Seperti tak menghiraukan kehadiranku yang jelas-jelas sudah disadarinya. Gio kini melepas semua pakaiannya dan membiarkan tubuhnya yang berotot dan sudah mulai basah karena keringat terbuka. Ia bahkan menarik kepala Bu Saodah agar menghentikan aktivitas mengulum kejantanannya.
Aku semakin terperanjat ketika Gio tiba-tiba berdiri ke atas sofa. Dia seolah-olah ingin memamerkan burungnya yang panjang meski tak terlalu besar jika dibandingkan dengan milik Indra. Namun burung itu terlihat sangat kuat dan kekar bergerak-gerak seperti menunjuk ke arahku. Aku ingin segera menarik diriku untuk meninggalkan tempat persembunyianku. Namun, faktanya aku semakin penasaran ingin melihat apa yang akan dilakukan sepasang manusia yang berbeda umur sangat jauh itu.
Bu Saodah menyandarkan tubuhnya pada Sofa. Sementara Gio yang masih berdiri di atas sofa, merundukkan tubuhnya dan mengarahkan meriamnya ke wajah wanita yang seharusnya menjadi ibunya itu. Kedua tangan Gio bertumpu pada sandaran sofa sejajar dengan kepala Bu Saodah. Aku pikir dia ingin kembali memasukkan burungnya ke mulut wanita itu. Namun Bu Saodah hanya menjulurkan lidahnya dan mulai menyapu dua buah bola kembar milik Gio. Sesekali, dua bola kembar yang ditumbuhi rambut-rambut lebat itu di masukkan ke dalam mulutnya.
Aku menelan ludah. Telapak tanganku terasa dingin namun berkeringat. Gio seolah-olah sengaja memamerkan keperkasaannya di depanku. Meski matanya merem melek, namun gerak bibir dan lidahnya seakan ingin menunjukkan kenikmatan yang ia rasakan kepadaku.
Lagi-lagi Gio mengakhiri adegannya. Sekarang ia turun dari atas sofa dan mengangkat lengan Bu Saodah agar berdiri. Wanita itu hanya menuruti tarikan lelaki itu. Bahkan ketika tangan Gio melucuti semua daster yang dikenakannya. Wanita itu hanya senyum-senyum sambil tangannya terus menggerayangi keperkasaan Gio.
Gio memutar tubuh Bu Saodah dan memintanya untuk berpegang pada sandaran sofa. Posisi wanita tua itu sekarang sedikit miring dengan berdiri membelakangi Gio. Aku sudah bisa membayangkan apa yang akan Gio lakukan. Pasti dia akan segera memasukkan burungnya dari belakang. Dan benar saja. Ia mendorong sedikit punggung Bu Saodah agar posisi bokongnya lebih menjorok ke belakang. Dengan begitu posisi kewanitaannya akan lebih mudah dijangkau oleh Gio.
Tapi dugaanku ternyata salah. Ternyata Gio kembali berjongkok. Ia lalu menempelkan wajahnya ke bokong wanita itu sambil menepuk-nepuk beberapa kali bokong yang sudah berkerut itu.
"Basahi lagi, Gio!" terdengar rintih Bu Saodah memohon. Untuk beberapa saat wajah tenggelam di area terlarang wanita itu sebelum akhirnya dia kembali berdiri dan mulai menghunjamkan keperkasaannya melalui jalur belakang. Suara benturan kulit mereka begitu nyaring, menciptakan irama merdu mirip sebuah tepuk tangan yang berulang-ulang yang semakin lama semakin kencang.
Aku tak mau terus menerus di tempat itu. Jika ada orang yang melihatku mengintip tindakan mereka dari luar pagar, pasti mengira aku akan mencuri. Tapi alasan lain yang lebih tepat adalah karena aku juga sudah tak tahan melihat adegan itu. Saraf otot rahimku sudah berdenyut-denyut dari tadi menyaksikan perbuatan mereka.
Aku kembali ke kamarku dan merebahkan tubuh di atas kasur. Berusaha melupakan semua kejadian yang aku lihat barusan. Aku mencoba berpikir keras. Bagaimana mungkin Gio, anak dari Om Sentot meniduri Ibu Saodah yang merupakan istri dari ayahnya. Bagaimanapun Bu Saodah adalah ibunya meski ibu tiri.
Tanganku menyusup ke dalam celana dalamku sendiri dan menyentuh kewanitaanku. Ternyata mulut rahimku sudah basah, aku memastikan dengan mengintipnya dari balik celana. Dan memang benar, bahkan cairan itu sedikit membasahi celana dalamku.
"Astaga, Cintya! Baru melihat seperti itu saja kau sudah nafsu. Bagaimana kau bisa menjadi wanita tangguh kalau Cuma seperti itu pertahananmu?" makiku dalam hati.
Aku bangun dan berniat mengganti celana dalamku. Namun pada saat yang bersamaan, tiba-tiba pintu kamarku terbuka dari luar. Aku memang jarang menguncinya saat aku berada di kamar. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamarku adalah Gio.
"Gio?" aku hampir berteriak. Namun remaja itu bergerak cepat masuk ke dalam kamarku menutup mulutku. Dia sudah memakai kaos dan celana pendeknya, namun keringat ditubuhnya masih terasa lengket saat menyentuh kulitku.
"Jangan berteriak, Cintya!" ucapnya
Aku hannya mengangguk, setelah ia merasa yakin aku tidak akan berteriak, perlahan dia menurunkan tangannya, bersamaan dengan kakinya yang menendang pelan pintu kamarku agar tertutup.
"Apa yang kau lakukan, Gio?" tanyaku sedikit takut. Tapi jujur hatiku sedikit bergetar saat tubuhnya begitu dekat dengan tubuhnya. Badannya begitu atletik. Otot perutnya sangat keras, apalagi otot ... astaga, otakku kembali memikirkan burungnya yang berdiri kekar tadi.
"Kamu sudah melihatku bermain dengan Bu Saodah kan? apakah kau juga tak ingin merasakan burungku?"
Pertanyaan Gio terucap begitu saja tanpa ragu-ragu. Dia begitu percaya diri aku mau melakukan bersamanya. Dan memang benar, kakiku seolah terkunci saat tiba-tiba dia melingkarkan tangannya ke pinggulku. Aku sedikit berontak tapi tak bisa menghindar saat bibirnya sudah berada di mulutku dan mulai melumat rakus bibirku.
Aku tersengal-sengal. Darahku seperti mendidih bersamaan dengan debaran jantungku yang kian tak menentu. Aku merasakan satu tangan Gio mulai meremas bokongku, sementara tangan yang lain menyusup ke dalam kaos dan menangkap salah satu buah dadaku. Aku menggelinjang. Semalam sudah melakukan beberapa adegan bersama Indra, jadi bagaimana mungkin dalam waktu kurang dari 24 jam aku sudah melakukannya lagi.
"Jangan, Gio!" Akhirnya aku punya keberanian untuk melepaskan pagutan bibirnya dan mendorong tubuhnya menjauh dariku.
"Aku tahu kau juga menginginkannya, Cintya! Wajahmu tak bisa membohongiku." Gio masih berusaha mendekatiku. Aku harus berpikir cepat bagaimana caranya menolak lelaki ini.
"Aku mau melakukan denganmu, tapi tidak sekarang, Gio!"
"Maksudmu?" Wajah Gio terlihat berbinar. Dia sama sekali tidak marah dengan penolakanku. Artinya usahaku untuk menghindarinya sudah berhasil.
"Kita lakukan nanti malam," ucapku sambil tanganku bergerak meremas kemaluannya yang masih tegak keras berdiri.
"Tapi aku ingin sekarang, Cintya!" rengek Gio memelas. Dia memegangi tanganku agar tetap mencengkeram kemaluannya.
"Bukankah kau baru saja melakukannya dengan Bu Saodah, kenapa kau masih mencariku?"
"Ah ... payah, punyanya sudah kendor! Aku sama sekali tak terpuaskan olehnya."
Aku mengernyitkan keningku. Dia begitu enteng mengatakan kalimat itu seolah-olah dia sudah terbiasa melakukannya.
"Aku mau memberinya kepuasan karena dia selalu memberiku uang yang aku butuhkan. Sebenarnya aku tak mau melakukan dengannya. Tapi dia selalu merayuku."
Aku mendengarkan ucapan Gio yang seperti anak kecil mengadu pada kakaknya. Aku jadi merasa iba kepadanya. Aku juga merasa penasaran, apa yang melatar belakangi tindakannya sehingga begitu berani melakukan seperti itu kepada ibu tirinya. Apakah dia tak takut jika ayahnya mengetahui hubungan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Open BO
RomanceWARNING!!! AREA 21++ Banyak adegan mengenakan yang membuat anumu berdiri. Bijaklah dalam membaca. Semua orang tidak ingin terlahir dalam kemiskinan. Namun, impitan ekonomi membuat Cintya harus menjual tubuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia semak...