15th Game

156 14 11
                                    

Kebanyakan gadis pernah mengalami masa bodoh. Dengan aturan norma yang melilit tubuh mendamba kebebasan. Tak bisa melihatnya di diri sendiri, melihatnya pada orang lain pun cukup. Jatuh cinta pada si pembuat onar.

Sosok yang punya keinginannya sendiri. Punya keputusan sendiri.

Dulu, Arin kira ia akan suka pada lelaki yang akan menggila menghajar orang yang melakukan cat calling padanya. Punya fantasi liar dimana pria yang ia cintai akan membunuh pria manapun yang menyentuhnya seujung jari pun. Ingin punya kekasih yang mendengarkan tiap mimpinya bagai sebuah titah.

Standar itu terlalu tinggi. Nyaris bisa dibilang tidak realistis.

Namun yang semula hanya dirasa angan terwujud tepat di depan matanya, tapi malah tidak membuatnya senang.

Entah ia yang kufur nikmat atau memang karena ia telah lulus dari masa bodoh itu.

Kapas ditekan hati-hati ke sudut bibir si pemuda. Bibir Arin tergigit meredam isakan. Zhika menatap lantai, tahu ia mengecewakan gadisnya.

"Rin...." panggilnya pelan ketika gadis itu telah selesai merawat lukanya. "Aku gak maksud nyepelein perasaan kamu. Itu tadi cuma refleks."

Air mata yang Arin tahan-tahan pun akhirnya jatuh. Ia telah berkali-kali melarang Zhika bertengkar dengan menggunakan kekerasan. Zhika berusaha menahan diri sekalipun ia emosi. Karena ia tahu Arin akan menangis karenanya. Namun ia bisa menahan diri bukan berarti temannya bisa. Dan ketika temannya babak belur di depannya, tak ada kemungkinan Zhika hanya akan diam memandangi. Pasti akan ia bantu balas menghajar.

"Rin" panggil Zhika ulang karena gadisnya tak menjawab. Hanya menahan-nahan isakan sebisa mungkin. "Sayang, aku-"

"Bisa cari teman lain, kan?" potong Arin tak tahan lagi.

Zhika hanya diam. Arin mendapat jawabannya detik itu juga. Zhika tak pernah menolak atau berdebat terang-terangan dengannya. Kalau Zhika tak sependapat, pasti pemuda itu diam.

"Kenapa gak jawab?" desak Arin. Lelah melihat Zhika yang selalu menghindar dengan cara yang sama. "Lebih penting ya teman-teman kamu itu dibanding aku?"

"Bukang gitu, Sayang. Tapi gak mungkin tiba-tiba gak temenan kan?" balas Zhika enggan.

"Apanya yang gak mungkin? Emang gak idup kalau gak temenan sama mereka?"

Zhika bergidik. "Bukan masalah hidup atau nggak. Tapi aku gak ada masalah apa-apa loh Sayang sama mereka. Tiba-tiba mutusin hubungan, kalau jadi ada yang mikir itu salahnya dia, gimana? Gak etis kan nyalahin orang yang gak salah?"

"Trus etis bikin pacar kamu hidupnya gak tenang tiap hari?" balas Arin tajam.

Zhika hela nafas berat. Arin semakin kesal dibuatnya.

"4 tahun loh, Zhik. Cari dimana ada cewek yang tahan lihat pacarnya babak belur karena hal yang bahkan gak ada hubungannya sama dia?" tantang Arin.

"Siapa yang babak belur? Kalau kamu mau tau yang gimana namanya babak belur, lihat tuh si-"

"Zhik, kamu ada rencana putus gak sih?" potong Arin.

"WHAT?!" Zhika refleks berdiri. "Rin,-"

"Kalau emang niat putus, lanjut aja kayak gini terus. Kalau kamu emang gak niat putus, emang serius pengen bareng-bareng sampe kita dewasa, aku mohon berhenti."

"Sayang-"

"Apa? Masa ntar udah jadi, aku masih harus jantungan suami aku dihajar orang kalau keluar rumah? Anak aku juga harus ketakutan seumur hidup ayahnya bakal mati tiba-tiba? Anak aku juga harus ketakutan dia jadi target?" cecar Arin akhirnya muak menahan diri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Loving GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang