Aku terduduk menahan gairah yang tak terlampiaskan. Marah, sedih dan penyesalan bergelayut dalam relung hatiku. Hampir saja! Hampir saja aku melakukan yang seharusnya tak kulakukan, menyerahkan keperawananku kepada lelaki yang bukan suamiku. Celakanya lagi, lelaki yang menjamahku adalah om-om yang sudah beristri tiga dan salah satu istrinya adalah ibu kosku.
Aku sudah bisa mengendalikan birahiku. Setelah membersihkan diri, aku kembali mendekati Om Sentot yang tertidur sambil mendengkur di atas sofa. Wajahnya terlihat lelah tapi menggambarkan kepuasan batin yang sudah terlampiaskan. Tatapanku turun ke bawah menuruni bagian perut yang belum memakai celana. Aku tersenyum dingin. Ternyata burung Om Sentot sangat kecil. Mengkeret bersembunyi di antara hutan-hutannya yang lebat. Yang lebih menyedihkan lagi, burung itu tak mampu bertahan lama. Hanya sekali sentuh, dia langsung terkapar muntah dan tak bangun-bangun lagi.
“Apa yang kau pikirkan, Cintya!” tegurku pada diriku sendiri. Aku menepis semua bayangan yang baru saja aku lakukan bersama Om Sentot. Aku bergidik mengingat semua itu, namun aku masih bersyukur karena sampai saat ini aku masih perawan. Yang mengganjal dalam pikiranku saat ini, justru bagaimana aku akan membayar uang kuliahku dan sewa kamar kosku.
Om Sentot terbatuk, ia membuka mata dan sedikit terkejut melihat aku yang masih berdiri menatap ke arahnya.
“Kau belum pulang, Cintya?” tanya Om Sentot seraya bangun dan duduk sambil mengucek-kucek kedua matanya.
“Belum, Om!” jawabku. Ada sedikit kegembiraan dalam hatiku. Aku tak perlu membangunkan lelaki itu untuk meminta uang karena sudah menyerahkan keperawananku. Tapi ... Bukankah Om Sentot belum melakukan itu padaku? Apakah dia akan memberiku uang hanya karena aku berhasil menyenangkan burungnya?
“Oh ya, tunggu sebentar!” Om Sentot bangun lalu memakai celananya. Ia berjalan menuju mejanya dan mengambil beberapa ikat uang berwarna merah dari dalam lacinya.
“Ini dua juta kau ambillah! Sekarang kau bisa pulang, besok kembali ke sini. Kau bisa pakai uang itu untuk membeli pakaian baru. Pakaian yang lebih seksi maksudku.”
“Tapi, Om—“ Aku tetap mengambil uang itu karena aku benar-butuh, tapi dua juta hanya cukup untuk membayar sewa kamar kosku. Lalu bagaimana dengan uang kuliahku?
“Kau tenang saja, besok kau kembali lagi ke sini, aku akan mencarikan om-om kaya yang berani membayar mahal keperawananmu. Tapi ingat baik-baik! Jangan melakukan gitu-gituan dulu, Om sengaja tak memasukkan burung Om, agar kau masih tetap perawan dan punya jual tinggi. Kau mengerti?”
“Iya, Om! Tapi bagaimana dengan uang sewa kos dan kuliahku, bukannya tadi Om bilang mau kasih 10 juta buat DP?”
“Ya besok, tadi kita kan cuma main-main!” Om Sentot kembali membuka lacinya dan mengeluarkan sepuluh lembar uang ratusan. “Ini aku tambahi satu juta, anggap saja sebagai bonus karena kau memperlakukan burungku dengan baik. Masalah uang sewa kos, biar nanti urusan Om, sekarang kau hanya perlu membeli baju dan memoles penampilanmu untuk besok malam.”
“Iya, Om.” Aku sedikit lega, setidaknya aku tak perlu memikirkan lagi uang sewa kosku atau mendengar suara cempreng Ibu Saodah, masalah uang kuliah, aku percaya Om Sentot akan memberikannya jika besok malam aku kembali datang dan melakukan ‘pekerjaan’. Buktinya uang 3 juta yang sekarang aku kantongi hanya dengan menidurkan burungnya.
“Sekarang kau pulang, lah! Jangan lupa besok kembali lagi.”
“Iya, Om! Tapi bajuku bas ... sah! Bekas muntahan burung Om. Apakah tidak ada baju atau jaket yang bisa aku pinjam dulu, Om!”
Om Sentot menoleh ke kanan dan ke kiri. Matanya berhenti pada bungkus plastik transparan yang di dalamnya ada sebuah jaket bertuliskan merek sepeda motor, mungkin itu jaket hadiah dari pembelian.
“Kau pakailah jaket ini!” Om Sentot mengambil bungkus itu dan melemparkannya padaku. Tak mau berlama-lama, aku segera membuka dan memakainya.
“Kalau begitu aku pulang dulu, Om!” Om Sentot hanya melambaikan tangan seraya berjalan menuju toilet di ruangannya. Aku pun melangkah keluar. Suasana kafe atau apalah namanya sudah mulai ramai. Tatapan aneh tertuju padaku dari orang-orang yang kulewati. Aku tak peduli. Yang aku pikirkan saat ini adalah ingin cepat-cepat sampai rumah dan membersihkan seluruh tubuhku.
Bayangan wajah beringas Om Sentot yang menjulurkan lidahnya di pangkal pahaku kembali terlintas. Tiba-tiba aku merasa sangat jijik. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati tiap sentuhannya, sementara Doni, kekasihku yang dulu belum pernah melakukan itu. Paling berani dia hanya meremas-remas payu daraku dan mengulumnya. Itu pun tidak lama. Dan aku sendiri ... baru kali ini aku memegang burung orang dewasa yang mengeras. Bagaimana mungkin tanganku ini begitu lincah mengocok-kocok burung Om Sentot?
TING!
Lift yang aku naiki sudah berada di lantai dasar. Aku tak melihat dua sekuriti yang tadi sore aku temui. Sekarang berganti dengan dua sekuriti yang memiliki badan lebih besar dan tato yang terlihat hampir memenuhi tubuhnya.
“Duh ... mana si Lisa sudah pulang duluan lagi!” rutukku sambil berjalan melintasi dua sekuriti itu.
“Mau pulang, Neng? Bawa kendaraan sendiri apa sudah ada yang jemput?” tanya salah satu sekuriti.
“Aku naik ojek, Om?”
Kedua sekuriti itu tersenyum mesum ke arahku. “Habis audisi, ya?” tanya sekuriti yang lain.
“Kok tahu?” tanyaku mencoba memberanikan diri. Aku ingat pesan Lisa. Di tempat seperti ini kita harus pura-pura berani. Karena jika kita terlihat takut, orang-orang itu akan semakin menindas kita.
“Habis si Eneng pakai jaket hadiah motor, emangnya bajunya kenapa, Neng? Kena crot Pak Sentot ya?” sekuriti itu terkekeh.
“Hus!” bentak sekuriti di sebelahnya. “Kalau bos dengar, bisa kena pecat lu!”
Aku menggeleng-geleng sambil meninggalkan mereka. Sudah pukul sepuluh malam, dan pusat perbelanjaan yang menjadi lantai dasar klub malam yang aku datangi ini sudah benar-benar sepi. Pengunjung yang akan masuk ke dalam klub malam itu bisa melewati gedung parkir yang langsung menuju tempat itu.
Beberapa ojek motor berderet di balik pintu pagar yang sudah setengah tertutup dan hanya menyisakan untuk para pejalan. Aku melangkahi pagar itu untuk keluar dari area gedung. Tatapanku langsung menyapu mencari tukang ojek yang sekiranya terlihat agak lumayan. Tidak dipungkiri, sering kali aku memakai jasa ojek, aku pasti memilih dari segi penampilan dan kendaraan yang dipakai pengojek itu. Bukan masalah ganteng atau jeleknya. Aku lebih memilih tukang ojek yang terlihat ramah dari pada tukang ojek yang berantakan.
“Ojek, Neng!” seorang tukang ojek berbadan tinggi gelap menghampiriku, di belakangnya tukang ojek lain yang tak kalah sangar juga mengekor di belakangnya.
“Ye ... gue dulu, kan antreannya jatah gue!” tiba-tiba tukang ojek lain dari balik pagar berjalan dengan celana kedodoran sambil menaikkan ritsleting celananya. Mungkin dia baru saja kencing di balik pagar itu.
Aku benar-benar tidak nyaman dengan tingkah mereka, apalagi mereka mengerubutiku dan tak memberi jalan kepadaku.
“Ssst, dia sudah order gue!” seorang lelaki muda dengan wajah tidak terlalu putih tidak juga terlalu gelap menyeruak menarik tanganku. Namun, dibanding dengan ketiga tukang ojek itu. Jelas dia terlihat paling bersih dan rapi.
“Oh ... langganan lu, Ndra?” tanya salah satu tukang ojek terlihat kecewa. Dia lalu kembali ke sepeda motornya diikuti dua tukang ojek yang lain.
Aku tercengang melihat lelaki di depanku ini. Dia adalah Indra, sekuriti yang tadi sore aku temui di pintu lift gedung itu.
“Kamu sudah selesai? Mari aku antar!” Indra tiba-tiba melingkarkan tangannya di pinggulku. Aku hampir saja berontak, namun dia segera memiringkan kepalanya dan berbisik di telingaku.
“Mereka para tukang ojek cabul, kamu mau tubuhmu digerayangi sama tukang ojek itu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Open BO
RomanceWARNING!!! AREA 21++ Banyak adegan mengenakan yang membuat anumu berdiri. Bijaklah dalam membaca. Semua orang tidak ingin terlahir dalam kemiskinan. Namun, impitan ekonomi membuat Cintya harus menjual tubuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia semak...