BAB 8 Ambilkan Handukku

10.2K 23 0
                                    

“Kau belum menjawab pertanyaanku, kenapa kau begitu peduli padaku?” tanyaku setelah sampai di depan rumah kosku. Indra tak sempat menjawab pertanyaanku sewaktu di warung nasi goreng karena cuaca sepertinya tak bersahabat. Kilat sudah menyembar-sambar di atas langit, mungkin sebentar lagi akan hujan.

“Kita pulang dulu saja, sudah selesaikan makannya?” kilahnya bergegas berdiri dan membayar makanan kami. Aku pun ikut berdiri dan langsung naik dan duduk di belakangnya. Benar saja, gerimis kecil sudah mulai turun saat kami sudah sampai di depan rumah kosku.

“Boleh pinjam kamar kecil enggak? Kebelet ini?” jawabnya sambil nyengir. Aku tahu rasanya menahan kebelet pipis.

“Ya sudah masuk dulu saja, lagian ini sudah mulai hujan, masukin motornya sekalian.”

Indra buru-buru mendorong motornya ke halaman parkir rumah kosku, sementara aku membukakan pintu untuknya. “Masuk saja!” ucapku berjalan lebih dulu ke dalam kamar.

“Kamar mandinya di mana?” tanyanya.

“Ada di dalam kamar.” Aku kembali membukakan pintu kamarku. Rumah kosku memang biasa sepi. Hampir semua penghuni selalu sibuk di kamarnya sendiri.

Aku membuka jaket yang aku kenakan sementara Indra sedang berada di kamar mandi. Kemejaku masih lembap bekas cairan kental burung Om Sentot yang meludah sembarangan. Aku sempat-sempat senyum sendiri jika teringat burungnya yang kecil dan pendek yang langsung KO setelah aku memberi sedikit sentuhan. Namun, di sisi lain aku sangat bersalah, takut dan benci sendiri. Aku begitu beraninya membiarkan organ intimku dijamah olehnya, meski masih tertutup celana dalam yang sampai sekarang masih basah.

Aku bergidik sendiri, sentuhan lidah Om Sentot masih membayang dalam ingatanku, getaran-getaran kenikmatan luar biasa masih bisa aku rasakan, meski sayang, aku belum sampai ke titik puncak kenikmatan, namun setidaknya aku masih bersyukur, aku bisa mendapatkan tiga juga dengan kondisi keperawananku masih utuh, setidaknya sampai saat ini aku masih perawan.

Indra tersenyum begitu keluar dari kamar mandi dan melihat kemejaku yang masih terlihat lembap.

“Kenapa kau tersenyum?” tanyaku sedikit ketus. “Jangan berpikir yang macam-macam ya, aku belum melakukan begitu-begituan, aku ini masih perawan.”

Indra terkekeh mendengar penjelasanku. “Ya aku tahu. Om Sentot memang orangnya terlihat garang dan perkasa, tapi burungnya mah letoy!”

“Hah?” Aku buru-buru menutup mulutku yang menganga mendengar ucapan Indra.

“Semua perempuan yang ada di sana sudah pada tahu, mereka juga pasti sudah merasakan bagaimana diperlakukan bendot tua itu. Tapi biar bagaimana pun, dia sebenarnya baik. Dia enggak pernah sayang soal duit. Dia orangnya royal.”

“Terus kenapa kau tadi senyum-senyum sendiri melihatku?”

“Ya lucu saja, kamu itu aneh, masa mau ke klub malam pakai kemeja lengan panjang sama rok yang biasa dipakai buat kondangan.”

Aku tersenyum sendiri membayangkan bagaimana penampilanku di mata mereka dan Indra. Namanya juga orang baru, ya bagaimana lagi. Anggap saja ini satu pengalaman, besok-besok mungkin aku akan tampil lebih berani, aku rasa dengan uang yang diberikan Om Sentot, aku bisa membeli beberapa baju yang lebih seksi. Eh ... tapi apa aku yakin akan kembali ke sana lagi? Apa aku sudah siap mental untuk open BO.

“Sebentar aku mau ganti baju dulu, geli pakainya,” ucapku sambil langsung menyelonong masuk kamar mandi. Hal pertama yang ingin aku lakukan adalah melepas celana dalamku yang basah terkena air ludah dari mulut Om Sentot. Aku juga harus mencuci bersih kemaluanku, meski saat di kamar mandi ruang Om Sentot aku sudah membersihkannya. Tapi tetap saja, aku merasa risi memakai air di kamar mandi tempat itu, bisa saja ada bakteri atau virus lain mengingat di sana adalah berkumpulnya berbagai orang.

Open BOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang