17. Our Beloved Zira

128 17 2
                                    

Selamat membaca dan semoga suka. 🦋

Maaf ya, updatenya gak nentu. Kadang seminggu sekali atau seminggu dua kali. Tapi semoga kalian tetep nyaman, ya. Yang penting aku tetep update aja. Karena aku juga sambil nabung bab.

Dan sebelum baca. Jangan lupa votenya dulu, biar gak ketinggalan. Syukron orang-orang baik. ❤

.
.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya. Yang beberapa waktu lalu terlintas di kepala Raya. Ada apa gerangan dengan dunia, sejak kapan malaikat turun dari langit?

Dan di sini lah Raya sekarang. Duduk di sebuah restauran mewah, di antara empat pemuda yang ternyata adalah saudara teman barunya. Tidak menyangka betapa beruntung ia di hari ini. Bersyukurlah pada diri sendiri, menjadi orang baik memang tidak akan sia-sia.

"Tahu gak, Met?"

Yang ditanya menggeleng, fokusnya belum teralihkan dari pemuda berkacamata yang sedang memainkan kamera yang melingkar di leher. Sesekali tertawa mendengar candaan receh saudaranya.

"Semalem gue mimpi jalan-jalan sama Jin, Jungkook, ampe Haruto ke pantai masa. Gue happy banget di situ, baru kali ini mimpiin mereka berasa nyata banget," bisik Raya hampir dekat ke telinganya.

Entah apa yang merasuki Raya sampai mengisahkan mimpi indah yang terkesan halu itu. Yang pasti Meta hanya bisa menyimpulkan, bahwa Raya sepertinya sudah tidak waras. Yang di mimpi itu mungkin hanya bunga tidur dari gambaran imajinasi sebelum tidurnya. Namun, ia justru mengaitkan mimpi itu dengan situasi hari ini. Ketika gadis itu kembali berkata,

"Mimpi gue pertanda dapet rezeki nomplok, Met. Buktinya meski gak kesampaian lihat para bias gue di dunia nyata, setidaknya ada lima pangeran sekaligus yang memanjakan mata gue sekarang!"

Meta mendelik sinis. "Terserah lo Raya, gue bisa apa kalau halu lo udah setinggi monas," cibir Meta sembari melipat tangan di dada. Matanya menyisir sekitar restauran terkenal ini. Tentu milik perusahaan besar dari anggota keluarga yang menyeretnya masuk ke tempat ini juga.

Beralasan supaya adik mereka yang bernama Zira akan merasa ditemani dan tidak canggung. Namun, yang ada justru kini Meta merasa asing sendiri. Aura orang kaya sungguh berbeda sampai-sampai dia bergumam, "Apalah gue yang cuma butiran rengginang di dalem kaleng kong ghuan. Yang bapaknya cuma jadi tukang foto terus gak kebagian muncul di kaleng, hiks."

"Bisa jadi, tuh, sebenernya bapaknya yang potoin. Bikin kasian aja dikira Bang Jali karena gak pulang-pulang."

Siapa lagi ini yang nyambung kayak kabel internet?

Meta menoleh, sedikit tersedak ketika yang membalas ucapannya ternyata si kakak kelas bermata biru yang dijuluki Ensteinnya SMANTA. Kesukaan Raya, tapi perasaannya ditolak habis si cowok populer itu.

"Eh, Kak Biru. Denger, ya?"

"Iya." Biru mengangguk. "Jelas banget kayak pake toa."

Tiba-tiba Raya menyenggol Meta sambil berbisik, "Malu-maluin banget, lo."

Habislah dia hari ini. Apalagi pemuda yang berkaca mata itu melihat ke arahnya dengan sedikit kekehan kecil. Rasanya, Meta ingin kabur sekarang Juga.

Lagipula, di mana Zira sekarang. Kemana dia pergi bersama salah satu pemuda yang berwajah dingin tadi?

***

"Wah, Kak Hazza koki?"

Retina gadis berlesung satu itu berbinar, memerhatikan betapa lincahnya sang koki tampan yang sedang memasak menu makanan di dalam wajan. Sementara yang ditanya hanya tersenyum manis, sampai-sampai para koki lain yang bekerja geleng-geleng dengan tingkah sang atasan berwajah dingin itu.

Azeera & Brother's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang