tigabelas : pertaruhan

1 0 0
                                    

Kamari tersenyum miring setelah mengatakan rentetan kalimat yang membuat mata Elaine menghujaminya dengan marah.

"Satu hal lagi. Persetan dengan aku menyukai Eru atau tidak, Kavala juga temanku. Dan dia masih hidup. Harapan sekecil apapun itu, dia harus tetap hidup, dan aku tidak akan membiarkan siapapun menghancurkan harapan hidupnya. Termasuk kau."

* * *

Festival sudah hampir berakhir karna hari juga sudah mau beranjak pagi. Kavala benar-benar puas malam ini. Senyum manis itu tak berhenti mengembang sejak tadi di bibirnya.

"Kamu suka?" tanya Eru pada akhirnya. Dan hal itu dibalas senyum manis oleh Kavala. "Suka!" jawab Kavala antusias. "Mau mampir ke rumah Kamari? Rumahku terlalu beresiko, nanti aku masak sup yang waktu itu," tawar Eru dengan senyum manisnya. Kavala mengangguk. "Boleh."

Sepanjang perjalanan mereka isi dengan canda tawa seru yang tiada habisnya. Kavala dan Eru membahas apa saja yang mereka suka, pula yang mereka tidak suka. Dan ajaibnya, selera mereka lumayan sama.

Bahkan mereka menyanyikan lagu bersama, sesekali tertawa terbahak-bahak seolah dunia memang seindah itu selama ini. Seolah segalanya akan baik-baik saja. Dan Kavala betulan merasa begitu. Rasanya, semua hal akan jadi baik-baik saja jika Eru di sisinya. 

Namun kebahagiaan itu langsung surut ketika mereka tiba di rumah Kamari. Karna secara mengejutkan, pintu rumah panggung itu membelalak terbuka. Ruang dalamnya gelap, dan terlihat botol-botol ramuan berserakan seolah terjadi pertarungan di sana. 

"Sialan, ini pasti Elaine," geram Eru mengepalkan tanganya. Lelaki itu langsung menengok ke arah Kavala, sedang otaknya merancang sebuah rencana, bagaimana caranya dia bisa mencari Kamari segera tetapi juga memastikan Kavala aman. 

"Aku baik-baik saja, aku hafal jalan ke--"

"Tidak, Kavala. Kamu tidak akan baik-baik saja setelah ini. Elaine semakin kurang ajar mencarimu. Aku akan mengantarmu dulu, aku percaya Kamari akan baik-baik saja. Ayo, kita harus cepat"

* * *

Perjalanan kembali ke rumah Guru sama sekali tidak terasa semenyenangkan tadi. Perjalanan kali ini hanya diisi ketegangan dan keheningan. Seolah hening tidak mengizinkan mereka berbicara sepatah katapun. Di titik ini, Kavala merasa tidak berguna karna tidak bisa membantu sama sekali. 

Apa yang dia bisa?

Gua batu besar itu sudah terlihat, dan Eru meninggalkan dirinya di mulut gua. "Kamu bisa kan ke dalam sendiri? Maaf aku tidak bisa mengatar, aku.. harus mengurus ini secepat mungkin," ujar Eru tidak enak hati, dan meninggalkan Kavala yang melambaikan tangan padanya. 

Kavala masuk kedalam lorong-lorong panjang berbatu itu dengan perasaan campur-aduk. Rasa bersalah dan khawatir menggerayanginya. Bagaimanapun, Kamari termasuk teman pertamanya. Jika bukan karna Kamari mengajaknya ke festival malam itu, Kavala mungkin tidak akan mendapat ketenangan untuk pertama kalinya. 

"Ada apa, Kavala? Kemana Eru?" tanya Guru dengan nada khawatir. Pria tua itu pun langsung berdiri dari duduknya, walaupun sangat terlihat beliau kesusahan melakukan itu. Kavala meneteskan air matanya perlahan. "K-Kamari, Guru. Kamari diculik Elaine," jawab Kavala lirih sedang matanya menitikan air perlahan. Ekspresi Guru langsung berubah. Pria tua itu tidak bisa tinggal diam  saat anak muridnya terancam bahaya. 

"Acantha! Cari Eru dan Kamari!"

* * *

Eru telah tiba di sebuah rumah gubuk yang sangat dikenalinya. Bau rumah itu bahkan familier di hidungnya. Namun lelaki itu tidak dulu gegabah, dia melihat sekitar dan memprediksi peluang yang ada. 

Dia tidak mendengar apapun dari luar, walaupun lelaki itu sudah menempelkan telinganya ke dinding. Yang dia dengar hanya suara ketukan kaki. Eru mencoba menengok ke jendela, matanya membola kala dilihatnya Kamari duduk dan diikat di sebuah kursi kayu. Ketara sekali gadis itu gelisah. 

Namun Eru tidak boleh gegabah, dilihatnya Elaine masih sibuk membaca buku, dia tidak bisa langsung menerobos masuk. Setidaknya itu sebelum penyelamat hidupnya datang, menepuk pundaknya pelan dan langsung menutup mulutnya sebelum eru berjengit kaget karna kehadiranya. 

"Atha?" beo Eru saat dirinya sudah jauh lebih tenang, Acantha pun melepas tanganya dari mulut Eru. "Elaine sudah tidak sekuat dulu, dia kehilangan sihir spesial milik anggota pimpinan komite. Tapi Elaine adalah Elaine, sihir pengambil alih tidak bisa diremehkan," bisik Acantha dengan wajah serius. 

"Kavala, dia bagaimana?"

Dan pertanyaan itu sukses membuat Acantha tersenyum miring. "Aku tahu kamu suka dia, tapi setidaknya bisakah lihat situasi?" sindir Acantha membuat Eru sedikit bersemu merah dan membuang wajahnya. "Aku tidak menyukainya," sangkal  Eru yang lebih terdengar seperti lelucon bagi Acantha. 

"Dia baik, namun lebih baik lagi jika kita membawa pulang Kamari, sepertinya. Dia khawati--"

"Reuni manis ini, kenapa harus diadakan di rumahku, sih?"

Sial, Elaine ada di sana. Melipat kedua tanganya di dada dan melihat ke arah dua remaja itu dengan tatapan menyebalkan seolah dia menang karna dia bisa tahu keberadaan mereka padahal mereka bicara sangat pelan, nyaris tidak terdengar. 

Acantha menarik Eru, mereka merangsek mundur sebelum Acantha merapatkan tanganya, lalu menjauhkan kedua tapaknya. Dan bersamaan dengan itu, sebuah pedang yang menyala keluar. Warnanya ungu cerah dan gagangnya emas. Setelahnya, gadis itu langsung memasang kuda-kuda. Matanya menatap tajam pada Elaine, sedangkan mulutnya berbisik "Biar aku dulu, kekuatanmu itu rahasia, kan? Nanti kalau aku mati," Gadis itu terkekeh pelan sebelum melanjutkan kalimatnya. "Nanti kalau aku mati, baru kamu lanjutkan, walaupun aku yakin aku tidak akan mati di sini, sih."

Gadis itu berlari maju, bersamaan dengan sihir Elaine yang hampir saja mengenainya, namun dia tepis dengan pedangnya. Beruntungnya, Acantha mengaliri sedikit sihirnya ke pedang itu, membuatnya menyala terang terutama saat mengayunya. Mata Elaine menyala, inilah yang ditakutkan semua orang saat berhadapan dengan Elaine. Namun tidak untuk Acantha. 

Dia melompat ke pohon besar, menebas pohon itu dengan sekali ayunan. Pedangnya menyala hebat dan pohon setinggi 4 kali tubuh Acantha itu tumbang ke arah Elaine membuat wanita itu perlu merangsek mundur beberapa langkah. Debur jatuh pohon itu mampu memekakan telinga, bahkan membuat rumah Elaine bergetar hebat. Namun Acantha sebagai pelaku utamanya malah tersenyum miring. 

"Mau lagi?" Acantha bertanya sombong. Elaine melepas sihirnya lagi, membuat pohon yang jatuh itu berdiri lagi, bahkan kini memiliki tangan dan kaki. Acantha mengigit bibir atas kebodohanya. Gadis itu menengok ke arah Eru dan tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. 

"Aku lupa sihir pengambil alih tidak hanya bisa mengontrol manusia," ujar Acantha dengan wajah tanpa dosa sebelum berlari maju, gadis itu melompat tinggi sekali sebelum menancapkan pedangnya ke batang pohon besar itu. Pedang ungu itu menyala hebat sekali lagi, membuat orang di sekitarnya memicing karna silau. 

Pohon itu pun hancur lebur, menjadi kepingan-kepingan debu yang perlahan hilang karna debur angin. Namun  napas Acantha menjadi tidak teratur lagi, sihirnya banyak terkuras untuk itu. 

Dan Elaine, dengan angkuhnya tersenyum jahat. "Permainan belum selesai, Sayang."

Bersambung 

Night FestivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang