empatbelas ; ketahuan

3 0 0
                                    

Elaine membolakan matanya, membuat barisan pohon-pohon di dekatnya memiliki kaki dan tangan secara tiba-tiba, dan pohon puluhan meter itu mendekat ke arah Acantha seluruhnya. Atas perintah Elaine. Sedangkan wanita itu menatap nikmat di tempatnya menikmati tiap getaran tanah berkat langkah kaki pohon-pohon 'suruhanya'. 

Acantha dengan napas yang masih berat di tempatnya menatap semua pohon itu satu persatu. Eru melihat itu khawatir setengah mati, namun dia tahu, lebih baik lagi jika dia menggunakan waktu itu untuk menyelamatkan Kamari. Eru melompat ke jendela, Acantha yang mengetahui itu mengeratkan peganganya pada pedang ungu miliknya. Matanya yang tadi memancarkan cahaya ketakutan kini berubah jadi kobar semangat. 

Namun napasnya berhenti sejenak kala sebuah dahan besar nyaris memutuskan kepalanya. Acantha merangsek mundur, mengayunkan pedangnya ke dahan itu. Pedangnya bersinar, bersamaan dengan dahan besar yang putus. "Nyaris," gumam Acantha. Dia langsung berlari ke arah pohon-pohon yang nampaknya semakin marah, namun sebelum dia sempat menancapkan pedangnya ke arah pohon pertama, Elaine melepas sihirnya. Membuat Acantha terpental jauh sekali ke hutan, dan pasukan pohon-pohon itu mengikutinya. Elaine menyeringai. 

"Satu tikus selesai," gumamnya. Lalu sorot matanya mengarah ke dalam rumahnya, Eru dan Kamari sudah berdiri di depan pintu. "Tinggal yang dua menyebalkan ini."

* * *

"Argh, Elaine sialan," umpat Acantha memegangi perutnya. Punggungnya pun tak kalah nyeri karena dia menabrak pohon di belakangnya. Kencang sekali. Hanya perlu sepersekian detik untuknya sampai ke hutan belantara yang jauh sekali dari rumah Elaine. Napasnya tak beraturan.

Bahkan Acantha rasa, dia tidak mampu berdiri. 

Mungkin jika dia manusia, Acantha sudah mati sekarang. Tulang-tulangnya pun sudah patah. Dan mungkin lambungnya pecah. Namun apa yang bisa dilakukan arwah? Hanya bisa menahan rasa sakit itu mati-matian. 

Namun Acantha tahu, rasa sakitnya harus dia tunda terlebih dulu kala dia merasakan tanah di sekitarnya bergetar. Dan dia tahu apa yang akan datang sebentar lagi. Acantha menjerit dalam hati. 

"Elaine bedebah," umpatnya lagi sebelum Acantha memaksakan dirinya untuk berdiri. Namun sialnya, Acantha jatuh lagi. Gadis itu menggenggam pedangnya kuat. Mencoba menjadikan pedang itu sebagai tumpuan untuk berdiri. Bahkan kini pedang itu sudah tidak se-bersinar tadi, karna energi Acantha untuk mengeluarkan sihir hampir habis. 

Akhirnya gadis itu bisa berdiri. Dengan kaki lemas dan seluruh badan sakit-sakit, Acantha menyeringai. "Batasku tidak hanya sampai sini, pohon jelek."

* * *

Sementara Eru lelaki itu menahan napasnya, sedang sebelah tanganya mengeratkan pegangan tanganya pada pergelangan tangan Kamari. "Jangan dulu," bisik Kamari yang mengetahui niat Eru untuk mengeluarkan kekuatanya. 

"Kenapa, Haru? Sayang ya, kekuatanmu sudah diambil paksa. Bingung ya, harus apa?" tukas Elaine tajam. Eru ingin menyemburkan gelak tawa dan membungkam Elaine saat ini juga namun dia tahu resikonya jika dia gegabah. 

"Aku dulu, kamu di belakangku saja," bisik Kamari dan maju dua langkah. Jujur saja Eru sangat malu saat ini, karna dia harus dilindungi dua perempuan hingga membahayakan nyawa mereka. "Kamu bisa mati kali ini, Kamari," gumam Eru menahan Kamari sebelum gadis itu melangkah lebih jauh. 

"Aku tidak akan mati aku ha--"

Terlambat. Elaine mengeluarkan sihirnya, membuat Kamari terpental jauh, menabrak tembok rumah Elaine dan terduduk tak berdaya. Mata Eru membola melihatnya. Segalanya terjadi begitu cepat. 

