1st Game

678 32 35
                                    

Salah satu hal yang paling tidak Rhizu mengerti di dalam hidup ini adalah ketika ada yang mengatakan "Perempuan selalu memakai perasaan."

Rhizu rasa ia orang yang benar-benar menggunakan akal sehatnya. Dan perempuan lain yang ia temui tidak ada yang separah itu. Setidaknya tak ada yang separah lelaki yang ia kenal.

Mungkin tidak semua pria seperti itu. Mungkin kebetulan yang di sekitarnya lelaki adanya yang begitu. Tapi hidup dengan lelaki terdrama sedunia membuat Rhizu merasa semuanya begitu.

"Rhi! Kembaran lu noh berulah lagi!"

'Aib banget sih, anjir,' umpatnya di dalam hati.

Rhizu bukan tipe yang menyebarkan kemana-mana bahwa ia punya kembaran. Alasan yahhh....Zhika sering membuatnya menanggung malu karena sifatnya yang drama. Tapi Rhizu tidak pula sekejam itu sampai tak mau mengakui Zhika adalah kembarannya.

"Cepetan, woi! Dipanggil guru!"

Rhizu pun melangkah malas ke kelas 11 IPA 5. Ia lihat dari kejauhan depan kelas itu orang-orang telah mengerumun, sekalipun ada yang berusaha membubarkan.

Rhizu bahkan tak tahu Zhika masuk sekolah hari ini. Tadi malam setahunya Zhika masih di Malang untuk mengejar gadis yang mencampakkannya. Zhika tak terima mereka putus hubungan hingga terus mengikuti gadis itu dalam kategori yang dirasa mengganggu.

"Permisi...." ucapnya ketika menyelip di antara orang-orang hingga akhirnya benar-benar dibukakan jalan untuknya.

Rhizu tahu perempuan disebut drama karena air mata. Tapi se-drama-drama-nya perempuan, hidupnya masih bisa terus berlanjut, dan yang paling penting tak memberi kerugian.

Drama lelaki? Nyaris tak ada sih yang menyebut hal itu drama sekalipun bagi Rhizu itu adalah drama tingkat maksimal. Kebanyakan meng-glorify dengan mengatakan "Ketika seorang pria menangis karena seorang wanita, maka itu artinya ia tulus pada wanita itu." Rhizu tak paham dari mana datangnya pernyataan itu. Baginya alay yah alay. Membuat kerusakan itu tak keren sama sekali, bung! Beban!

Rhizu menghela nafas ketika melihat semua meja dan kursi di kelas itu hancur. Papan tulis bahkan tak lagi dilapisi kaca dan papannya bolong dengan noda darah tertinggal di lubangnya.

Ia dekati kakak kembarnya. Menepuk cuek pipinya dua kali. "Dah balik aja lu?"

Rizhu pun berjongkok untuk melihat tangan Zhika yang terluka. Ia buka kotak P3K yang diletakkan di kursi. Membersihkan dengan hati-hati luka Zhika. Sesekali menggunakan pinset untuk mengambil kaca yang menancap.

"Gue gak bisa jamin semua kacanya dah beneran tersingkir. Mau ke dokter aja, gak?" tanya Rhizu santai. Zhika tak menjawabnya.

Rhizu lihat sekitarnya yang sudah hancur berantakan. Entah berapa kerugian yang harus papanya bayar untuk kerusakan ini.

Ia tatap datar Zhika. 'Lu gak bisa apa mikir dulu sebelum bertindak?'

***

Pulang dari tempat praktik dokter, Rhizu tebus beberapa obat. Ia tebak hanya antibiotik, pereda rasa sakit, dan mungkin paracetamol karena Zhika sedikit demam. Setelahnya ia bawa kembarannya pulang ke rumah.

Ruzhika Saputra dan Rhizuki Maharani terlahir sebagai anak kembar. Tapi nyatanya mereka tidaklah seakrab itu.

Beberapa orang akrab karena kecocokan sifat, sebagian lagi menjadi dekat karena ada penghubung.

Zhika dan Rhizu tak punya kedua hal itu. Mama mereka meninggal saat mereka masih bayi. Papa sibuk kerja di kota lain, hampir tak pernah pulang, hanya mengirim uang belanja. Tak ada pihak yang menyatukan mereka yang terlalu berbeda.

Loving GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang