dua ; teman

4 2 0
                                    

Aroma gurih masakan mulai merangkak di rongga hidung Kavala membuat gadis itu terjaga dari tidur nyenyaknya. Saat matanya sayup-sayup terbuka, bisa dia lihat seberkas cahaya matahari yang leluasa masuk lewat jendela.

Kavala melenguh pelan, mencoba mengumpulkan nyawanya yang terasa masih separuh. Perlahan, gadis itu mencoba mengingat apa yang terjadi.

Benar, dia tidak di rumah.

"Kamu sudah bangun, Kavala?" tanya Eru yang langsung menoleh dari kualinya. "Iya," jawab Kavala dan mulai beranjak mendekati Eru, yang sedang memasak di halaman.

"Ini masakan semalam, semoga kau suka, ya," ujar Eru mengambilkan semangkuk sup yang lumayan kental dengan kuah berwarna merah. Dari tampilanya, sup itu berisi jamur hutan, beberapa jenis dedaunan, dan rempah-rempah lantas dibalut dengan mangkuk kayu yang diamplas rapih.

"Terimakasih," ucap Kavala pelan. Dia masih belum terbiasa mengobrol santai dengan lelaki itu. Rasa trauma berteman masih bersarang di lubuk hatinya membuat dia lebih jaga jarak.

Kavala meminum sup itu. Rasa gurih, pedas, agak asam, dan rasa rempah yang unik mendobrak indra pengecap gadis itu. Matanya sedikit melotot.

"Enak?" Eru bertanya dengan senyum tipis walau sudah tahu jawabanya. Gadis itu pasti menyukainya. "Enak, enak sekali," jawab Kavala tak habis pikir.

Eru terkekeh kecil. Karna nyatanya, selain Kavala, dia juga kesepian. Selama ini dia hanya bisa menikmati masakan andalanya itu sendirian, kadang terkagum sendiri dengan rasanya hingga berteriak kegirangan, namun tidak ada yang mendengar.

"Sudah? Kalau sudah, ayo, aku akan mengantarmu ke salah satu temanku," ujar Eru. "Kita mau kemana?" tanya Kavala yang sebenarnya masih ingin memakan sup itu lebih lama. "Jangan terburu-buru, makanlah sepuasmu, ini dekat kok," jawab Eru membuat Kavala kembali menikmati sup itu.

"Kamu tahu, ini makan ternikmat yang pernah aku rasakan."

"Makananya?"

"Bukan hanya itu, tapi juga sensasi makanya. Sebelumnya, aku tidak pernah makan sebahagia ini."

* * *

Cahaya matahari tipis-tipis menelisik dari balik dahan pohon. Kavala masih berjalan agak tertatih karna lukanya, sesekali Eru menangkapnya saat ia tersandung atau hilang keseimbangan.

"Kalau boleh tahu, apa yang terjadi saat kau baru sampai di sini, Eru?" tanya Kavala, mencoba basa-basi. "Setiap roh yang jatuh ke sini, kehilangan ingatanya selama 10 menit sebelum meninggal dan 10 menit setelah sampai di sini. Yang kutahu, aku terbangun di hutan ini, dan aku langsung tahu bahwa aku sudah mati, dan ini dunia roh," jelas Eru.

Kavala hanya mengangguk mengerti. "Lalu kenapa.. Roh-roh di sini membenci orang hidup? Termasuk.. kamu?"

Eru tersenyum tipis, menatap Kavala dengan sendu. "Kamu banyak tanya, ya," gumamnya membuat Kavala tidak enak hati sekaligus takut. "Maaf-maaf, a-aku tidak bermaksud begitu, maaf," celotehnya gelagapan.

Eru terkekeh sendiri melihat Kavala yang salah tingkah dan tidak enak hati. "Tidak perlu minta maaf, itu hanya kami sendiri yang tidak bisa menerima takdir Tuhan bahwa kami sudah mati. Kami terlalu banyak memikirkan penyesalan yang belum tuntas, memikirkan mimpi-mimpi yang belum tercapai, hingga kami bingung dan benci dengan orang yang menyianyiakan hidup mereka lalu bunuh diri.

Karna bagi kami, yang sudah hidup di sini puluhan, bahkan ribuan tahun, hidup itu anugrah. Hidup di dunia normal, sakit, berdarah, pingsan, bertemu, berpisah, sedih, bahagia, semua itu anugrah," jawab Eru panjang lebar. Kavala terdiam, dia tidak memberi tahu Eru soal dirinya yang bunuh diri. Entah apa yang terjadi jika Eru mengetahuinya.

"Ada lagi, yang ingin kau ketahui?"

"Kenapa kamu langsung percaya padaku untuk tinggal di rumahmu, padahal kita baru bertemu?"

Eru bergumam sebentar. Terlihat betul dia kesulitan menjawab. "Entahlah. Mungkin karna kamu cantik," jawab Eru singkat. Singkat, namun cukup untuk membuat Kavala terdiam sejenak dan merenung, lalu tak lama berlali tertatih menyusul Eru dengan wajah merah padam.

"Jangan bercanda begitu, Eru," gumam Kavala. Eru tertawa mendengarnya. "Bercanda, kok! Lagipula apa sih yang bisa dilakukan orang dengan kondisi semrawut seperti kamu semalam? Merampok rumahku? Berjalan saja susah," balas Eru.

"Kita sudah mau sampai," lanjut lelaki itu sebelum Kavala menggerutu karna dibilang susah berjalan. "Memangnya kita mau kemana, sih?" tanya Kavala penasaran.

"Hanya seorang kenalan lama, kok."

* * *

Rumput-rumput hijau dengan tinggi sama rata menghiasi pekarangan rumah panggung kayu itu. Seberkas kabut berwarna ungu mengelilingi rumah tersebut. Entah apa fungsinya.

Hanya itu yang bisa dilihat Kavala dari jarak 50 meter. Sebelum Eru berjalan lebih dulu, dan mengetuk pintu.

"Tidak merindukanku, Kamari?" ujar Eru lantang dan tak lama keluar seorang perempuan dengan topi penyihir langsung memeluk Eru erat membuat lelaki itu agak mundur kebelakang. Dua orang itu hanya tertawa riang sembari Eru menepuk-nepuk punggung perempuan itu.

"Aku merindukanmu, Eru, Sangat! Kenapa kamu sudah jarang mengunjungiku?" tanya perempuan itu. "Aku malas, Kamari. Bukankah kau lebih sayang pada ramuan-ramuanmu daripada padaku?" goda Eru membuatnya mendapat pukulan di kepalanya.

"Jangan bercanda, Eru!" balas Kamari sinis. Eru tertawa renyah setelahnya. Kavala, yang masih berada di sana, hanya menatap gadis di hadapanya dengan takjub. Cantik, begitu pikirnya.

Helaian abu-abu yang membentang hingga pinggang, lalu tangan lentik dengan kuku-kuku cantik yang terawat. Wajah putih, mulus, dengan mata warna ultramarine yang membuat gadis itu terlihat seperti mimpi baginya.

Apakah ini... Kekasih Eru?

Kamari yang menyadari kehadiran Kavala sedikit kaget. "Siapa yang kamu bawa, Eru?" tanya Kamari dengan kaki yang mendekati Kavala.

"Ah, itu, dia Kavala, dia adalah manusia, dia bukan roh, yang entah mengapa bisa sampai di sini. Apakah kamu punya informasi soal itu?" tanya Eru. Kamari yang sudah dekat dengan Kavala kembali menoleh. "Sepertinya, punya, ayo masuk kedalam, Kavala! Oh iya, kenalkan, aku Kamari! Terserah mau menyebutku apa, temanya Eru, adiknya Eru, kekasihnya Eru juga boleh!"

"Kamari!" tegur Eru yang membuat Kamari terkekeh. Kavala yang melihat adegan itu, hanya bisa memikirkan betapa cocoknya pasangan itu.

Dengan mengintili dari belakang, Kavala bisa melihat jelas bahwa Eru dan Kamari sangat dekat. Namun Kavala mencoba tidak peduli. Itu bukan urusanya, kan?

Sampai di dalam, yang bisa Kavala lihat hanya botol-botol kayu berisi ramuan, panci besar, kayu bakar, banyak sekali rak buku, sofa, dan meja kecil.

"Sebentar ya, silahkan duduk dulu, Kavala, biar aku cari informasi yang kamu butuhkan," begitu kata Kamari sebelum tanganya sibuk menjelajahi rak-rak buku yang nyaris memenuhi rumahnya.

"Dapat!" gumam Kamari kecil seraya menarik buku bersampul kulit merah tua berdebu. Sesekali Kamari terbatuk saat membawanya.

Kamari menaruh buku itu di meja dekat Kavala dan Eru duduk. Membuat Kavala bisa melihat betapa tuanya buku tersebut.

Kertas kekuningan penuh debu, lembab, usang, kulit merah tua yang terkelupas di beberapa bagian. Dan pada judul tertulis 'MEREKA.' "Kami tidak pernah menyebut manusia hidup dengan manusia, kami lebih suka menyebutnya 'mereka'," ujar Kamari seolah menjawab rasa penasaran Kavala.

Kamari membalik beberapa halaman. Mencari sesuatu seolah dia tahu 'sesuatu' itu ada di sana. "Nah, ini," tiba-tiba tangan Kamari berhenti. Dan menunjuk satu paragraf di paling bawah halaman.

"Kami tidak pernah mengundang mereka, jika mereka ada diantara kalian, maka itu adalah keinginan mereka sendiri. Tuntun mereka sesukamu. Setidaknya sebelum kami mengetahui ada mereka diantara kamu," tutur Eru, membaca sebaris paragraf yang ditunjuk Kamari.

Eru dan Kamari saling bersitatap. Mereka tahu sesuatu, yang Kavala tidak boleh tahu.

"Ini.. agak, rumit."

Bersambung.

Night FestivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang