Setelah pulang dari caffe tempat bertemu pengacara yang Aksa katakan akan membantu mereka menyelesaikan masalah perihal klinik. Aksa membawa Keyla ke sebuah villa, villa yang berada di puncak. Villa mewah yang Keyla yakini adalah milik sahabatnya Barra.
Tadi Aksa mengatakan jika mereka harus mampir ke suatu tempat terlebih dulu. Di mana tempat itu mungkin saja akan sedikit merefreshkan otak mereka dari masalah yang saat ini mendera. Dan Keyla hanya menurut begitu saja tanpa protes atau banyak tanya.
Selain karena malas dia pun enggan untuk tahu lebih jauh. Toh tempat itu juga bisa membuat otak Keyla yang sedang penat bisa sedikit lebih fresh.
Tapi, sepertinya semua tidak seperti bayangan Keyla. Karena saat ini dia menyesal lantaran tidak bertanya lebih banyak lagi.
Mengerjabkan kedua matanya berkali-berkali, Keyla pun hanya bisa menatap Aksa penuh tanya sampai sahabatnya itu tersadar, menoleh ke arahnya dengan gerakan lambat. Dia seperti tengah tertangkap melakukan sesuatu yang bisa saja membuat dia dalam masalah.
Wajahnya meringis pelan begitu menemukan tatapan penuh tanya Keyla lebih intens. Yang Aksa yakini sebentar lagi akan membuat Keyla membunuhnya jika dia mengatakan yang sebenarnya pada wanita itu.
"Kenapa?" Tanya Keyla yang tak mendengar suara Aksa, padahal dia yakin jika sahabatnya itu tau apa yang saat ini ada di kepala Keyla. Juga pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di sana.
Aksa berdehem pelan guna menetralkan suaranya yang mendadak hilang. Dia menjadi gugup hanya dengan tatapan mata sahabatnya yang begitu penasaran.
"Kenapa sih?" Tanya Keyla lagi. Yang belum paham dengan apa yamg terjadi. Dan semua itu semakin membuat Aksa merasa bersalah.
"Gimana kalau kita turun dulu? Nanti gue jelasin di dalam?"
Keyla membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu namun karena tatapan lurus Aksa ditambah ketukan pintu di sampingnya membuat Keyla mengurungkan niatnya. Semua yang ada di kepala juga hatinya menguar begitu saja. Tergantikan dengan wajah cengo. Yang nampak bodoh.
"Turun!" Seru Barra layaknya alarm bagi Keyla. Hingga dia hanya bisa menelan ludah gugup dengan pandangan ke arah Barra yang kini berada di sampingnya. Keyla bahkan tidak sadar jika kaca mobil di sampingnya sudah terbuka. Menampilkan wajah sangar Barra yang semakin membuat Keyla kesulitan menelan ludah.
"Kamu mau turun sendiri, atau aku seret?!" Tegur Barra kesal lantaran Keyla tak kunjung turun. Dia hanya diam dengan pandangan gugup.
"Keyla?"
Buru-buru Keyla pun membuka pintu, keluar dari mobil begitu mendapati wajah tak bersahabat Barra. Yang dia yakini sebentar lagi akan keluar tanduknya.
"Ap---a?" Gagap Keyla layaknya tertangkap mencuri begitu dia sudah berdiri di depan Barra.
Tanpa kata, Barra pun langsung berbalik. Pergi begitu saja dari hadapan Keyla, membuat Keyla berdecak dan menghentakkan kaki kesal. Dengan setengah hati dia pun melangkahkan kakinya, berniat menyusul Barra, tapi belum sampai dia melangkah ke arah pintu masuk, langkahnya seketika berhenti begitu merasakan genggaman tangan seseorang di tangannya. Begitu menoleh, kedua matanya nyaris keluar begitu menemukan wajah kaku Aksa yang berdiri disampingnya yang menatapnya bersalah.
"Kenapa?" Tanya Keyla yang belum paham dengan tatapan mata pria itu.
"Sebenarnya gue mau bilang ini tadi, cuman gue takut lo marah. Jadi gue gak bilang kalau sebenernya anak-anak pada nunggu kita."
Anak-anak? Seketika Keyla merasa tubuhnya lemas, tak lagi memiliki tenaga begitu mendengar penjelasan Aksa.
Anak-anak itu ... Maksud Aksa, para sahabatnya kan ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friend My Wife (SELESAI)
RomansaIni tentang perjanjian pranikah dua sahabat. Yang mungkin saling menguntungkan dan menguji kesabaran. Di mana perasaan ikut berperan di sana. Lalu, akankah perasaan itu dapat berperan lebih besar dibandingkan keuntungan yang di tawarkan sejak awal...