16. Quality Time

147 18 2
                                    

Selamat membaca dan semoga suka.

Jangan lupa tinggalkan vote, komen dan share juga, ya. ❤

🍁

"Jadi, kamu sudah yakin ingin melanjutkan perusahaan ini Rafanza?"

Yang ditanya mengangguk yakin. Bahwa ia bisa mengambil alih posisi sang kakek dengan baik. Sedari dulu, kursi kebesaran yang berada di ruang besar kantor pusat Adinaja selalu menjadi hal paling mengagumkan baginya. Rafanza ingin duduk di sana, mengambil alih perusahaan ini di bawah otoritasnya.

"Boleh, lakukan saja. Papa percaya sama kamu, selagi kamu bisa menjalankan hak dan kewajiban kamu dengan baik sebagai pemimpin Adinaja Group sebagaimana Kakek kamu dulu," ujar Satya, papanya. Sebelum pria paruh baya itu kembali meminum teh hijau yang ke tiga kali.

"Insyaallah, Rafa sudah belajar dari Almarhum Kakek. Dan Almarhum Kakek juga sudah cukup melihat bagaimana dedikasi Rafa untuk Adinaja." Rafanza adalah pemuda yang selalu percaya atas semua potensinya. Berprinsip bahwa jangan menyia-nyiakan waktu dari hidup yang mungkin tidak sampai hitungan satu hari. Maka dari itu, ia harus mendapat kendaraan untuk mengejar dunia yang semakin hari berlari jauh.

"Tapi Rafa, kamu tahu hidup tidak hanya soal uang ataupun kekuasaan bukan?"

Namun, ucapan sang papa berhasil menyentil prinsipnya. Apalagi ketika pria itu kembali berkata,

"Papa hanya harus mengingatkan sebagai seorang ayah. Jangan jemawa atas apa yang kamu punya nanti. Dan jangan terlalu berlebihan mengejar dunia. Kamu tahu apa yang paling menakutkan?"

"Apa itu?"

"Ketika kamu merasa dunia mu baik-baik saja padahal Allah berpaling darimu."

Rafanza memang belum terlalu dekat dengan agamanya, masih begitu banyak dosa yang seringkali dilakukan entah dengan sadar atau tidak. Hanya sebagai manusia yang menghamba, sudah seharusnya Rafanza berusaha. Setidaknya Tuhan tidak meninggalkannya. Karena apalah arti dunia, jika ia kehilangan kasih sayang Tuhannya.

"Iya, Pa. Rafanza akan lakukan yang terbaik. Dan berusaha lagi meluruskan niat Rafa. Tapi, bagaimana dengan para om Rafa yang lain? Apa mereka setuju?" tanya Rafanza kembali, tangannya mengambil tisu yang tersedia lalu me-lap tangannya yang terkena sup kari.

"Papa belum lagi berdiskusi, tapi Papa rasa mereka akan setuju. Toh, mereka sudah mendirikan perusahaan sendiri. Papa pun sama, ingin fokus pada perusahaan Papa. Dengan maunya kamu meneruskan Adinaja, Papa rasa itu keputusan yang cukup bagus."

Rafanza tersenyum senang, apa yang menjadi keinginannya sudah di depan mata. "Baik, Pa. Rafa tunggu keputusan selanjutnya."

Setelah itu aktivitas makan siang mereka berlanjut. Di restauran dan cafe Adinaja yang dipegang oleh saudaranya, Hazza. Rafa melihat bagaimana sang adik sepupu itu baru saja datang ke restauran. Tidak biasanya kini wajah sedingin es batu seorang Hazza tampak sedikit mencair.

Meski hanya setipis benang, Rafanza yakin Hazza sedang tersenyum.

"Sepertinya suasana hati saudaramu lagi baik. Gak biasanya senyum-senyum begitu. Apa jangan-jangan dia sudah menyukai Raula?" tanya Satya, turut menyadari tingkah laku sang keponakan.

"Entahlah. Mungkin saja." Rafanza mengedikkan bahu. Kembali memakan sup kari dan beberapa menu makanan yang tersedia di atas meja.

Setelah selesai makan siang, dan bagaimana Rafanza ataupun Satya tidak sempat menemui Hazza, mereka pun segera keluar dari restauran. Satya berangkat dengan mobil yang berbeda, menuju perusahaannya yang sebentar lagi akan ada rapat.

Azeera & Brother's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang