8th Game

262 20 33
                                    

Hubungan darah itu....sangat dekat ya?

Dulu Zhika pikir ia dan Rhizu adalah sejauh-jauhnya hubungan. Zhika lebih peduli pada teman dan kekasihnya. Karena itu adalah hubungan yang ia pilih sendiri. Orang-orang yang ia sayangi dengan tulus dengan kehendaknya sendiri. Sedangkan keluarga di luar kehendaknya. Bukan pilihannya. Bukan orang-orang yang ia suka.

Tapi kini ia mengerti kenapa orang-orang kerap mengatakan "Darah lebih kental dibanding air." Hubungan yang ia kira tidaklah dekat itu adalah hubungan yang dibangun Tuhan. Dan pilihan Tuhan lebih mutlak dibanding pilihan manusia.

Hubungan yang terjalin oleh darah itu memuakkan. Tidak bisa lari sekalipun membenci. Ia dan Rhizu tetap memiliki orang tua yang sama. Rumah yang sama. Darah yang sama. Mungkin karena itulah Rhizu lebih membencinya. Gadis itu tak bisa mengatakan "Lenyaplah dari hidupku. Aku tak ingin melihatmu lagi."

Ada yang namanya urusan keluarga. Rhizu harus tetap mendatanginya untuk memberi uang saku bulanan bagian Zhika yang Papa mereka kirimkan. Rhizu harus bersama dengan Zhika saat mengunjungi keluarga. Di sekolah nama Zhika akan selalu dikaitkan dengan Rhizu. Karena itu belakangan Zhika berusaha sebaik mungkin tak membuat masalah agar Rhizu tak perlu diganggu oleh pihak sekolah karena mengadukan tingkah Zhika.

"Udah? Barang lu cuma 1 koper ini, kan?" tanya Zhika ketika mereka selesai menunggui koper di baggage conveyor.

Rhizu tak menjawabnya. Namun saat Zhika berniat mengangkat kopernya, Rhizu langsung menarik balik koper itu dan berjalan mendahuluinya. Zhika pun hanya bisa mengekorinya dengan pasrah.

***

Ubud. Tanah kelahiran Zhika dan Rhizu. Tempat rumah pertama mereka berdiri. Tempat duka pertama kali mereka rasakan walaupun belum mengerti apa itu duka. Tempat dimana nyawa ibu mereka melayang dilalap api.

Rhizu dan Zhika tiba di depan sebuah rumah. Sehari sebelum Nyepi, seperti yang mereka lakukan setiap tahun. "Kerabat" mereka langsung menyambut dan mempersilahkan masuk.

Kerabat. Keluarga. Sangat mudah mengatakannya begitu. Tapi sebenarnya mereka tak memiliki hubungan apa-apa dengan orang-orang ini.

Papa mereka anak tunggal. Kakek dan Nenek juga anak tunggal dan telah meninggal. Papa mereka sebatang kara, sama dengan mereka. Tak ada om, tante, ataupun sepupu.

Mengikat diri dengan orang mungkin tabiat yang lumrah muncul dari orang yang sebatang kara. Zhika begitu, Papa juga begitu. Menjalin pertemanan sampai-sampai dianggap keluarga. Kata Papa, dulu akhirnya ia tahu bagaimana rasanya punya orang tua saat ibu temannya kerap menyambutnya dengan makanan untuk memenuhi perut ataupun menanyakan kesehariannya di sekolah tiap kali ia datang berkunjung.

Manis memang. Tapi yang namanya masa lalu yah artinya sudah lalu. Teman Papanya sudah meninggal tuh, begitu pula si ibu yang memanjakan sang Papa seperti anak sendiri. Tinggal si istri, adik, kakak, keponakan, dan anak. Dan Rhizu katakan mereka bukanlah sosok bersahabat.

Namun Papanya kerap mengatakan "Tidak boleh jadi kacang lupa kulitnya." hingga mereka selalu mengunjungi tempat ini setiap tahun sebagai ganti Papa yang tidak bisa menemukan waktu luang di sela pekerjaannya sebagai sopir pribadi pejabat. Harus mengantarkan majikannya setiap hari. Ke luar negeri pun tetap Papanya yang menyetir. Hari-hari besar agama apapun Papanya harus mengatarkan majikannya pulang kampung atau mendatangi acara-acara tertentu yang diselenggarakan partai.

Rhizu tak pernah suka datang ke Ubud. Oh, jangan salah paham. Ia dan Zhika disambut kok. Tapi hanya untuk orang-orang ini memperhatikan tiap gerakan mereka, mengkritik, lalu mereka akan merasa menjadi orang yang lebih hebat dibanding Rhizu dan Zhika. Hanya diam bernafas pun, tiba-tiba akan terdengar kalimat sejenis, "Emang ya anak-anak yang besar tanpa didikan seorang ibu itu mustahil bisa jadi orang. Adabnya gak ada banget loh."

Loving GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang