PROLOG

17 2 0
                                    

Word count : 597
Time: 11:57, 21/08/22

Nama gadis yang sedang menggambar di pojok kelas itu, Kavala. Setegas apapun guru menjelaskan di depan sana, dia tidak peduli. Seberisik apapun suasana kelas, dia tidak peduli. Bahkan dirinya sendiri pun dia tidak peduli. Tak ada empati dalam hatinya, tak ada pula berbagai macam perasaan yang menambah warna dunia. 

Itulah mengapa, jika kebanyakan orang takut mati, dia malah ingin mati. Karna menurutnya, tidak ada yang berharga di dunia ini.

Gadis itu menyibak rambutnya kebelakang bila dirasa rambut panjangnya mengganggu. Sesekali dia menghela napas karna terlalu bosan, sesekali pula dia melihat sekeliling, takut-takut ada yang intens memperhatikanya. Walaupun nyatanya, memang tak pernah ada yang melihatnya, tak pernah ada yang peduli padanya. 

Dia cuma angin lalu, yang bahkan tak semua orang tahu namanya, dan tak semua orang menyadari kehadiranya. Dia dilupakan begitu saja. 

* * *

"Mau ya, Kavala? Hanya untuk malam ini, kamu juga tidak pernah jalan bersama teman-teman yang lain, kan?" mohon seorang gadis di depan meja Kavala sedang gadis yang diajak mengobrol teronggok bisu di kursi. "A-aku tidak mau, terimakasih," jawabnya agak terbata. Menurutnya, pertanyaan tadi bukan ajakan, tapi pernyataan. 

Gadis dihadapanya mendecak kasar. Tangan mulus dengan kutek pink terang itu menggebrak meja Kavala membuat atensi semua orang jadi tersedot ke arahnya. "Oh? Begitu? Kamu membenciku rupanya? Apa salahku padamu  sampai kau tidak mau lagi bermain bersamaku? Anak cupu saja belagu!" 

Bisik-bisik mulai terdengar. Tangan  Kavala mulai gemetaran. Lagi? Anak itu bahkan baru kali ini mengajaknya mengobrol. Wajah Kavala pias, bersamaan dengan seringai perempuan di hadapanya yang mengembang puas. 

"Kalau b-begitu, aku ikut, deh," putusnya pasrah. Perempuan di hadapanya melirik ke teman-temanya yang lain dengan tatapan menang.  "Lain kali, putuskan lebih cepat ya, Kavala."

Kavala kalah untuk sekian kalinya. Kalah dari dunia yang entah mengapa selalu jahat padanya. Dan tanpa dia bisa hindari, dia selalu mendambakan kematian yang berwujud akhir dari seluruh mimpi buruknya. Tapi bagai kutukan, dia tidak pernah bisa lari dari dunia yang selalu memburunya, kemanapun dia berlari, bagaimanapun dia menghindar, dia selalu jatuh ke lubang yang sama. 

Lubang penderitaan. 

* * *

Kavala bukanya anti sosial. Dia hanya tahu, mengapa perempuan-perempuan itu mengajaknya pergi. Karna sejak dulu, kejadian sepert ini seolah menjadi konflik dalam plot yang selalu berulang.

Dia dirundung. 

Rambutnya dijambak dan wajahnya diludahi oleh tiga orang perempuan rendahan. Tanganya ditarik dan diseret kemana-mana. Badanya dilumuri tanah dan lumpur bau. Air mata tak bisa lagi dia bendung. Kavala frustasi. 

Beberapa kali punggungnya diinjak diiringi suara tawa yang terdengar seperti alunan melodi kematian bagi Kavala. Baju kaos putih polos itu sudah berubah menjadi motif tapak sepatu. Celana pendek biru yang hampir berubah warna, dan kulit mulus yang sekarang penuh dengan bercak biru keunguan. 

Sandal jepit merah yang Kavala pakai bahkan sudah putus pengaitnya. Kavala menutup wajahnya, mencoba menghindari pukulan dan tamparan dari tiga iblis di hadapanya. Kavala terisak sampai suaranya serak. Lirihan permohonan sudah dia suarakan, namun seolah angin membawanya pergi, tiga gadis itu tidak mendengarnya. 

Sekarang Kavala sudah benar-benar hancur lebur. Lebih hancur dari vas bunga yang jatuh dari meja, lebih hancur pula dari kota yang dihantam tsunami besar. 

Tiga gadis itu sudah pergi, meninggalkan Kavala yang hancur berantakan di pinggiran kota. Di pojok jalanan yang diisi hening malam. Kavala bersimpuh di sana. Menangis meraung-raung. Dia berteriak,  menumpahkan segala macam penderitaan dalam aliran darahnya. 

Setelahnya, setelah raganya tak mampu dia angkat lagi, dan setelah suaranya sudah sulit dikerahkan lagi, dia hanya bisa bersandar di pagar batu yang membatasi kota dengan laut bebas. Sebuah jalan pintas tercipta di kepalanya. Dia menyerah lagi. 

Perlahan Kavala berdiri, meskipun perih dan nyeri menggerayangi seluruh badanya. Dia naik ke atas pagar batu itu, dan dia lompat. 

Kavala melepaskan dirinya pada laut, meninggalkan seluruh mimpi buruknya bersama sepasang sandal jepit merah yang sudah tak berbentuk dan handphone yang sudah retak layarnya diatas sana. 

Kavala memutuskan pergi, untuk selamanya. 

Night FestivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang