Kamari menarik napas dalam-dalam. Angin hutan melambai lewat jendela rumahnya, rumah itu tenang, itu yang disukai Kamari. Karna sejak dulu, yang selalu dia dengar adalah bentakan, teriakan, hantaman, membuat telinganya pekak dan hatinya muak.
"Ya, aku juga bisa merasakan kenapa kamu sangat ingin menyelamatkan gadis itu. Memang sih, itu bukan hanya karna kamu menyukainya tapi--"
"Heh!"
Kamari memperhatikan wajah Eru yang mulai merah padam. Entah karna marah atau karna malu. "Pfft, semakin kau elak hal itu semakin kentara, Eru," balas Kamari menahan tawa.
"Y-ya memang aku tidak menyukainya, kok. Kamu saja yang menyimpulkan sendiri."
Kamari tertawa kecil. Sejak dulu, Eru yang dia kenal memang tidak bisa menyembunyikan rahasia.
"Tidak ada salahnya naksir pada seseorang, kok. Yang salah, kenyataan bahwa jika kalian saling suka pun, kalian tidak akan bisa bersama."
* * *
Seharian ini pekerjaan Kavala hanya membantu Acantha. Itu perintah guru. Menemaninya berburu, memetik sayuran, bahkan memasak.
"Acantha, ada yang perlu dibantu lagi?" tanya Kavala merasa sudah mulai nyaman dengan gadis itu. "Panggil aku Atha, dan tidak," jawab Acantha ketus.
Kavala hanya tersenyum tipis. Apakah ini dapat terhitung teman barunya yang ketiga? Itu yang ada di pikirannya sebelum Guru memanggil dari ruangannya. Iya, gua yang sangat besar luarbiasa itu memiliki satu ruangan, hanya untuk Guru. Selebihnya hanya ruang kosong nan besar yang berisi beberapa batu menonjol, tempat Kavala dan Acantha, atau kalau dulu Eru, Kamari, dan Acantha beristirahat.
"Ada apa, Guru?" tanya Kavala saat sudah menghadap. Guru menyuruh Kavala lebih dekat lewat gerakan tangan sedang tangan satunya memainkan janggut panjangnya.
"Kemari, Nak. Aku ingin memberitahu sesuatu yang setelah kupikir-pikir, kamu harus tahu."
"Apa itu Guru?"
"Kamu tahu kenapa Elaine sangat gencar mengejarmu?"
"... Tidak."
"Setiap orang yang sudah mati, telah berubah menjadi spirit. Dan sebuah makhluk spiritual, memiliki kekuatan yang.. sejenis sihir. Namun, orang yang bunuh diri, atau orang yang masih hidup, begitu dia masuk ke sini, berarti dia adalah setengah arwah. Masih setengah. Dan makhluk setengah arwah memiliki kekuatan yang jauh lebih besar. Dan Elaine, menginginkanmu untuk menguasai sihir pengambil alih. Dan kamu akan jadi sangat, sangat, sangat kuat dengan itu. Karna kamu masih hidup, yang ada di sini hanya jiwamu, Kavala."
Kavala terdiam. "Banyak hal yang membuat Tetua membenci orang hidup, atau orang yang bunuh diri. Rasa benci itu seolah jadi naluri yang bahkan aku pun merasakanya, semoga kamu bisa mengerti, ya," lanjut Guru.
Kavala mengangguk dalam. "Kamu masih mau mendengarnya, Kavala?"
"Cerita tentang arwah yang hampir mati?"
* * *
Itu adalah sore hari paling mencekam yang pernah Eru dapati. Berada di tengah ruangan besar yang dinginya seperti es kutub. Diikat rantai di sebuah tiang yang juga merupakan pilar es. Berhadapan dengan 8 orang yang menatap penuh amarah. Eru mengepalkan tanganya. Membuat aura merah pekat sekejap berpendar di sekitar tanganya, namun hanya sebentar dan hilang. Eru berdecih. Beralih menatap Kamari yang sudah tidak berdaya di sebelahnya.
"Kalian sudah merasa paling kuat ya? Sehingga kalian bisa menentang segalanya? Dulu semasa hidup kalian menentang takdir, sekarang kami. Memang tidak ada puas-puasnya, ya."
Eru mendangak. Menatap wajah angkuh Elaine yang terasa seperti bom bunuh diri baginya. "Sialan kau, Elaine!" umpatnya kasar. Elaine memasang wajah sok terkejut. "Oh? Ada apa ini? Pangeran kecil kita mengamuk, rupanya," ucap Elaine dengan tangan mengusap pelan pipi Eru namun segera ditepis lelaki itu.
"Sudahlah Elaine, penjarakan mereka. besok kita adakan upacara pemusnahan arwah."