"Bagaimana, Haru?" tanya Elaine dengan seringai tajamnya. Rambut biru gelap wanita itu berkibar pelan. Semilir angin membuat beberapa dedaunan di tanah terbang menjauh. Eru mengepalkan tanganya, gemericik listrik merah mengaliri tanganya. Dan melihat hal itu membuat Elaine mengatupkan rahangnya. 

"Ka-kamu.."

Sekarang, Eru yang balas menyeringai. "Kekuatanku masih utuh, Elaine. Dan sanggup membuatmu menderita saat ini juga," ujarnya sebelum merangsek maju dan melepas sihirnya. Sialnya, itu bersamaan dengan Elaine yang juga melepas sihirnya. Sihir keduanya bertemu.

"Aku kaget, tapi aku juga masih kuat lho, Haru."

* * *

Acantha sudah kehabisan napas. Daritadi dia hanya menghindari serangan pohon-pohon di depanya. Karena energinya yang terkuras habis, Acantha tidak bisa mengeluarkan sihirnya sama sekali. 

Gadis itu mendengkus, sekali lagi merangsek mundur, menahan dahan yang hendak menyerangnya. "Kalau begini terus, aku bisa mati dua kali," gumamnya menggenggam pedangnya lebih erat. Gadis itu mencoba fokus sekali lagi. 

Acantha mengatur napasnya. Tepat sebelum dahan berikutnya menembus jantung gadis itu, pedangnya menyala lagi. Acantha terpanjat senang, langsung saja dia merangsek maju, menancapkan pedang itu ke pohon di hadapanya. Pedang gadis itu menyala lagi, sangat terang. 

Pyarr!

Pohon itu musnah. Menjadi serbuk debu yang hilang dibawa angin. Acantha menyeringai lebar. Dia tahu kekuatanya lebih dari itu. Lagi, gadis itu berbalik, menebas dahan besar yang hendak menyerangnya. Pedang itu menyala sekali lagi, memusnahkan dahan besar itu. 

Acantha melihat sekeliling, menghitung jumlah pohon yang menyerangnya. "Sepuluh," gumam Acantha disertai dengkusan. "Memangnya kalian fikir aku takut?"

Gadis itu maju dua langkah, gerakanya tangkas, menebas pohon di hadapanya dalam dua tebasan. Pedangnya menyala lagi, dan pohon tersebut musnah seketika. Namun Acantha lengah, dahan di belakangnya menyerangnya terlebih dulu, membuat Acantha terpental menghantam pohon sekali lagi. 

Acantha terbatuk. Punggungnya terasa lebih sakit kali ini. Ralat, seluruh tubuhnya. Acantha saat ini benar-benar tidak lagi sanggup berdiri. Dia kehilangan seluruh tenaganya. Setidaknya sebelum sebuah tangan menggenggam pundaknya. 

Acantha benar-benar mengembuskan napas lega ketika melihat siapa yang menepuknya. "Guru," gumamnya. Guru balas tersenyum. "Biar aku yang bereskan, tua bangka ini tidak selemah itu," ujar Guru membuat Acantha terkekeh kecil. Guru selalu seperti itu, tahu bagaimana cara meredam kekhawatiran anak muridnya. 

"Ayo, Acantha, kita menjauh dulu," Kavala di belakang Guru, mencoba memapah Acantha. "Ternyata ada kamu juga ya," ujar Acantha yang membuat Kavala tersenyum. "Jaga dia ya, Kavala. Biar aku urus yang di sini," titah Guru yang langsung diangguki Kavala. 

Pelan-pelan, Kavala membawa Acantha menjauh, dan menyandarkan gadis itu di sebuah pohon besar. Kavala menyapukan tanganya di daerah perut Acantha, dan sebuah semburat hijau terlihat. Acantha kaget melihatnya, dan lebih kagetnya lagi, cahaya lembut itu terasa hangat. Dan perlahan seperti menyembuhkan semua luka dalamnya. 

"Kamu belajar sihir, ya?" tanya Acantha yang diangguki Kavala. Tatapan Acantha pada Kavala sudah tidak sedingin saat pertama bertemu, nada bicaranya juga. "Aku tidak mau jadi orang yang tidak berguna selamanya."

* * *

Sementara itu, pertarungan Eru dan Elaine masih berlangsung. Kekuatan keduanya sama kuat, namun Eru belum menunjukan seluruh bagianya. Akhirnya sihir Eru dominan, mendorong Elaine menabrak pohon yang ada tepat di belakangnya. Bahkan membuat pohon itu tumbang kebelakang. 

Eru menyeringai, berlangak meregangkan tanganya. "Jangan meremehkanku lagi, Elaine," ujar Eru yang melangkah maju perlahan. Elaine terbatuk, namun masih sanggup melihat Eru dengan tatapan angkuh. 

"Aku tidak kalah semudah itu, anak muda."

Bersambung

Night FestivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang