12th Game

176 15 26
                                    

"They hunted her down, Rhi. And Papa couldn't protect her. Their story end there."

Genggaman Rhizu mengerat pada pinset yang digunakan untuk memberi makan ulat di laboratorium biologi sekolahnya saat ia mengingat kalimat Zhika.

Rhizu yakin dengan informasi yang ia dengar selama ini. Cerita Papa, kerabat, dan berita yang dimuat di koran pada tahun kejadian itu selaras. Sampai akhirnya ia tahu kerabat yang bahkan tak kenal ibunya itu mendengar cerita dari Papa. Begitu pula reporter yang memuat berita tersebut. Semuanya sinkron karena sumber ceritanya adalah orang yang sama. Bukan karena mereka benar-benar tahu kronologinya.

Dari mana Zhika tahu ibu mereka tidak meninggal karena kecerobohan Papa yang meninggalkan kompor dalam keadaan menyala saat pergi ke pasar? Apakah itu hanya asumsi setelah mendengar bagaimana watak dan cara ibu mereka selama hidup? Atau itu kenyataan?

Lalu apakah hanya Zhika yang tahu kenyataan itu? Atau Papa juga tahu namun berbohong selama ini?

Apa benar kebakaran itu disengaja oleh orang-orang yang ingin melenyapkan ibunya yang terlalu banyak mengetahui rahasia kalangan atas? Atau itu hanya cocokologi, orang-orang ingin melenyapkan ibunya namun di saat yang bersamaan Papa juga teledor?

Rhizu amati ulat-ulat yang dengan cepat melenyapkan daun yang ia beri. Ulat memakan daun, sebagaimana harusnya. Burung memakan ulat. Itu cara kerja alam. Rantai makanan. Seleksi alam. Sesuatu yang seharusnya terjadi.

Yang lemah hancur oleh yang kuat.

Kalau memang itu nasib yang menghampiri ibu bejat mereka, Rhizu tak akan menolak kenyataan yang dipaparkan padanya. Zhika yang hatinya selembek itu saja bisa menerima, lantas atas alasan apa Papa tak bisa bercerita padanya?

Rhizu pandangi kontak yang sejak kemarin ia kirimi pesan. Belum dibaca. Bahkan belum tersampaikan.

Papa tak mungkin tak aktif sebegitu lama. Ia punya pekerjaan dan butuh berkomunikasi dengan majikannya. Kemungkinannya hanya Papa memblokir kontaknya. Dan dugaan terkonfirmasi ketika ia melihat melihat kontak Papa online, namun pesannya tetap centang satu.

Rhizu tahu Papa butuh waktu. Tapi sampai memblokirnya itu untuk apa?

"Loh? Ini foto profil kamu, Rhi? Aneh ya ternyata muka kamu kalau difoto. Beda dari aslinya loh."

Gigi Rhizu bergemeletuk mendengar komentar Papa dulu saat pertama kali ia punya media sosial. Dan terima kasih untuk itu Rhizu tak pernah lagi memasang foto wajahnya sebagai foto profil.

Dulu Rhizu hanya merasa kalimat itu seperti menegurnya memakai filter. Tapi setelah diingat-ingat Papa tak mengatakan ia tampak terlalu cantik jika dibandingkan dengan aslinya. Papa hanya mengatakan wajahnya tampak aneh.

Rhizu lihat lagi foto yang kemarin ia dapatkan dari Zhika. Itu benar-benar wajahnya. Tak sedikit pun berbeda sampai ia merasa ngeri olehnya. Ia dibuat merinding. Seperti melihat hantu.

Apa itu yang Papa rasakan ketika melihatnya? Apa Papa teringat mendiang istrinya saat melihat Rhizu? Apa....Papa menghindarinya?

"Maaf ya, nak. Majikannya Papa mencalon pilkada di tempat lain. Papa harus ikut ke sana. Kita gak bisa tinggal serumah."

Alasan yang dulu Rhizu rasa masuk akal itu mulai terasa memuakkan. Ekspresi terperangah Papa waktu menyambut mereka ketika baru pindah ke Jakarta pun akhirnya masuk akal.

17 tahun.....tapi Rhizu masih bisa menghitung berapa kali Papa menemui ia dan Zhika. Dan semakin berganti tahun, semakin jarang Papa menemui mereka.

Mata Rhizu tak sengaja melihat pantulan samar-samar dirinya di kaca preparat yang ia siapkan untuk diamati di bawah mikroskop.

Loving GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang