"Enak, Cintya!" lenguh Indra. Matanya merem melek ketika tanganku membelai dan mempermainkan burungnya yang tegak berdiri di atas dua telur dan rimbunnya rumput liar.
"Boleh aku menciumnya?" tanyaku ragu-ragu. Sebenarnya aku belum pernah melakukan ini sebelumnya. Tapi setelah memutuskan untuk menerima pekerjaan Om Sentot, aku harus berani mencoba hal-hal baru. Meski ... Mungkin akan terdengar menjijikkan, tapi setidaknya aku melakukan dengan orang yang aku kenal. Maksudku orang yang baru aku kenal. Memang belum lama, tapi hatiku sudah merasa nyaman berada di dekatnya.
"Kalau kau mau, lakukan saja!" balas Indra seraya merebahkan tubuhnya. Kedua kakinya masih menggantung di tepi ranjang. Sementara celana dan bajunya sudah benar-benar lepas dari tubuhnya. Kami seperti sepasang anak kecil yang sedang bermain dengan sama-sama telanjang.
Aku segera merangkak dan mulai menempelkan bibirku di ujung kepala burungnya yang plontos, satu tanganku masih memegang batangnya, sementara tangan yang lain bertumpu pada kasur agar tubuhku tak terlalu membebaninya.
Aku mengulumnya secara perlahan, tubuh Indra sontak menggelinjang dan burungnya itu bergerak-gerak di dalam mulutku. Awalnya aku ingin muntah, menelan benda asing yang besar dan panjang yang berasa hangat. Namun, begitu benda itu bergerak-gerak dalam mulut saat lidahku berusaha merasakannya. Aku jadi penasaran dan ingin menelannya lebih dalam lagi dan lagi.
Beberapa saat lamanya aku melakukan itu dan berkali-kali juga mulut Indra terdengar mendesah dengan gerakan tubuh seperti belut yang meronta-ronta. Tidak seperti burung punya Om Sentot yang cepat muntah, rahangku dibikin pegal karena burung Indra masih sangat perkasa. Aku sudah berusaha mempercepat gerakan tangan dan mulutku. Tapi burung itu tetap tak goyah berdiri menantang.
Aku sedikit menggeliat ketika tiba-tiba aku merasakan tangan Indra membelai pahaku dan perlahan bergeser ke bokongku yang masih dalam jangkauan tangannya. Jemarinya seperti menggelitikku menyusup nakal di antara belahan pantat. Jari itu terus masuk ke dalam dan menggapai titik pusat kenikmatanku yang sudah kembali mengeras. Hangat dan basah.
Eranganku terdam oleh burung yang masih ada dalam mulutku. Namun sentuhan jemari Indra yang menggelitik kewanitaanku membuat aku menghentikan gerakanku untuk menikmati rangsangan yang ia berikan.
"Naiklah ke dadaku, Cintya!" ucap Indra. Sebenarnya aku tak tahu apa maksudnya. Tapi otot syaraf rahimku yang sudah mulai berdenyut-denyut lagi, menginginkan kecupan lembut bibirnya dan belaian liar lidahnya. Aku pun bergeser dan mengangkangi wajahnya dan menempelkan pangkal pahaku ke dalam mulutnya.
Bibir dan lidah Indra langsung menyambut kewanitaanku dan menyantapnya dengan sangat lahap. Aku mengerang menahan kenikmatan yang kembali menjalar di seluruh tubuhku. Tak ingin hanya berdiam diri, aku pun kembali menggerakkan mulut dan tanganku untuk membalas kenikmatan yang diberikan lelaki yang sekarang berada di bawah tubuhku. Air liurku bercampur dengan cairan pelumas yang sudah keluar dari mulut burung Indra. Tapi aku yakin itu bukan cairan sperma, itu hanya cairan yang biasa keluar saat kita terangsang. Sama sepertiku yang suka lembap pada dinding rahimku ketika sedang merasakan birahi.
Tangan Indra memegang erat kedua pahaku, tanpa aku bayangkan sebelumnya, Indra memiringkan tubuhnya dan kemudian berguling. Aku tak bisa melawannya ketika posisi kami sudah terbalik. Sekarang tubuh Indra sudah berada di atas tubuhku dengan arah yang masih berlawanan mempertahankan posisi enam sembilan.
Namun hal itu tak berlangsung lama. Indra tiba-tiba menyudahi aktivitasnya dan menarik burungnya dari mulut dan genggaman tanganku. Aku sedikit kecewa padahal. Karena birahiku benar-benar sedang menggebu-gebu. Antara menikmati permainan lidahnya di kewanitaanku dan menikmati batang hangat burungnya di mulutku.
Indra memutar tubuhnya dan merangkak mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dia lalu berbisik.
"Punyamu masih wangi, apakah kau benar-benar belum pernah melakukan sebelumnya?" tanyanya. Namun tangannya juga ikut bergerak meraba-raba kewanitaanku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Open BO
Lãng mạnWARNING!!! AREA 21++ Banyak adegan mengenakan yang membuat anumu berdiri. Bijaklah dalam membaca. Semua orang tidak ingin terlahir dalam kemiskinan. Namun, impitan ekonomi membuat Cintya harus menjual tubuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia semak...