sepuluh ; yang lalu

1 0 0
                                    

Kavala betulan jadi kepikiran apa yang dikatakan Acantha. Tetapi dia juga betulan tidak mau pergi dari sini. Kalau dia mengingat-ingat lagi kejadian di masa lalu, itu hanya akan menyakiti hatinya. Kembali membuatnya depresi hingga muntah-muntah.

Dari dulu, Kavala tidak pernah merasa ada orang tulus di dunia ini. Semua manusia, pada akhirnya saling memanfaatkan. Dia selalu takut dengan tatapan manusia. Dia selalu lelah menghadapi dunia yang begitu kejam menghujam setiap harinya.

Itulah mengapa menurutnya, mungkin neraka akan terasa lebih baik. Dia ingin mati. Dia muak. Dia lelah. Padahal dia tahu, bahwa kata 'ingin mati' itu keluar karna dia sebenarnya ingin hidup. Tapi dia tidak sanggup.

Hingga dia jatuh ke sini. Dunia yang bukan dunianya. Meninggalkan kehidupan lamanya, meninggalkan berbagai macam kepahitan, kekejian, anarki, dan prilaku tanpa kasih yang didapatnya. Bahkan, hatinya hangat di sini. Belenggu hatinya hilang perlahan.

Kavala tidak mau, dan tidak akan mau, pergi dari sini.

* * *

"Dasar anak tidak tahu diri!" bentak seorang wanita dengan rambut acak-acakan. Tercium bau arak dari tubuhnya. Seorang gadis hanya bisa terduduk bersimpuh karna tiba-tiba saja wanita itu membanting pintu di belakangnya tanpa aba-aba membuat jantungnya berpacu lebih cepat. 

"Bisanya hanya pulang malam! Apa sih yang anak bodoh sepertimu lakukan, hah?!"

Sebuah tamparan telak mengenai pipinya, membuat pipi berwarna langsat itu kemerahan. Bersamaan dengan air mata gadis itu yang turun perlahan-lahan. 

"Lebih baik anak menyusahkan sepertimu itu kerja saja sana! Supaya setidaknya tubuh bobrok itu ada gunanya!" wanita itu membentak lagi, kali ini wanita itu menendang si gadis yang sudah terpojok. 

Bugh!

Isak tangis gadis itu semakin ketara. Tubuh kurusnya gemetaran dan penuh keringat dingin. Tak ada barang sepatah katapun yang mampu keluar dari bibirnya. Aura dingin malam membunuh gadis itu perlahan, menusuk-nusuk pembuluh darahnya. Ditambah tatapan mencekam wanita itu yang tampak seperti belati di matanya. 

"Mati saja kamu, anjing. Kalau bukan karna lelaki bajingan itu aku tidak sudi menampungmu di sini, binatang!" rentetan caci maki keluar dari mulut wanita itu, yang kemudian menendang Si Gadis sekali lagi, sebelum meninggalkanya bersama gemetar yang masih ada. 

Wanita itu tertidur di sofa, bersama sebatang rokok di tanganya. "Buatkan aku makanan, Kavala! Aku lapar!" titahnya. Gadis bernama Kavala itu beranjak patah-patah dari tempatnya, berdiri dengan kaki yang masih gemetaran. Baju sekolahnya sudah kotor, warna putihnya sudah menguning karna sering masuk  ke lumpur. Bahkan tasnya sudah basah lagi untuk ke sekian kalinya, bersama buku-bukunya yang sudah keriting sejak sebulan tahun ajaran baru. 

Semenderita itu, semenderita itu tiap hela napas bagi Kavala. 

Kavala membuka kulkasnya perlahan. Kosong, hanya tersisa sebutir telur. Tidak ada yang lain. Dengan getir, Kavala mengambil satu telur itu, memasaknya di atas penggorengan. Lantas memasukan nasi sisa kemarin, mencampurnya, dan memasukan sisa kecap sachetan yang masih ada. Dia membuat nasi goreng dengan bahan yang masih ada, dan memang hanya itu satu-satunya yang bisa ia buat. 

Dia sajikan nasi goreng itu diatas sebuah piring putih bergambar bunga-bunga. Lantas memberikanya pada wanita yang sedang  tertidur di sofa bersama rokok yang bertengger di mulutnya. "Taruh di situ. Sana mandi, baumu seperti comberan."

Hati Kavala teriris sekali lagi, mengangguk patah-patah. Lantas Kavala melepas sepatunya yang talinya sudah coklat dan warnanya tak lagi hitam, lantas menyeret tasnya menuju kamar. Begitu Kavala membuka kemeja sekolahnya, yang bisa dilihat gadis itu di cermin hanyalah memar-memar. Beragam warnanya, ada yang merah, biru, bahkan keunguan. Kavala menelan ludahnya. Dia tahu akan sangat perih jika itu terkena air. 

Perlahan, tetes-tetes itu turun lagi dari matanya. Sebuah tangis tanpa suara terjadi di kamar Kavala. Mau sesusah apapun Kavala mengusap air matanya, tidak ada yang bisa dia lakukan. Air mata itu terus saja mengalir sesukanya. 

Dia ingin mati. Mengapa Tuhan membiarkanya hidup? Apakah Tuhan tidak sayang padanya? Kavala sudah tidak kuat, dia sudah muak. Pada akhirnya, gadis itu duduk memeluk lutut di kamarnya. Menangis sepuasnya. 

Bagi Kavala, jika ada yang lebih indah dari kebahagiaan itu sendiri, mungkin itu kematian. 

* * *

"Bangun, tolol!" titah seorang gadis dengan seragam ketat dan rambut kuncir kuda. Menarik dasi Kavala yang tersungkur membuat gadis itu terpaksa berdiri sambil tercekik. "Tidak ada yang menyuruhmu menangis, kan?! Belikan aku makanan, bodoh! Kau tidak dengar?!" 

Kavala hanya bisa gemetar, tubuhnya tak lagi mampu untuk melawan atau sekadar membela diri. Gadis itu beralih menjambak rambut Kavala, membuat Kavala meringis dan mengeluh. "Belikan aku makanan, tolol!" Gadis Itu berteriak tepat di telinga Kavala membuat telinganya nyeri dan berdengung. 

"A-aku tidak punya uang," gumam Kavala lirih, sangat lirih. 

"Halah! Pencitraan!" Gadis itu kembali membanting Kavala ke dinding, sampai membuat tulang punggung Kavala rasanya retak. untung saja sudah jam pulang sekolah, jika tidak Kavala akan sangat malu menjadi bahan tontonan di sekolahnya. 

Gadis itu lantas menarik Kavala paksa, dia tidak bisa melawan. Kavala terlalu lemah, dia tidak punya tenaga. Lantas Gadis itu melempar Kavala ke kubangan lumpur yang ada di depan sekolah, untuk kesekian kalinya. Membuat Kavala basah kuyup dan kotor, seperti babi yang mandi kubangan. 

"Sekarang, kau lebih mirip babi, Kavala." 

Gadis itu tertawa-tawa dengan girangnya. Padahal dia sendirian, tapi bisa mengintimidasi Kavala sampai separah itu. Kavala tak lagi punya tenaga. dia hanya bisa tersungkur. Bahkan untuk bangun pun, rasanya dia tidak mampu.  

Bahkan untuk berkata 'semua akan baik-baik saja' dalam hati pun, dia tak kuasa. 

Air mata meluruh begitu saja. Tanpa permisi, membasahi wajahnya. 

Kavala sudah tidak mampu, Kavala sudah betulan.. 

Dia sudah betulan ingin mati. 

* * *

Perjalanan pulang sekolah terasa seperti meniti jalan ke neraka bagi Kavala. Karna bajunya basah kuyup, baju itu jadi menerawang. Dan membuatnya jadi kedinginan. Terlebih angin sore yang bukanya terasa sejuk malah terasa membunuh baginya. 

Kavala menyilangkan tanganya, memeluk dirinya sendiri. Mencoba memberi kesan 'hangat' pada dirinya sendiri. Tiba-tiba sekelompok preman datang padanya, memojokanya di sebuah gang sepi. 

Kavala ketakutan setengah mati. Apalagi ini? Apalagi yang akan terjadi padanya? 

"Kamu tidak kedinginan, sayang?" seorang preman menggodanya, sedikit mencoba meraba-raba tubuhnya. Kavala tercekit, dia berusaha menolak namun tidak bisa. 

Akhirnya Kavala terjebak di sana, di sebuah neraka berwujud gang sempit yang menjadi saksi dia kehilangan harga dirinya. Walau Kavala masih mampu menjaga keperawananya dan kabur, tapi tubuhnya sudah menjadi pemuas para preman itu.

Kavala menangis sejadi-jadinya. 

Kavala betulan, gadis itu betulan ingin mati. Terserah lah siapapun yang mau merenggut nyawanya. Bahkan jika bisa, dia ingin memberikan surga pada orang yang membunuhnya saat ini juga.

Bersambung 

Night FestivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang