“Kamu cantik hanya dengan memakai handuk seperti itu,” ucap Indra sambil tersenyum.
Aku semakin mengkeret dan merapatkan tubuhku di pintu. Kedua tanganku mencengkeram erat ujung handuk, berjaga-jaga kalau tiba-tiba dia menariknya dan menelanjangiku.
Indra mengernyitkan keningnya. “Kenapa kamu ketakutan seperti itu?” Ia menjulurkan tangan ke arahku. Aku pun beringsut menghindari tangannya yang sekarang sudah berpegang pada hendel pintu.
“Sudah aku pulang saja, enggak ada jas hujan ya hujan-hujanan. Cuma air ini. Palingan basah.” Indra memutar hendel pintu dan menariknya. Namun, karena terhalang tubuhku, pintu itu tak bisa dibuka olehnya. Mungkin aku yang terlalu buruk sangka terhadapnya.
“Kamu kenapa jadi aneh seperti itu, sih?” tanya Indra menatapku yang terpojok di antara daun pintu. “Kamu takut aku ngapa-ngapin kamu?” Indra sudah menurunkan tangannya dari hendel pintu dan menatapku lebih intensif.
“Eng ... enggak!” Aku tergagap. Sedikit merasa lega karena yang dilakukan Indra tak seperti apa yang ada dalam benakku. Tapi sedikit rasa penyesalan karena dia tidak menyentuhku. Astaga, apa yang aku pikirkan? Kenapa sekarang aku justru menginginkan dia menyentuhku. Ya aku mau, anggap saja pelampiasan dari hasratku yang tadi tak sempat sampai puncaknya. Tapi masa aku begitu murahan mau dijamah sama orang yang baru aku kenal? Tapi ...
Ah ... aku juga sudah melakukan hal-hal yang seharusnya tak aku lakukan dengan Om Sentot. Meski tak sampai berhubungan badan, tetap saja aku merasa tubuhku sudah kotor. Toh akhirnya aku menyetujui untuk menjual keperawanan tubuhku. Apa salahnya aku menikmati dinginnya malam ini dalam pelukan Indra. Setidaknya aku melakukan dengan sadar dan kemauanku sendiri. Tapi masalahnya, apakah dia mau menyentuhku?
“Sebentar aku mau ganti baju dulu,” ucapku mencoba melewati tubuhnya yang berdiri di depanku. Tapi tiba-tiba tangan Inda menarik lenganku yang membuat tubuhku jatuh dalam dekapannya.
“Kamu benar-benar cantik, Cintya!” ucapnya sebelum bibir yang melafalkan kata itu mendarat di bibirku. Aku ingin mendorong tubuhnya, tapi satu tanganku masih dalam genggaman tangannya, sementara tangan yang lain masih memegang handukku yang mulai kedodoran karena ikatannya mulai kendor.
Aku menikmati pagutan itu. Hal yang belum pernah aku lakukan dengan siapa pun. Bahkan dengan Om Sentot pun, aku langsung menyerang burungnya begitu dia selesai memainkan pangkal pahaku. Seperti sebuah arus listrik dengan tegangan yang tinggi. Sekujur tubuhku bergetar sat bibir Indra melumat lembut bibir ini.
“Ndra!” desahku saat bibirnya berpindah ke leherku. Sementara satu tangannya terangkat menahan kepalaku yang mendongak karena merasakan kenikmatan dari tiap sentuhan bibirnya yang berkelana di sekitar area leherku.
Satu tangan yang lain yang semula mencengkeram lenganku ia lepas dan berpindah melingkar di punggungku. Ke dua tanganku sekarang bebas. Namun bukannya mendorong tubuhnya agar menjauh dariku, aku justru melingkarkan kedua tanganku di lehernya. Kain handuk yang melingkar di tubuhku kini terlepas oleh gerakan nakal dagunya.
Bibir Indra semakin ke bawah dan mulai menjajah area dada yang sekarang sudah benar-benar terbuka. Satu tangannya yang semula menyangga kepalaku, kini berpindah ke bawah dan mulai meremas salah satu payu daraku, sementara payu dara yang lain sudah menjadi santapan bibirnya yang menggairahkan.
Tidak seperti Om Sentot yang langsung menyerah daerah intiku, serangan gerilya dari Indra justru telah menghancur leburkan pertahananku. Gairahku yang kandas saat bersama Om Sentot kini bangkit lagi. Bahkan lebih menggebu-gebu. Otot di sekitar rahimku seperti berdenyut-denyut, memanggil sesuatu untuk membuahi lahanku yang sudah mulai hangat dan basah.
Namun kenikmatan itu tiba-tiba berhenti saat Indra menarik kepalanya dari dadaku. Kedua matanya memperhatikan tiap lekuk tubuhku dari ujung kepala hingga kaki.
