BAB 7 Getaran Tak Biasa

17.5K 84 4
                                    

Aku melingkarkan kedua tanganku di pinggang Indra. Sepeda motor sportnya yang didesain miring, membuat tubuhku semakin rapat dengan tubuhnya saat melakukan pengereman. Beberapa kali payudaraku menempel pada punggung lelaki itu.

“Maaf!” ucap Indra ketika tanpa sengaja mengerem mendadak karena ada polisi tidur di depannya. Aku tak menanggapi ucapannya. Di negara tercinta ini hampir jalan-jalan di pemukiman yang sudah dibeton dengan mulus tapi dinodai gundukan tinggi. Alasannya biar para pengendara motor yang lewat tidak ngebut. Padahal, pembuatan peredam kecepatan bukan seperti itu caranya.

“Pertigaan depan belok kiri ya, Bang!”

“Eh ... Di depan ada nasi goreng, kalau makan dulu bagaimana? Leper, nih!”

“Iya, aku juga belum makan.”

Indra menepikan motornya di tukang penjual nasi goreng yang berada di pinggir jalan. Sebuah tenda kecil berdiri di atas trotoar yang minim pencahayaan. Tempat untuk makan pun hanya memakai tikar yang dilapisi terpal dan meja panjang untuk lesehan.

“Nasi goreng dua ya, Bang! Satu pedas satu lagi ....” Indra menoleh ke arahku yang masih berdiri di belakangnya.

“Sama, aku pedas juga.”

“Siap!” ucap penjual yang terlihat semringah begitu dagangannya ada yang beli. Karena yang aku lihat, nasi di bakulnya masih penuh sementara jalanan sudah mulai lengang.

“Ayo kita duduk di depan.” Indra menarik tanganku dan menuntun ke dalam tenda.

Untuk beberapa saat kami terdiam. Aku tak berani menegurnya terlebih dahulu karena aku melihat dia sibuk dengan ponselnya.

“Kenapa kau tidak pesan ojek online saja tadi? Di sana tukang ojeknya suka rese! Apalagi lihat anak baru sepertimu, bisa habis entar!”

“Jadi kamu nyesel nganter aku?” tanyaku agak tersinggung dengan pertanyaannya.

“Bukan begitu maksudku. Duh sensitif amat! Aku nanya kayak gitu, justru karna kasihan aja liat kamu.”

“Kasihan? Kasihan kenapa? Aku enggak butuh dikasihani.”

“Benar-benar susah ya ngomong sama kamu. Aku tahu kau baru pertama kali pergi ke klub itu, aku kan sudah lama kerja di sana. Jadi tahu mana cewek baru sama mana cewek yang udah bangkotan. Jangankan aku, itu tukang ojek juga pasti paham, kalau kamu masih polos.”

Indra berhenti sejenak, dia mengambil air mineral di atas meja dan menusuknya dengan sedotan sebelum menyesapnya. Bibir lelaki itu terlihat seksi, untuk ukuran laki-laki, kulitnya tergolong kategori putih. Hidungnya tak terlalu mancung, tapi untuk ukuran orang Indonesia, itu sudah pas. Singkatnya, dia menawan.

“Nah kalau si Lisa, dia tergolong orang lama. Ya ... Jam terbangnya sudah lumayanlah.” Indra melanjutkan ucapannya.

“Kamu kenal sama Lisa?”

“Kenal-kenal banget sih enggak, selain satu kampus, namanya dia sering ke klub itu ya tahu lah!”

“Apa? Kamu satu kampus sama Lisa?” Tentu saja aku terkejut, dia satu kampus sama Lisa artinya dia juga satu kampus sama aku, bagaimana aku bisa tak mengenalnya?.

“Kok kamu kaget gitu? Banyak lagi teman-teman kita yang open BO dari situ.”

Tiba-tiba aku jadi lemas, kalau si Indra satu kampus denganku, berarti cepat atau lambat, pasti seluruh kampus akan tahu, kalau aku menjual diri dan jadi wanita panggilan. Mau ditaruh di mana mukaku.

“Kok kamu jadi pucat kayak gitu?” tanya Indra yang memperhatikan wajahku. “Tenang saja, anak cowok di kampus kita yang kerja di situ Cuma aku, aku enggak bakal ember ngasih tahu orang kalau kau kerja di klub itu. Kecuali ....”

Open BOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang