satu ; Eru

6 2 1
                                    

Seorang anak laki-laki duduk menyendiri di atas pagar kayu jembatan. Menghindari keramaian. Ujung rambut coklatnya dia mainkan perlahan. Juga topeng kitsune yang berkali-kali dia lepas-pasang. Kakinya dia ayun-ayunkan, mencoba mengalihkan rasa bosan. Namun tiba-tiba suara benda jatuh menghantam tanah mengalihkan perhatianya.

Dia menoleh, "Itu.. manusia?" pikirnya bingung. Dia mendekat, langkah kaki kurusnya menapaki jalanan pasir berbatu yang mencetak jejak selop hitam miliknya. Perempuan itu meringis kesakitan. Terdengar begitu pilu dan menyedihkan.

"Kamu baik-baik saja?" sebaris pertanyaan retoris dikeluarkan oleh anak laki-laki itu membuat Kavala mendangak.

"Ini dimana?" tak berminat menjawab, Kavala lebih memilih bertanya dengan suara lirihnya. Bingung dan takut kentara terpatri di wajahnya. Lelaki itu sedikit heran, dan memutuskan untuk membantu Kavala bangun sebelum menjawab.

Alih-alih menerima uluran tangan lelaki itu, Kavala malah menjauh dengan tatapan ketakutan. Dia seolah bisa melihat wajah iblis salah satu perempuan yang merundungnya tadi.

"T-tolong, jangan sentuh aku, a-ampuni aku, maaf, maaf," rintihnya penuh ketakutan. Lelaki itu tersentak sejenak. Melihat mata Kavala yang penuh ketakutan dan rasa putus asa.

"Aku tidak akan melukaimu, aku berjanji, a-aku baik?" aneh bagi laki-laki itu ketika dia menyatakan bahwa dirinya baik. Tapi setidaknya, itu membuat napas Kavala sudah mulai normal, tidak memburu seperti tadi.

"Ehm, namamu?" tanya lelaki itu, mencoba mengakrabkan diri akibat rasa iba yang menyeruak memenuhi seluruh rongga dalam sel sarafnya. Kavala terdiam selama beberapa detik. "Ka-Kavala," jawabnya lirih. Eru tersenyum tipis, lantas sontak menjulurkan tanganya.

"Hai, aku Eru, senang berkenalan denganmu," ucapnya dengan senyum lebar mengembang. Kavala masih melihat dengan secuil ketakutan, namun gadis itu perlahan menjamah tangan Eru, dan lelaki itu membantunya berdiri. Sekaligus membantu tubuh Kavala yang limbung kembali mendapatkan titik seimbangnya.

Perasaan pertama, yang didapatkan Eru setelah menggeggam tangan Kavala adalah, bingung. Tangan gadis itu hangat. Menandakan ada sesuatu, yang berbeda dari gadis itu. Sesuatu yang tidak seharusnya.

"Kavala, kamu sudah mati?" tanyanya menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Kavala tersentak sejenak. "Mungkin..?" jawabnya ragu. Dia saja tidak tahu bagaimana nasibnya saat ini, dan ada dimana dia sekarang.

"Tidak mungkin," gumam Eru sembari menyeleksi tubuh Kavala, menyibak anak rambutnya, melihat seksama bola matanya, bibirnya, semuanya. Dan lelaki itu bisa menyimpulkan bahwa; "Kau masih hidup, Kavala," ucapnya lirih, matanya langsung panik melihat sekeliling.

"Kita harus pergi, sekarang," lanjutnya dengan nada yang entah mengapa tiba-tiba serius. "A-aku tidak bisa berlari sekarang," balas Kavala, yang menarik atensi Eru pada kaki penuh memar itu. Eru meringis, dan reflek berjongkok.

"Naik."

"Hah?"

"Naik, cepat, kita harus cepat."

Kavala naik perlahan, dan mengalungkan tanganya di leher lelaki itu. Sungguh, jantungnya berdebar. Dia tidak pernah sedekat ini dengan manusia seumuranya. "Maaf jika tanganku menyentuh bagian yang sakit ya, tapi usahakan jangan berteriak, kau boleh menjambakku atau apapun, aku hanya ingin menolongmu," jelas Eru panjang lebar yang langsung diangguki Kavala.

Eru membawa gadis itu jauh, ke tengah hutan. Masuk melewati banyak semak-semak dan pepohonan rindang yang bayanganya menutupi sepanjang jalan, membuat jalanan menjadi gelap. Sejujurnya, Kavala tengah takut setengah mati, namun yang bisa dia lakukan adalah menyembunyikan kepalanya dibalik pundak Eru, dan mencoba sekuat tenaga menyingkirkan pikiran negatif tentang lelaki itu.

Mencoba untuk sekali lagi, percaya kepada manusia.

"Kita sampai, Kavala," ujar Eru yang memberi peringatan dengan mengelus pelan kaki gadis itu, takut jika sentuhan tanganya mengenai titik sakitnya. Kavala melihat sekeliling, dan turun perlahan. Sebuah rumah jerami kecil dengan banyak cahaya, dan nuansa yang sangat hangat.

Rumah ini bundar, tampak depanya diisi satu pintu kayu berwarna gelap dan jendela, yang memperlihatkan karpet bambu persegi di dalam, juga dua buah bantal dan beberapa piring dan gelas. Tidak ada kamar maupun unsur rumah lain pada rumah mini itu. Hanya ada onggokan kayu bakar dan api unggun yang mulai kecil di halaman depan.

"Ini rumahku, maaf jika tidak besar, aku hanya tinggal sendiri," jelas Eru tersenyum tipis. "T-tidak apa-apa, tetapi sebenarnya, apa yang kita hindari?" tanya Kavala menyuarakan rasa penasaran yang dia pendam sepanjang jalan.

Eru menghela napas berat. "Ini rumit, kamu bukan orang yang seharusnya tinggal di sini. Kamu masih hidup, Kavala, sedangkan ini, dunia roh, kami semua yang ada di sini, adalah roh. Saat tadi aku menggenggam tanganmu, bukankah tanganku terasa dingin? Itu adalah salah satu perbedaan mencolok, antara roh dan manusia."

Kavala terkejut. "Bagaimana aku bisa kesini sedangkan aku masih berupa makhluk hidup?" tanya Kavala heran. Eru menggeleng pelan. Dia juga tidak tahu.

"Makhluk di sini akan marah besar, kalau tahu kau masih hidup, Kavala."

"Kenapa?"

"Karna semua orang yang mati, selalu punya penyesalan semasa hidupnya. Kebanyakan dari mereka enggan menerima kematianya, dan baru menyadari betapa berharganya hidup mereka setelah mereka sudah di sini."

Wajah Eru berubah suram. Kavala iba melihatnya. "K-kalau kamu?" tanya Kavala ragu. Eru mendangak, tersenyum tipis.

"Aku sih, tidak ada. Aku bersyukur bisa hidup walau hanya... Belasan tahun," jawab Eru. "Ayo masuk, dengan kondisi badan begitu, kamu tidak mungkin tahan di luar begini lama-lama," lanjutnya dan langsung mengambil langkah masuk ke rumah jerami itu.

Kavala termenung. Dia tahu, lelaki itu pun sedih, dan marah atas kedatanganya.

Kavala ikut masuk ke rumah Eru, rumah jerami itu terasa hangat di dalamnya. Eru datang tak lama, dengan panci dan beberapa sayur di tanganya.

"Aku akan memasak dulu, kau tidurlah, besok akan kucarikan pakaian, ya, maaf tidak bisa memberimu banyak," ujar Eru seraya tersenyum. "Jangan terlalu banyak meminta maaf, Eru," balas Kavala ikut tersenyum.

Dia merasa aman bersama lelaki ini. Berbeda dengan saat dia berada di sekolah, atau sekadar berjalan di trotoar kota.

* * *

Kavala sedang tertidur nyenyak saat dia mendengar suara isak tangis. Kecil, tapi cukup untuk mengalihkan atensinya.

Saat dia duduk, dia bisa melihat siluet lelaki muda, yang sedang duduk menelungkupkan kepala di lutut. Dengan tangan yang memeluk kakinya sendiri. Itu Eru.

Lelaki itu menangis tersedu-sedu. Mengeluarkan seluruh perasaan kaget, sedih, kecewa, tidak terima miliknya.

Kavala spontan berdiri, dan mendekati lelaki itu. Ikut berjongkok di sana. "Maaf," ucap Kavala lirih.

"Aku juga punya mimpi, Kavala, aku juga punya orang yang aku sayang, dulu aku punya kehidupan, Kavala," ucap Eru.

Tak lama, tangis Eru semakin menjadi. Isaknya semakin kencang dan pundaknya semakin bergetar. Lelaki itu sudah tidak kuat lagi.

"Andai ada kesempatan... satu kali lagi."

Bersambung.

Night FestivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang