Sebuah ruangan yang tak terlalu besar. Hanya ada sebuah sofa yang langsung menghadap ke pintu. Di sudut lain sebuah meja kerja dengan laptop di atasnya. Sementara di belakangnya, Om Sentot sedang duduk memainkan gawainya.
Lisa tak ikut masuk ke ruangan ini. Ia berhenti di kafe depan menyambangi sekelompok lelaki yang ia bilang teman dari teman kampusnya.
“Sore, Om!” ucapku setelah masuk ke dalam ruangan.
Om Sentot mengangkat wajah dan menatapku. Keningnya berkerut seakan heran melihat kedatanganku.
“Eh ... Lu mau kondangan? Kenapa berpakaian seperti itu?”
Om Sentot berdiri dan menghampiriku. Mungkin dia kurang suka dengan penampilanku, memakai rok panjang hingga mata kaki dan memakai kemeja yang berlengan panjang juga. Sudah mirip mahasiswa baru akan mengikuti ospek.
“Kan mau kerja, Om. Terus aku harus berpakaian seperti apa?”
Om Sentot menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu. Matanya lalu berhenti pada sebuah poster besar bergambar Maria Ozawa yang setengah telanjang.
“Seperti itu!” tunjuknya dengan anggukkan kepala.
Aku hanya tersenyum hambar. Apa yang diucapkan Lisa sore tadi kembali mengganggu pikiranku. Kecurigaannya terhadap Om Sentot yang akan menjual keperawananku kepada pelanggan kafenya mulai mengusik. Namun kebutuhan yang sangat mendesak membuatku menepis semua pikiran jelek tentang Om Sentot.
“Apa harus berpakaian seperti itu, Om?” tanyaku polos.
“Ya enggak harus, memangnya kamu mau pekerjaan seperti apa?” Om Sentot merentangkan tangan, menunjuk sofa agar aku duduk di sana. Ia juga berjalan lebih dulu ke sofa itu dan menyandarkan tubuh tambunnya yang berbalut kaos polo dan celana bahan warna hitam sebagai bawahan. Aku duduk mengambil jarak hanya sekitar setengah meter.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Om Sentot. Aku sendiri kurang tahu jenis pekerjaan apa yang bisa aku lakukan di sebuah kafe. Mungkin menyajikan makanan, mencuci perabotan, atau mengepel lantai mengingat aku sama sekali tak punya pengalaman di bidang ini.
“Kalau melayani tamu, mau?” tanya Om Sentot sambil mengangkat alisnya. Mata bulatnya melebar.
“Semacam waitress gitu ya, Om?”
“Ya bisa dibilang begitu, tapi yang ini gajinya lebih gede.” Om Sentot menggeser tubuhnya mendekatiku. Tangan kirinya diletakkan ke atas sandaran sofa dan hampir menyentuh pundakku yang sekarang duduk hanya beberapa jengkal di samping Om Sentot.
Aku sudah tahu arah pembicaraan yang Om Sentot maksud. Meski aku dari kampung, hal-hal seperti ini sudah sering aku lihat di tayangan TV. Tapi aku tidak bisa begitu saja mundur. Jika aku langsung menolak tawaran Om Sentot, dia bisa saja melakukan hal yang lebih mengerikan. Meski aku pernah belajar karate sampai sabuk hitam, menghadapi beberapa lelaki dengan tubuh kekar yang tadi berdiri di luar kafe, tentu bukan perkara yang mudah.
“Maksudnya pekerjaan seperti apa yang Om maksud, bisakah dijelaskan lebih rinci, Om?”
Senyum lebar di bibir hitam Om Sentot mengembang. “Masa kamu enggak tahu? Ya paling nemenin pelanggan minum, atau nemenin mereka karaoke. Tapi kadang-kadang, ada juga yang minta ditemenin tidur.”
“Maksud Om ....” Aku tak meneruskan ucapanku. Sudah Fix, Om Sentot ingin aku menjadi wanita malam.
“Ya itu kalau kamu ingin banyak uang. Kamu belum bayar sewa kontrakan, kan? Belum lagi kebutuhan jajan, pakaian, sama uang kuliah. Kalau kamu mau kerja sama Om. Kau akan banyak uang. Lihat saja tuh si Lisa. Dia saja, kalau sepi orderan selalu minta pelanggan sama Om.”
Aku berpikir sejenak, entah bagaimana caranya aku menolak tawaran ini. Meski aku butuh uang, aku tak mau menjual tubuhku. Bagiku keperawanan adalah sesuatu yang harus aku jaga. Aku tak mau memberikan kepada siapa pun sebelum aku menikah. Hanya suamiku nanti yang boleh menyentuh tubuhku.
“Maaf, Om. Tapi saya belum pernah melakukan hal-hal seperti itu. Kalau ada pekerjaan lain, jadi OB juga saya mau, asal bisa dapat uang untuk bayar kontrakan tanpa menjual kegadisan.”
“Apa? Jadi kamu masih perawan?” Mata Om Sentot terbelalak, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Tapi dibalik wajahnya yang terlihat kaget, aku justru melihat wajahnya yang berbinar penuh kegembiraan.
“Serius lu masih perawan?” tangan Om Sentot bergerak nakal mencubit pipiku. Ingin rasanya aku menyeka bekas cubitannya. Namun, kini tangan itu mendarat samaunya di atas pahaku.
Aku hanya mengangguk pelan seraya menyingkirkan tangan itu dari atas pahaku, namun tangan Om Sentot justru menangkap tanganku dan meremas-meremas jemariku.
Tidak sakit memang, tapi aku yang masih awam dengan hal-hal seperti ini justru merasa jijik. Ingin rasanya aku menarik tanganku dari genggaman tangannya dan menamparnya. Tapi aku masih berusaha menahan diri. Setidaknya aku masih membutuhkan pekerjaan darinya. Kalau pun tidak, aku masih mengharap belas kasihan darinya agar tak mengusirku dari kamar kontrakanku yang sudah menunggak hampir satu bulan.
“Kamu mau banyak uang, nggak? Aku bisa membantumu mendapatkan banyak uang, asal kau mau mengikuti perintahku.”
Aku terdiam ragu.
“Kau tak perlu melakukan hubungan intim, kau hanya perlu menemani mereka minum. Itu saja.”
“Cuma minum, Om?” Aku mulai tergiur dengan bujukan Om Sentot. “Kalau hanya minum, aku mau,” ucapku tanpa pikir panjang.
“Iya cuma minum. Para tamu di kafe ini orang kelas atas semua. Kadang mereka tak mau datang ke sini, mereka ingin karyawan kafe ini yang mengantarkan minuman ke kamar mereka. Bisa di rumahnya, hotel, bahkan vila.”
“Terus aku ke sana bagiamana? Aku kan belum tahu rumah mereka?”
“Itu gampang, kadang-kadang mereka mengirimkan sopir untuk menjemput wanita kafe ini yang akan menemaninya minum. Tapi kadang-kadang juga mobil dari sini yang akan mengantarmu. Yang jelas, kau tak perlu pusing memikirkan ongkos ke sana. Om yang akan mengatur semuanya. Kalau perlu, semua biaya akomodasi, Om yang bayar.”
Aku sudah mulai tenang dan tak melawan remasan tangan Om Sentot. Ada secercah harapan untuk aku mendapatkan uang tanpa harus menjual tubuhku. Dari awal aku sudah bertekad, aku harus bisa mendapatkan uang sendiri tanpa harus menunggu kiriman uang dari bapakku.
“Bagaimana? Mau enggak? Kalau mau, biar aku telepon orang yang sedang mencari teman buat minum-minum malam ini.”
“Malam ini juga?”
“Iya kalau kamu mau.”
“Em ... Gajinya berapa, Om?” tanyaku malu-malu. “Kira-kira kalau buat bayar kontrakan sama uang semester, cukup nggak?”
“O ... Ya lebih dari cukup. Sisa malah. Enggak harus nunggu satu bulan lagi. Begitu pekerjaanmu selesai. Om langsung bayar. Bahkan kadang-kadang, kalau kau bertemu orang yang baik, mereka tidak segan-segan memberi banyak tip kepadamu.”
Aku mulai menghitung-hitung berapa uang yang akan aku dapatkan. Aku juga mulai merencanakan, barang apa yang akan aku beli jika sudah mendapatkan uang dari pekerjaanku.
“Bagaimana? Mau enggak?” desak Om Sentot lagi. “Nyari kerjaan itu susah, lho. Kalau kamu enggak mau, masih banyak yang mau mengambil pekerjaan ini. Wong kerjanya cuma duduk menemani minum, kok.”
“I-iya. Aku mau,” jawabku cepat. Aku tak mau Om Sentot berubah pikiran dan memberikan pekerjaan ini untuk orang lain.
“Baiklah kalau begitu,” pungkas Om Sentot. Ia tiba-tiba menarik tanganku dan meletakkan di pangkal pahanya. Aku merasakan ada sesuatu yang hangat di balik celananya. Bergerak-gerak naik turun dan keras.

KAMU SEDANG MEMBACA
Open BO
RomantizmWARNING!!! AREA 21++ Banyak adegan mengenakan yang membuat anumu berdiri. Bijaklah dalam membaca. Semua orang tidak ingin terlahir dalam kemiskinan. Namun, impitan ekonomi membuat Cintya harus menjual tubuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia semak...