200 comments for next chapter.
Nanti ada scene explicit yang bakalan aku up di karyakarsa biar gak kena report nanti.
Tapi, aku bakalan kasih free access buat kalian yang rajin ngasih banyak komentar di cerita ini :)
Utopia memiliki tiga daerah yang dinamakan Utopia Timur, Barat dan Tengah. Di mana masing-masing tempat memiliki bangunan yang berbeda. Sesuai dengan strata sosial mereka.
Utopia Barat diisi oleh orang-orang berstatus sosial tinggi. Seperti pegawai pemerintahan dan yang lain. Rumah-rumah di sini juga dibangun indah sekali. Layaknya rumah di era modern abad ini. Ada pendingin ruangan, bath up mandi dan masih banyak yang lain.
Berbeda dengan Utopia Timur yang memiliki bangunan rumah minimalis. Jauh dari kata layak huni. Sebab atap dan lantainya saja hanya berasal dari tanah liat kering yang rapuh sekali. Kamar mandinya juga hanya didisi bak kecil agar bisa mudah diangkat ketika ingin mengisi air. Mengingat setiap rumah tidak memiliki sumur sendiri.
Rumah-rumah di Utopia Tengah jelas memiliki bangunan yang lebih baik dari Utopia Timur. Namun tidak lebih baik dari Utopia Barat yang didisi oleh orang-orang kalangan elit. Sebab rumah-rumah di sini sudah memakai atap genting dan berlantai keramik. Setiap rumah juga memiliki kamar mandi. Sehingga mereka tidak perlu susah-susah menimba air sebelum ke kamar mandi.
Joanna diatarik Aletta menuju tengah-tengah gang. Wanita itu tampak pucat dan kesakitan. Sembari membungkus jari kelingking kanan dengan ujung kaos yang dikenakan.
"Jangan macam-macam dengan mereka! Apalagi Tuan William! Dia terkenal jahat dan kejam! Apalagi dia suami Putri Rosaline, anak Raja Dimitri, pemimpin negara ini."
Joanna masih mencoba mencerna perkataan Aletta. Namun, pikirannya buyar setelah ada pria paruh baya yang mendekati mereka. Membuat Aletta yang sedang kesakitan mulai mengangkat rok selututnya. Hingga pangkal paha dan celana dalamnya terlihat.
"Kemari, Tuan! 10 ribu include pengaman. Untuk tempat, tidak masalah mau di mana saja."
Aletta mulai mengambil kemasan karet latex pada saku roknya. Dengan tangan kanan yang masih terbungkus bagian bawah kaosnya. Membuat Joanna lekas menghalangi pandangan si pria dengan tubuhnya.
"GILA KAMU! TIDAK! PERGI DARI SINI! KAMI SUDAH TIDAK MENJUAL DIRI LAGI!"
Pekik Joanna kencang sekali. Berharap ada orang yang akan membantunya nanti. Sebab dia takut pria ini akan memaksa dan melakukan kekerasan pada mereka di gang sepi ini.
"Tenang saja. Aku bukan orang jahat. Perkenalkan, namaku Drako. Rumahku ada di dekat sini. Aku melihat jari tangan temanmu terluka tadi. Aku hanya ingin mengobati."
Joanna melirik Aletta yang semkain pucat. Keringat juga sudah membasahi dahinya. Membuat Joanna semakin iba dan langsung mengiyakan ucapan si pria asing ini tanpa pikir panjang.
Setibanya di rumah Drako, Joanna langsung menatap sekeliling. Melihat-lihat apa saja yang ada di sini. Sembari mengawasi Aletta yang sedang diobati.
"Akkhh!!! Sakittt!!!"
"Tahan, sebentar lagi selesai."
Jerit dan erangan Aletta terdengar. Karena jari kelingkingnya yang putus harus dijahit tanpa anestesi apa-apa. Hanya diguyur alkohol saja. Lalu dijahit menggunkan benang warna hitam yang entah namanya apa.
"Kuberi obat pereda nyeri. Minum tiga kali sehari. Setelah makan---"
"Tapi saya hanya makan sehari sekali."
"Kalau begitu ambil ini."
Drako memberi karung yang berisi beras putih. Aletta yang awalnya masih menahan nyeri, kini langsung membulatkan mata lebar-lebar saat ini. Dia senang sekali, sebab akhirnya bisa memakan nasi lagi.