“Tubuhmu indah Cintya,” gumamnya. Aku tak tahu ini sebuah sindiran atau penolakan. Aku sendiri merasa payu daraku tak sebesar Lisa atau perempuan lain yang memiliki body wow. Namun hasrat dalam diriku sudah menggebu-gebu, aku tak peduli lagi dia akan menerimaku atau sebaliknya, yang aku inginkan dia terus mencumbuiku.
“Sentuh aku, Ndra! Malam ini tubuhku seutuhnya menjadi milikmu,” ucapku seraya menarik kembali kepalanya ke dalam dadaku. Lalu aku mulai merasakan lidahnya bergerak-gerak mempermainkan ujung putingku yang sudah mulai mengeras. Tiba-tiba ia mendorong tubuhku dan membawanya mendekati ranjang. Saat kakiku sudah menyentuh ujung ranjang, dia tetap mendorongku sehingga tubuhku tersungkur dan jatuh terlentang di atas kasur dengan posisi tubuhnya yang sekarang berada di atasku.
Sekujurku tubuhku semakin meregang ketika bibirnya mulai menuruni perutku. Lidahnya masih bergerak-gerak menggelitik tiap kulit yang ia lewati. Berhenti sejenak pada daerah pusar lalu melanjutkan perjalanan menuju lembah setelah melewati hutan yang terlalu lebat milikku.
Aku kembali mengerang saat sentuhan pertama lidahnya mengenai bibir rahimku. Kedua pahaku aku buka lebar-lebar akar mulutnya lebih leluasa menjamahnya. Namun lagi-lagi Indra menghentikan aksinya. Ia menegakkan badannya dan berdiri memandangiku dengan ekspresi yang penuh kekecewaan.
“Kenapa kau berhenti, Ndra?” tanyaku putus asa. Aku berpikir, mungkin Indra tak mau menyentuhku karena dalam benaknya tubuhku hanya sisa-sisa dari Om Sentot. Mungkin ia merasa jijik denganku yang pernah dijamah orang lain. Tapi demi Tuhan, Ndra. Aku masih perawan. Om Sentot bahkan belum menjamahku sama sekali.
“Apakah Om Sentot melakukan apa yang baru saja aku lakukan?” tanyanya lirih. Aku hanya menggeleng dengan air mata yang hampir berlinang. Antara keinginan dan penyesalan. Menyesal kenapa aku membiarkan Om Sentot menggerayangiku. Bahkan Indra yang baru aku kenal saja tak mau lagi menyentuhku begitu dia tahu ada lelaki lain sudah menjamahku. Bagaimana dengan suamiku kelak jika tahu istrinya sudah tak perawan lagi. Aku ingin menghentikan semua ini. Namun desakan-desakan kenikmatan seakan memaksaku untuk meminta Indra melakukan itu lagi dan lagi.
“Apakah kau tak mau melakukan itu padaku, Ndra?” tanyaku penuh harap. Dia diam dan bergeming yang membuatku berinisiatif untuk bangun dan duduk di bibir ranjang. Namun di luar bayanganku, dia justru berjongkok di depanku dan kembali membenamkan kepalanya di daerah kewanitaanku.
Serangannya yang tiba-tiba membuatku nyaris berteriak. Aku langsung mengangkat kedua tumitku dan meletakkan sejajar dengan bokongku. Pangkal pahaku benar-benar terbuka lebar dan hal itu dimanfaatkan indra untuk membelai pusat titik kenikmatan milikku dengan ujung lidahnya yang bergerak lincah. Aku mengerang keenakan. Tanganku melakukan seperti hal tadi, memegang kepalanya dan menekan kepala itu agar terus mencumbui kewanitaanku.
“Terus, Ndra! Terus!” bisikku tertahan. Kedua mataku merem melek, aku menggigit bibirku sendiri saat merasakan dinding rahimku sudah benar-benar basah saat puncak kenikmatan membuatku melayang. Dan aku ambruk, melepas semua ketegangan yang menjalar seluruh syaraf-syarafku.
Aku mencoba mengatur napasku yang terengah-engah, lalu membuka mata perlahan. Indra tampak duduk di tepi rancang sambil tersenyum menatap kewanitaanku, yang mungkin terlihat lucu di matanya.
“Kamu sudah keluar?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk memikirkan bagaimana caranya untuk membalas perbuatannya. Ini tidak adil jika hanya aku yang merasakan puncak kenikmatan. Aku lalu menggeser tubuhku dan mendekatinya. Tanpa ragu, tanganku langsung menyusup ke dalam celana jinnya. Awalnya aku kerepotan melakukan sendiri. Tapi tangan Indra membantuku dengan membuka kancing dan ritsleting celananya.
“Oh Tuhan!” gumamku. Burung Indra sudah mengeras, dan bentuknya jauh lebih besar dan lebih panjang dari burung milik Om Sentot.

KAMU SEDANG MEMBACA
Open BO
RomanceWARNING!!! AREA 21++ Banyak adegan mengenakan yang membuat anumu berdiri. Bijaklah dalam membaca. Semua orang tidak ingin terlahir dalam kemiskinan. Namun, impitan ekonomi membuat Cintya harus menjual tubuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia semak...