Bab 12 Astaga! Dia Melihatku

6.6K 34 1
                                    

"Ya sudah, sana lu mandi, nanti aku coba tanya sama ayahnya Gio!" ucap Bu Saodah seraya pergi meninggalkan kamarku sambil merangkul anak tirinya. Giovanno.

Sebenarnya terbersit keraguan juga dalam hatiku. Gio mengatakan disuruh ayahnya, Om Sentot untuk menarik uang sewa dariku. Padahal jelas-jelas Om Sentot sudah mengatakan semalam. Kalau biaya kosku dia yang nanggung. Dan dia akan bicara langsung dengan Bu Saodah agar tak menagih sewa dariku.

Setelah mandi dan berpakaian rapi, aku menyempatkan pergi ke konter toko HP untuk mengisi pulsaku yang sudah dalam masa tenggang. Selama keluargaku belum mengirim jatah uang kuliahku, boro-boro buat mikirin beli pulsa. Buat makan saja aku sudah, bahkan kadang sehari cuma makan mi instan atau mi gelas.

Setelah mandi badanku sudah agak baikkan sebenarnya. Rasa ngilu dan pegal-pegal sudah berkurang. Tapi, aku masih merasakan sesuatu yang seperti mengganjal di pangkal pahaku. Sesuatu yang sangat besar yang membuat cara berjalanku mungkin akan terlihat lain. Hal itu juga yang membuatku untuk memutuskan untuk tidak pergi ke mana-mana. Untuk masalah baju, aku bisa mencari baju lamaku. Mungkin ada beberapa yang masih bagus yang layak aku pakai untuk datang ke klub malam nanti.

Sesampai di kamar kosku kembali, aku segera menghubungi Om Sentot untuk memastikan masalah uang sewa kosku.

"Ya ada apa Cintya?" sapa Om Sentot dengan sangat ramah. "Kau sudah siap untuk menemui tamu malam nanti?"

Aku menghela napas. Ya, aku sudah menyanggupi untuk menerima tamu yang akan dicarikan oleh Om Sentot yang akan membayar mahal keperawananku, meski pada kenyataannya aku sudah tak lagi perawanan. Tapi aku harus menutupi ini. Jangan sampai Om Sentot tahu dan membuat harga jualku turun. Aku tak mau uang dua puluh juta di depan mata melayang begitu saja.

"Sudah dong, Om! Tapi aku belum sempat beli baju baru. Tapi Om Sentot jangan khawatir, aku pasti akan datang dengan penampilan yang tak mengecewakan." Aku berbicara lebih berani sekarang. Aku sudah terlanjur masuk ke dunia gelap ini. Jadi ... aku harus bertingkah seprofesional mungkin.

"Oh ... ya, Om! Masalah uang sewa kontrakan bagaimana ya Om? Barusan Bu Saodah ke kamarku dan menagih uang sewa itu."

"Oh iya, aku lupa! ... Begini saja, bilang sama Ibu, uang sewa aku yang tanggung. Bilang saja nanti aku potong dari gaji kamu."

"Aku sudah bilang seperti itu, Om! Tapi sepertinya Bu Saodah tidak percaya. Bagaimana dong?" tanyaku setengah merajuk. Aku sudah mulai mendapatkan titik sela dari Om Sentot. Mungkin aku bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan sesuatu jika suatu saat aku membutuhkan bantuannya.

"Ya sudah begini saja, kalau nanti Bu Saodah menemui dan menanyakan uang sewa lagi, kau telepon saja aku, biar nanti aku yang bicara sama dia."

"Ok, Om!"

Aku menutup panggilan teleponku sambil senyum-senyum. Uang tiga juta dari Om Sentot berarti aman. Bisa aku pakai untuk membeli pakaian dan beberapa kebutuhan. Masalah uang kuliah, semoga nanti malam Om Sentot sudah mendapatkan tamu untukku.

Aku membuka lemari dan mencari baju-baju lamaku yang mungkin masih bisa aku pakai untuk nanti malam. Ada beberapa rok yang sudah kecil dan blus bahan kaos yang sangat tipis. Mungkin aku bisa mencobanya untuk malam sebelum aku membeli yang baru. Tapi aku tidak mau membeli baju dengan uangku. Jika nanti malam aku dapat om-om kaya, aku harus membujuknya agar membelikan baju untukku atau memberi uang lebih sebagai gantinya.

Aku memeriksa jam di ponselku, ternyata sudah jam satu siang. Pantas saja perutku sudah sangat lapar. Aku berencana untuk kembali keluar mencari makan siang. Selama hari efektif, suasana di rumah kosku ini sangat sepi. Karena rata-rata yang tinggal di tempat kos ini adalah para mahasiswa. Jadi di siang bolong ini tak ada siapa pun di rumah kos ini selain pemilik dan anak tirinya tadi.

Sebentar ... aku merasa ada yang janggal dari Gio. Dia bilang disuruh Om Sentot untuk meminta uang sewa dariku. Padahal jelas-jelas Om Sentot tidak menyuruhnya. Dan juga ... sewaktu aku menelepon tadi, dia sama sekali tak mengatakan akan hal itu. Jadi aku berkesimpulan jangan-jangan itu hanya akal-akalan dari Gio saja untuk mendapatkan uang saku. Remaja seperti dia pasti suka menghambur-hamburkan uang.

Sebelum pergi keluar untuk mencari makan. Aku berinisiatif untuk menemui Bu Saodah untuk meluruskan soal uang sewa kontrakanku. Aku mau semuanya clear dan dia tak lagi menagihku. Aku akan meminta Om Sentot untuk berbicara langsung dengan Bu Saodah melalui sambungan telepon setelah aku menemuinya.

Aku berjalan melintasi taman rumah kosku yang memang beda bangunan dengan rumah Bu Saodah. Suasana tampak lengang ketika aku menyusuri lorong yang menjadi penghubung bangunan kos dan rumahnya. Mungkin hanya berjarak dua puluh meter. Namun suasana rumah yang memang lengang ditambah pekarangan yang semuanya tertutup pagar, membuat perjalananku seperti sangan lama.

Tanganku sudah terayun hampir mengetuk pintu rumahnya. Namun segera aku urungkan begitu mendengar suara aneh dari telingaku. Seperti seseorang yang sedang makan atau mengunyah sesuatu. Dan suara itu terdengar lumayan keras karena suasana rumah Bu Saodah memang sepi.

"Mungkin mereka sedang makan," pikirku.

Aku melangkah ke sumber suara yang berasal dari pintu samping yang langsung menuju ruang keluarga. Pintu itu memang tertutup, tapi TV LED yang lebar di ruangan itu menyala. Dan dari balik kaca, aku bisa melihat tampilan dari TV itu.

"Eh buset!" Ake buru menutup mulutku sambil melotot. Ternyata TV itu sedang menayangkan film adegan dewasa. Namun, yang tak kalah membuatku terkejut, aku melihat Bu Saodah sedang duduk terlentang dengan roknya yang lebar terangkat ke atas. Sementara Gio duduk di depannya dan membenamkan kepalanya di antara pangkal paha Ibu Saodah.

"Ah ... terus Gio! Terus Gio!"

Aku mendengar Bu Saodah mendesah. Kedua tangannya memegangi kepala Gio dan menahannya di selangkangannya. Aku maju sedikit mencari tempat yang aman untuk bisa melihat adegan itu lebih jelas. Setelah menemukan tempat yang aku rasa tak akan terlihat oleh mereka dan mendapatkan sudut pengintaian yang bagus. Aku duduk berjongkok menyaksikan kembali adegan.

Dari balik kaca jendela yang lebar, aku melihat Gio mengangkat kedua kaki Bu Saodah. Aku hampir tersenyum melihat bulu-bulu Bu Saodah yang hitam pekat, memenuhi daerah kewanitaannya. Aku sedikit menarik napas mana kala tanpa ragu Gio menjulurkan lidahnya dan menyapu liang milik ibu tirinya itu.

"Dasar anak durhaka!" rutukku. Ingin sekali aku mencegah mereka, melarang hubungan yang tak normal itu. Tapi ... ah, itu urusan mereka. Aku tidak pernah tahu dari kapan mereka melakukan hubungan seperti ini. Jangan-jangan mereka memang sudah biasa melakukannya atau ...

"Gigit Gio! Gigit!" tiba Bu Saodah kembali mengerang sambil berkata-kata tidak karuan. Kedua matanya terpejam. Sepertinya dia sedang berada di puncak kenikmatan. Aku tahu rasanya ketika titik saraf kenikmatanku dijamah lidah Indra. Jadi, saat ini aku juga bisa merasakan apa yang Bu Saodah rasakan. Tanpa sadar, otot-otot rahimku terasa berdenyut-denyut melihat adegan yang mereka lakukan.

Gio tiba-tiba berdiri setelah beberapa saat mencumbui lubang kenikmatan Bu Saodah. Begitu anak tirinya itu berdiri, Bu Saodah langsung menyambar celana lelaki itu dan menurunkannya. Dan begitu burung Gio sudah tanpa sarang, mulut Bu Saodah langsung melahap benda itu mentah-mentah.

"Hhh ...." Kenapa justru aku yang mendesah? Bukan karena merasa nikmat, tapi lebih ke arah kekecewaan karena tak sempat melihat seberapa besar dan panjangnya keperkasaan remaja itu.

Tangan Gio segera menyambut kepala Bu Saodah dan menekannya agar keperkasaannya lebih dalam masuk ke mulut wanita itu. ia terlihat merem melek merasakan kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Gerakan tangannya mulai intens menarik dan mendorong kepala Bu Saodah agar keperkasaannya merasakan sensasi gesekan dari gerakannya itu.

"Sedot lagi, Bu! Sedot!" erang Gio. Matanya tiba-tiba melotot merasakan tubuhnya yang mengejang. Kepalanya menoleh, kadang mendongak dengan suara desisan penuh kenikmatan. Dan tanpa sengaja, tiba-tiba kelapa itu menoleh ke arah tempatku bersembunyi. Aku pikir dia tidak akan terlalu fokus dengan penglihatannya.

Namun pikiranku salah. Gio kini tersenyum ke arahku. Dia bahkan mengerlingkan matanya sambil memainkan lidahnya membasahi bibirnya sendiri.

"Astaga! Dia melihatku sedang mengintipnya."

Open BOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang