Zhika sayup-sayup mendengar suara "biiip" "biiip" dalam tempo konstan dari monitor ICU. Lalu bercampur dengan suara dokter.
"Pasien mengalami fraktur di bagian leher. Karena itu untuk sementara harus menggunakan neck brace. Sedangkan tusukan di perut hanya luka pada daging. Organ-organnya baik-baik saja."
Tatapannya bersiborok dengan netra hitam kelam milik Rhizu. Si dokter menoleh, melihat pasiennya telah siuman. Ia pun langsung mengecek keadaannya. Sedangkan Rhizu hanya berdiri di sampingnya. Tak mengatakan apapun, tak melakukan apapun. Hanya mata tajamnya yang membuat Zhika merasa sesesak lehernya terjerat tali tambang.
Gadis itu berjalan keluar saat dokter keluar.
Benar-benar keluar.
Tak pernah muncul lagi.
Esoknya. Lusa. Hari-hari setelahnya pun demikian.
***
Saat tiba di kelasnya, Rhizu langsung disambut oleh teman-temannya. Melontarkan banyak sapaan dan pertanyaan.
Rhizu tak menjawab satupun. Karena ia tahu mereka bukan peduli. Hanya ingin tahu teh panas. Dan koleksi bahan gosip yang semakin banyak menaikkan strata sosial mereka.
Kembarannya menghancurkan seisi kelas. Ia menangis di dalam kelas. Keluar kelas tanpa izin. Tersebar berita ia opname karena percobaan bunuh diri. Bahkan saat ini kembarannya masuk rumah sakit. Orang tak tahu apa hubungannya. Tapi di keadaan sedramatis itu tentu saja tertebak ada kesinambungan di antaranya.
"Duduk di kursi masing-masing." Suara Pak Agung menginterupsi saat masuk ke kelas. Membubarkan orang-orang yang mengelilingi meja Fika dan Rhizu.
Tatapan pak guru berhenti sejenak saat melihat anak muridnya yang menangis di jam pelajarannya, lalu esoknya langsung dikabarkan opname karena percobaan bunuh diri. Ia khawatir, guru-guru lain juga khawatir. Pasti hari ini Rhizu akan dipanggil ke ruang BK untuk diminta mengutarakan unek-uneknya.
"Gimana, Rhizu? Bisa kita mulai pelajarannya?" tanyanya memastikan.
Rhizu mengangguk. "Bisa, Pak."
Pelajaran matematika berjalan lancar. Saat semua orang tak lagi fokus pada Rhizu, barulah Fika yang sedari diam mencoba mengajaknya berbicara.
"Lu lagi ada masalah, Rhi?" tanyanya tak mengalihkan pandangan dari papan tulis. Tak ingin ketahuan mengajak bicara di tengah pembelajaran.
"Gak" jawab Rhizu singkat.
Fika mengangguk mengerti. Mungkin tak sebaiknya ia mengajak membicarakan ini di tengah jam pelajaran. Tapi firasatnya mengatakan Rhizu akan menghindar dan lari kalau ia tanyakan saat mereka hanya berdua.
"Gak pa-pa kalau lu emang gak mau cerita. Gue tau kok lu emang tipe yang semua lu pendem sendiri. Dan gue gak ada hak kritik sifat lu yang kayak gitu," tutur Fika. "Tapi lu tau kan ada yang namanya teori gunung es?"
"Sering banget cuma hal-hal kecil. Cuma lama kelamaan numpuk sampe dah gede banget, Rhi. Trus waktu akhirnya tiba lu gak bisa nahan lagi, orang heran karena ngerasa masalah yang terjadi dirasa gak sebesar itu. Padahal mereka gak tau yang dulu-dulu. Semua hal-hal kecil yang lu tumpuk. Kayak gunung es, Rhi. Kelihatan di permukaan masalahnya cuma sepotong itu. Tapi kalau di lihat ke bawah air, akarnya udah dalam banget. Berpuluh-puluh atau rasusan kali lebih gede dari pada yang terlihat."
"Rhi, kalau udah jadi gunung es susah banget loh buat nyelesaiinnya. Lu bahkan mungkin dah lupa dari mana masalahnya bermula."
"I'm not an iceberg," bantah Rhizu tegas. Ia tatap Fika tajam. Fika tahu itu orang yang berbeda dengan temannya yang tak suka mempersulit hatinya dengan perasaan rumit. "I'm a volcano."
"I'll burn it all."
***
Akhirnya Zhika pulang ke rumah. Neck brace masih terpasang di lehernya. Di ruang tamu seorang gadis telah duduk menantinya dengan kaki menyilang.
Apa Rhizu akan kembali menyuruhnya bunuh diri lagi?
Tak apa
Ia bisa mati berapa kali pun kalau itu bisa membuat Rhizu tenang.
"Duduk," titah gadis itu singkat. Zhika pun duduk dengan patuh di hadapannya. "Gue udah bikin surat kontrak perjanjian kita. Silahkan tanda tangan. Gue udah tadi."
Zhika menaikkan alis matanya. Ia ambil map tersebut. Mengangkat tinggi kertasnya karena ia tak bisa menunduk.
"Gak usah dibaca. Lu juga gak bakal ngerti."
Zhika tak tersinggung oleh hinaan tersebut. Bukan pertama kali Rhizu menghina tingkat kecerdasannya. Dan memang apapun tulisan di kertas itu tak seharusnya ia keluhkan. Rhizu boleh mengambil apapun darinya. Karena ia yang lebih dulu merenggut paksa sesuatu yang berharga bagi Rhizu.
Lehernya akan sembuh. Tapi luka yang Rhizu rasakan permanen.
"Good" komentar Rhizu puas melihat tanda tangannya yang telah dibubuhkan di kertas tersebut.
Zhika pandangi wajah adiknya itu. "Kenapa lu nyelamatin gue?"
Sebelah alis mata Rhizu menaik untuk sekejap.
"Lu kan yang motong talinya dan nelfon ambulans?"
Rhizu tersenyum meremehkan. "Lu kira gue gak tau lu emang pengen bunuh diri karena diputusin Arin?" tembaknya yakin. Ia pun terkekeh lalu menggeleng. "Minta lu bunuh diri itu sama aja kayak gue ngakhirin rasa sakit lu. And I don't want to do that, man. It's too easy."
Rhizu lalu mengambil kamera di sampingnya. "Here"
"Ini buat apa?" tanya Zhika bingung.
"I want you to record yourself while you're jerking off."
Mata Zhika membulat kaget. "Why would you need a record of me masturbating?"
Rhizu mendengus angkuh. "Lu gak pernah ngerasain diperkosa ya?" tukasnya yakin. "It's dehumanizing."
Rhizu tersenyum lebar. "Gue pengen lu rasain yang gue rasain." Ia dorongkan kamera itu tepat ke depan Zhika.
"Gue bakal nyebarin video lu lagi onani," ucapnya tanpa ragu
"Gak bakal langsung hari ini juga kok." Rhizu pun bangkit berdiri dengan map dan pena di sebelah lengannya. "Jalani aja hari lu dengan rasa cemas. Dan waktu lu pikir semuanya lagi baik-baik aja, organ intim lu udah jadi konsumsi publik."
Dari mulutnya terucap sumpah yang membuat dunia Zhika terasa terguncang.
"I won't make this life easy for you."
.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving Game
RomanceSaat kau melukaiku, alasanmu adalah karena kau terluka. Karena itu kali ini juga kugunakan alasan yang sama padamu. Aku terluka. "Terluka" membuat orang memaklumkan tindakan buruk yang melukai orang lain. Mari kita lihat sampai mana "memaklumkan" in...