Elaine mengangguk dalam, menghormati pria berjubah panjang yang tadi memerintahnya. Dia adalah tetua komite dunia arwah. "Sekarang kita lihat, apakah kamu mampu bertahan, tengik." tukas Elaine dengan penuh kesombongan setelah 7 pimpinan telah pergi.
"Aku bisa saja menghancurkanmu sekarang, Elaine," balas Eru penuh amarah.
"Oh ya? Aku sangat menantikan itu, lho."
* * *
"Elaine sialan!" umpat Kamari dengan suara bergetar di tengah ruangan lembab nan sangat-sangat dingin. Penjara yang jika ditempati oleh manusia sudah pasti mengakhiri hidup mereka. Hanya saja ini arwah. Mereka tidak akan mati hanya karna kedinginan, tertusuk, luka, sakit, mereka hanya bisa musnah oleh ritual tertentu, atau sihir berkekuatan luar biasa.
"Kita akan musnah. Tinggal menghitung menit-menitnya saja, Kamari," gumam Eru menatap jendela kecil berteralis yang menghadap kota arwah yang sangat cantik dengan lampu-lampu. Karna minggu ini, adalah minggu festival arwah. Minggu paling cantik, paling indah, waktu yang paling Eru syukuri setelah keputusanya bunuh diri.
"Sihirmu betulan diambil, Eru?" tanya Kamari prihatin melihat sahabatnya. Eru mengangguk. Menggulung lengan bajunya, menunjukan bekas luka bakar besar di kedua tanganya. Nyaris seperti gosong.
Penderitaan itu, jika yang merasakan manusia sudah pasti seperti mencicipi siksa neraka. Kamari menitikan air mata melihatnya. Tanganya menggenggam tangan Eru dengan gemetaran. "K-kenapa bisa jadi begini.." gumamnya lirih. Eru tersenyum pahit. "Sekarang sudah tidak sakit lagi, kok," balas Eru menarik tanganya dan kembali membuka lengan bajunya.
"Kita pasti bisa keluar, aku akan membongkar kebusukan Elaine. Pasti ada kesempatanya."
"Maksudmu?"
"Elaine menguasai sihir pengambil alih. Dan hal itu belum diketahui tetua."
Kamari membulatkan matanya. Mereka punya peluang. Peluang kecil demi keringanan hukuman. "Tapi bagaimana caranya?" tanya Kamari yang mulai putus asa kembali. "Bisa. Aku yakin pasti bisa. Tapi kamu harus membantuku. Kalau sihir ringan, kamu bisa kan?"
Kamari mengangguk. "Malam ini. Tepat tengah malam. Kita ke ruangan bawah tanah," kata Eru yang diangguki Kamari. Rencana itu terbentuk. Yang mereka bisa hanyalah berdoa agar rencana itu bisa terwujud. Jujur saja, menurut Eru ini adalah rencana yang payah. Namun apa yang bisa dipikirkan pada ambang kemusnahan?
* * *
Kamari dan Eru tidak tidur sampai tengah malam. Eru menatap ke langit, menatap bulan. Sudah tengah malam. Eru memberi aba-aba ke Kamari dan mereka langsung beranjak dari duduk mereka. "Tapi bagaimana cara membuka pintu ini?" tanya Kamari berbisik. Eru menatapnya seraya tersenyum, kemudian mengepalkan tanganya. Semburat aura merah itu keluar lagi. Yang kali ini, bisa membuka pintu mereka.
Kamari ternganga. "BAGA--" sebelum Kamari melanjutkan jeritanya, Eru sudah membungkam mulutnya. "Shht, pelan-pelan. Rahasiakan ini dari siapapun. anggap bahwa kekuatanku sudah musnah berbarengan dengan kulitku yang gosong," bisik Eru. Walaupun Kamari masih bingung dan setengah tidak percaya, mereka melanjutkan perjalanan.
Setelah Eru merasa tidak ada orang di lorong tahanan, Eru meminta Kamari untuk menyihir sepatu mereka. "Kalau sihir dasar menghilangkan bunyi, kau bisa kan?" tanya Eru yang diangguki Kamari. Gadis itu menjulurkan tanganya, membuat cahaya hijau berpendar mengelilingi kaki mereka. Kamari menginjak tanah dengan kencang, tidak ada bunyi. Senyum lebarnya mengembang. Sihir itu berhasil.
"Sekarang, ikuti aku."
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Night Festival
FantasiaHidup itu, agak bajingan ya? Gadis itu tidak punya semangat hidup. Setiap hari, yang ada di otaknya adalah "Aku ingin mati, lagipula aku tidak tahu kenapa manusia harus hidup di dunia yang sesak ini." Beberapa kali, dia mencoba untuk mengakhiri hid...