3rd Game

220 26 19
                                    

"Pasien kehilangan banyak darah. Tapi kondisinya sudah mulai stabil. Pihak keluarga sudah boleh masuk mendampinginya," jelas salah seorang perawat.

Zhika pun masuk. Ia rasa tak sebaiknya ia masuk. Tapi di sini ia satu-satunya keluarga Rhizu.

Zhika tatap sendu adiknya. Membelai rambutnya yang berantakan.

"Rhi, jangan sakitin diri lu. Lu gak pantes buat ngerasain ini. Yang rusak itu gue. Lu jangan ikut-ikutan," ucapnya lirih.

Zhika ambil lengan Rhizu yang tak terluka. Terlalu takut membuka luka di lengan yang Rhizu sayat-sayat. Ia kecup pelan tangan gadis itu.

"Rhi, jangan mati..."

***

Ketika siuman, sekalipun dengan mata sayu, Zhika tahu Rhizu sedang menatap tajam dirinya.

Rhizu tak mengatakan apapun. Zhika sendiri pun takut barang berucap satu kata saja. Mereka hanya diam-diaman. Rhizu makan sendiri. Zhika memberinya obat sesuai jamnya. Zhika juga potongkan buah untuk Rhizu. Kadang Rhizu memakannya, kadang sudah mulai tampak tak segar akhirnya Zhika makan.

Begitu terus sampai Rhizu diperbolehkan keluar dari rumah sakit.

Zhika membukakan pintu rumah untuk adik kembarnya. Rhizu memberi lirikan tajam padanya sesaat, barulah melangkah masuk. Zhika bawakan barang-barang dari rumah sakit ke kamar Rhizu.

"Lu bilang apa ke sekolah?" Suara Rhizu akhirnya terdengar. Ia tatap Zhika mengintimidasi 'Gak mungkin lu bilang gue masuk rumah sakit karena nyoba bunuh diri, kan?'

Zhika paham tatapan itu. Dan dari reaksi Zhika yang gelagapan Rhizu tahu Zhika telah membuat dirinya menjadi drama paling luar biasa di sekolah. Mau kemanakan wajahnya? Dan dia akan menanggung malu itu seorang diri. Orang-orang tak akan tahu apa penyebab tindakannya. Ia akan disamakan dengan anak remaja labil yang depresi hanya karena bertengkar dengan ibu akibat disuruh ke warung saat sedang asik nonton drakor.

"Temen-temen lu dateng, Rhi. Nanyain ke dokter sama perawat lu sakit apa. Ya otomatis mereka tahu. Mereka gak masuk karena mau ngasih ruang buat lu sampai lu bisa tenang."

"Gue lebih tenang kalau mereka masuk dan elu keluar," balas Rhizu datar. Ia rebahkan tubuhnya. Memunggungi Zhika. "Kesalahan gue lu sebar-sebarin kemana-mana, semua orang tahu. Kesalahan lu gak bisa gue umbar. Enak banget ya kayak gitu?" sindirnya tajam. Ia hela nafas panjang. "Tapi emang lu kayak gitu sih. Dunia ini suka-suka lu. Lu gak pernah harus tanggung jawab atas tindakan lu. Lu limpahin beban itu ke orang lain gitu aja. Sampah aja masih bisa daur ulang atau jadi kompos. Elu? Diapain juga bakal tetap jadi sampah."

Rhizu pun menoleh karena tak mendengar suara pintu. "Kenapa gak keluar? Mau ngapain lagi di situ? Mau merkosa gue lagi? Silahkan. Toh, elu gak harus nanggung apa-apa. Gue juga gak bisa ngelawan."

Nafas Zhika tertahan oleh rasa sesak. Ia ambil kertas yang masih di tempat yang sama saat ia menemukan Rhizu nyaris meregang nyawa. Disodorkannya kertas itu ke kasur Rhizu.

"Tolong lu baca dulu. Pikirin baik-baik. Gue mohon. Ini terakhir kali gue minta sesuatu dari lu."

Zhika pun undur diri. Keluar dari kamar kembarannya itu.

***

Rhizu menatap datar kertas tersebut. Rehabilitas?

Memangnya siapa yang butuh itu?

Rhizu?

Jelas tidak. Rhizu tak butuh itu. Itu hanya tempat dimana diberi kata-kata semangat.

Rhizu tak butuh motivasi dari orang lain. Ia bisa memotivasi dirinya sendiri.

Loving GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang