10th Game

296 19 35
                                        

Besok adalah hari Rhizu akan pulang ke Jakarta. Sedikit melegakan karena itu artinya penderitaannya di sini akan berakhir. Menari, mengikuti kegiatan adat, dan bersosial dengan orang-orang. Rasanya memuakkan, tapi lebih memuakkan lagi kalau ia harus menyebabkan drama karena menolak.

Rhizu menoleh ketika merasa sedang dipandangi. Ada 2 orang yang punya cara tatap menjijikkan yang sangat ia hindari selama di sini. Zhika dan Devandra. Namun kali ini ketika ia menoleh yang ia dapati seorang gadis manis tengah menatap tajam padanya.

Ishvana.

Gadis dengan paras manis yang menjadi pujaan para pria desa. Rhizu tak melebih-lebihkan, sungguh. Ishvana salah satu gadis tercantik yang pernah ia temui. Rambut hitam legam yang jatuh dengan indah. Mata besar bak boneka yang sangat cocok dengan profesinya sebagai penari. Hidung mungil yang mancung. Bibir tampak ranum dan seksi. Pipi merona alami. Lalu dagu lancip yang membuat kepalanya terkesan sangat mungil.

Ishvana selalu digandrungi pria apalagi karena indahnya lenggok tubuhnya ketika menari. Dan mungkin Rhizu juga akan mengatakan ia gadis anggun kalau saja ia tidak ingat saat kecil ia kerap membersihkan ompol pesing Ishvana, padahal mereka seumuran.

Rhizu sadari gadis itu masih menatapnya tajam. Namun Rhizu tak mengerti kenapa ia yang didesak Devandra dan Ishvana kalau mereka incest. Rhizu tidak peduli atas hubungan mereka. Ia tak selera membocorkan. Tapi mereka tak akan peduli Rhizu peduli atau tidak. Bagi mereka Rhizu adalah ancaman.

Rhizu pura-pura tak menyadari keberadaannya. Ishvana adalah gadis pemalu dan pendiam. Takut pada semua orang. Ia punya sosial yang luar biasa buruk di luar para penari. Bisa dibilang itu adalah alasan ketertarikan pria kian berkurang atasnya. Gadis yang diam hanya terasa manis di awal, namun lama kelamaan jadi menyebalkan. Saat ini pun Rhizu yakin Ishvana tak punya keberanian menghampirinya-

"Bisa ngobrol berdua, Rhi?"

Rhizu terkesiap ketika mendapati gadis itu sudah di belakang punggungnya.

***

Asap tebal mengepul di depan wajah Devandra. Sebatang rokok yang ia sulut menjadi teman yang tepat di sore hari yang hiruk pikuk. Rumahnya ramai, seperti biasa kalau ada acara adat. Devandra tak suka hidup menjalani adat, tapi ia suka menjadi penonton. Setiap adat memiliki sisi eksotis-nya sendiri. Dengan aturan-aturan dan hukuman yang membuat kengerian dan menggelitik adrenalinnya hingga rasanya ia ingin orgasme.

Di atas teras di lantai dua rumah yang terbuat dari kayu, ia melihat 2 sosok yang ia kenali berjalan ke belakang rumah. 2 sosok yang inginkan di ranjang yang sama. Kecantikan keduanya begitu kontras, berada di spektrum berbeda. Dan ada 2 pola yang Devandra sukai di dunia ini.

Keseragaman total dan kontras.

Devandra suka warna-warna monochrome. Di tiap foto monochrome yang ia ambil selalu berhasil menghipnotisnya.

Ia pernah diminta merekam 2 orang albino bersetubuh. Dan rasanya bagai sihir warna mereka melebur begitu saja seolah mereka satu.

Ia juga senang menggauli Ishvana. Tiap kali ia ambil foto mereka bersetubuh, kemiripan wajah mereka membuatnya sangat terangsang. Terkesan seperti sedang mencabuli diri sendiri.

Tapi di sisi lain Devandra juga suka hal-hal yang bertolak belakang.

Ia suka melihat pria bertubuh kekar bugar menggauli bayi. Lalu bayi itu mati kehabisan darah karena luka menganga di selangkangan.

Ia suka melihat yang hidup menggauli mayat.

Ia suka melihat orang berciuman sambil menyiksa. Kontras yang indah atas cinta dan kebengisan.

Loving GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang