Maka ingatlah hari ini adalah hari pertama kali Zhika pintar dalam hidupnya!
Papa boleh mempercayai Rhizu hampir dalam segala hal. Tapi tidak masalah mengunjungi kerabat di Ubud. Papa tahu Rhizu benci Ubud. Zhika yang cinta Ubud. Ia punya banyak teman di sana. Ubud tempat yang benar-benar ia anggap tanah kelahirannya dan ke sanalah ia ingin kembali ketika ia dewasa nanti.
Oleh karena itu urusan mengunjungi kerabat selalu diserahkan pada Zhika. Itulah penyebab Rhizu tak bisa berbohong dan akhirnya selalu benar-benar pulang setiap tahun ke tempat itu. Karena Zhika akan dengan senang hati melapor.
Akhirnya tahun ini Rhizu bisa pulang lebih cepat. Walau yang disebut lebih cepat hanya selang 1 hari dari rencana. Tapi 1 hari tanpa tantenya, Devandra, Ishvana, dan kerabat mereka yang lain? IT’S HEAVEN, DUDE!!
“Gak kenapa-napa. Zhika cuma perlu check-up ke rumah sakit. Dah bikin janji temu. Gak mungkin diundur. Makanya Zhika sama Rhi pulang cepat,” jelas Zhika kepada Papa di telfon.
Rhizu tak munafik. Ia senang Zhika yang menjelaskan pada Papa. Karena mereka tak perlu diinterogasi. Papa tahu tak ada alasan Zhika dengan suka rela meninggalkan Ubud lebih cepat.
“Good night,” ucap Zhika saat menutup panggilan tersebut. Tangannya mengulur menyerahkan smartphone Rhizu.
Rhizu bahkan tak sudi menerimanya. Bersentuhan kulit dengan kulit dengan Zhika terasa menjijikkan baginya. “Letakin aja di sana,” tunjuk Rhizu dengan dagunya.
Zhika pun menurutinya. Hanya untuk sakit hati karena sedetik setelahnya Rhizu menyemprotkan hand sanitizer pada case smartphone tersebut. Hey! Zhika memang pelaku pemerkosaan. Tapi bukan berarti ia dilumuri kuman menjijikkan yang berbahaya.
Rhizu kemudian mencuci tangannya. Lalu membuka kulkas untuk memilih bahan makanan.
“Gak makan di luar aja? Udah larut banget. Kita juga baru nyampe. Capek, kan?” tanya Zhika mencoba menjadi kakak yang perhatian.
“Yang ngerasa orang kaya boleh pergi ngafe-ngafe sana,” usir Rhizu acuh.
“Kita gak semiskin itu loh, Rhi. Dan makanan di luar gak semahal itu. Nasih goreng 5 rebuan aja ada,” ujar Zhika meyakinkan.
“And it taste like shit,” tolak Rhizu sinis. “Sorry, gue punya rencana masa depan. Menabung salah satu jalan yang memuluskan rencana itu. Kalau lu pengen foya-foya seolah ini hari terakhir lu hidup, silahkan. Gak usah ajak-ajak gue.”
Zhika menghela nafas untuk memupuk kesabaran di dalam dirinya. Tolong diingat, ia tak pernah penyabar seumur hidupnya. Ia temperamen dan Rhizu tahu itu.
“Nggak. Gue gak sepelit itu,” bantah Rhizu atas tuduhan yang ia yakin ada di kepala Zhika. “Gue juga makan di luar waktu gue mau. Gue tau cara menyenangkan diri sendiri. Tapi istilah ‘menyenangkan’ gak bakal terkait elu di dalamnya. I’m not spending a dime to eat out with you.”
“Then I am” timpal Zhika yakin. “Gue bakal keluarin uang berapa pun buat bisa makan malam bareng lu di luar. Bills on me.”
Rhizu menatapnya sinis. “3 stars Michelin. Can you afford that?” oloknya.
“Deal”
Rhizu yang hendak menuang minyak pada wajan langsung berbalik melihat pemuda itu. “Lu habis nyolong dari mana?”
Zhika menghela nafas lelah. “Tiba-tiba aja nuduh gue nyolong.”
“Entah ya. Terakhir kali lu punya uang sendiri tuh waktu lu nyolong duit dari nyokapnya Devan,” hina Rhizu terang-terangan.
Rahang Zhika mengeras. “Itu udah bertahun-tahun lalu. Dan gue ngambil duit itu buat beli makan. Papa ngirim uang buat makan kita. Jadi duit itu hak gue.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Game
RomanceSaat kau melukaiku, alasanmu adalah karena kau terluka. Karena itu kali ini juga kugunakan alasan yang sama padamu. Aku terluka. "Terluka" membuat orang memaklumkan tindakan buruk yang melukai orang lain. Mari kita lihat sampai mana "memaklumkan" in...