhku di atas sofa dan dia mulai berjongkok dan mendekatkan wajahnya ke arah pangkal pahaku. Ia menekuk kedua kakiku dan meletakkannya di atas sofa, sejajar dengan area vitalku. Kedua tangannya menyibak, membuka kedua pahaku. Aku merasa liangku terbuka lebar. Namun ia sama sekali belum melepas celana dalam yang masih menutup rahimku yang benar-benar sudah basah dan lembap.
“Aku cicipi dulu ya?” ucap Om Sentot. Tanpa menunggu persetujuanku, kepalanya sudah tenggelam di antara panggal pahaku.
“Ah ....” Aku memejamkan kedua mataku begitu lidah Om Sentot menyentuh pusat titit sensitifku. Lidah itu terus bergerak-gerak mengabaikan sekujur tubuhku yang mulai mengejang. Kain tipis yang masih melindungi organ intimku, kini benar-benar basah oleh air liur lelaki itu bercampur cairan kental yang kental dari rahimku.
Tubuhku benar-benar seperti tak lagi menginjak bumi, melayang-layang di antara kenikmatan. Hingga tanpa sadar kedua tanganku menjambak rambut keriting Om Sentot dan menekannya agar lebih dalam membenamkan kepalanya dan menempelkan bibirnya ke sekitar daerah intimku. Kedua tumitku terangkat dan membentangkan paha semakin lebar.
Tiba-tiba aku seperti jatuh dari ketinggian begitu Om Sentot menarik kepala dan melawan cengkeraman tanganku. Aku membuka mata dan melihat lelaki itu telah berdiri sambil melepaskan celananya. Sebuah otot yang hitam dan besar berdiri tegak di antara rerumputan yang lebat.
Aku benar-benar sudah pasrah, mungkin malam ini aku memang harus kehilangan keperawananku. Ada sedikit ketakutan yang menyelimuti hatiku, namun rasa takut itu aku buang jauh-jauh dikalahkan oleh hasrat yang menggebu-gebu.
Om Sentot berjalan mendekatiku. Aku sudah berpikir dia kan segera melepas celana dalamku dan memasukkan burungnya ke dalam mulut rahimku. Dia lalu menekan burungnya dan menggoyang-goyangkan untuk merobek selaput daraku yang masih rapat. Mungkin aku akan sedikit mengerang kesakitan saat burungnya berhasil menembus pertahananku sebelum akhirnya merasakan kenikmatan setelah benda itu keluar masuk dan memuntahkan lahar putih panas ke dalam tubuhku.
Namun pikiranku ternyata salah, Om Sentot justru membangunkanku dan menuntun tanganku untuk memegang burungnya. Mungkin dia belum terlalu terbakar nafsu seperti diriku. Jadi perlu sentuhan kecil agar burungnya benar-benar bangun.
Aku mengikuti gerakan tangannya dan mulai menggosok-gosok burungnya. Dan hanya selang beberapa menit.
Croooot!
Burung Om Sentot sudah muntah mengeluarkan cairan kental berwarna putih yang langsung membasahi tubuh dan sebagian kemejaku yang duduk tepat di depannya berdiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Open BO
RomanceWARNING!!! AREA 21++ Banyak adegan mengenakan yang membuat anumu berdiri. Bijaklah dalam membaca. Semua orang tidak ingin terlahir dalam kemiskinan. Namun, impitan ekonomi membuat Cintya harus menjual tubuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia semak...