tujuh ; aku ingin mati

9 0 0
                                    

"Kamu tidak usah sungkan-sungkan, Eru sudah menceritakan semua tentangmu padaku," ujar Sang Kakek, atau sebut saja, Guru. Kavala tersenyum ramah. "Ha- haruskah aku memanggilmu Guru juga?" tanya Kavala ragu.

Guru tertawa. Tawa ala kakek-kakek yang jika hanya dibayangkan pun pasti terasa seolah mendengarnya langsung. "Panggil aku apa saja sesukamu, Nak. Semua anak yang kuasuh leluasa memanggilku apapun. Aku bukan orang penting, aku hanya memanusiakan manusia. Atau, mengarwahkan arwah? Hahaha," Guru tertawa lagi. Kavala mulai berpikir bahwa Guru bukan orang yang sekaku itu.

"Anu, maaf tiba-tiba tapi, apakah boleh aku tahu.. walaupun sedikit, tentang Eru?"

Wajah Guru langsung berubah suram. Namun lekas tersenyum saat memikirkan salah satu anak asuh kesayanganya. Namun itu bukan senyum bahagia. Itu senyum penderitaan. "Anak itu ya.." gumamnya.

"Dia unik. Seperti yang bisa kau lihat, tidak ada arwah.. mau arwah manusia, hewan, atau hanya makhluk spiritual, tidak ada yang mau melawan seorang Elaine. Dia seperti kekuatan mutlak yang bahkan Tetua Komite pun sudah angkat tangan. Tapi anak itu.. Benar-benar."

Kavala menyetujuinya. Terkadang, sulit membedakan Eru itu pemberani, pendendam, atau nekat. "Eru juga.. Dia muridku, bersama Kamari dan Acantha, ah, menjelaskan semuanya dari awal rasanya terlalu sulit, tapi aku akan menceritakanya sesegera mungkin jika sudah menemukan kalimat yang pas, karna aku rasa kau berhak tahu itu," lanjut Guru.

Mendengar nama Kamari disebut saja sudah membuat Kavala kaget, tapi dia penasaran akan satu hal, "Siapa Acantha?" tanya Kavala, sebelum sepersekian detik setelahnya seorang perempuan dengan baju merah marun, dan topi camping, datang dari balik lorong.

"Aku sudah kembali, Guru, selamat sore," ujar perempuan itu, tanpa menoleh kearah Kavala sedikitpun. "Sore, Acantha. Nah, Kavala, kenalkan, Ini Acantha. Berteman baik ya, kalian berdua, aku ingin mengurus sesuatu sebentar," balas Guru dan langsung pergi entah kemana.

Saat siluet Guru menghilang, saat itu pula ruangan kembali pada kuasa hening. Kavala tidak pernah berteman. Dia tidak tahu caranya memulai percakapan. Lebih sialnya lagi, sebelum Kavala mencoba untuk bicara, sorot mata tajam sudah mengarah padanya.

"Kau.. siapanya Kak Haru?"

"Ha- Haru?" beo Kavala bingung. Acantha mendecak. Gadis itu mulai memejamkan matanya, kentara dia sedang berpikir keras. "Eru. Kau siapanya Kak Eru?" tanya Acantha kemudian. Kavala sedikit menelan ludah. Bahkan hingga saat ini, auranya sangat mengintimidasi.

"Ah, Eru, aku temanya," jawab Kavala agak sungkan. Acantha mengangguk cepat. Dan sepertinya tidak akan bertanya lebih jauh. "Eh.. Kau tahu darimana aku berhubungan dengan Eru?" tanya Kavala.

"Baumu. Ada sedikit bau Kak Eru padamu."

Kavala sedikit terkejut. Keren juga penciumanya, kira-kira itu yang dipikirkan Kavala. "Bolehkah, kamu menceritakan padaku sesuatu tentang Eru?" Iya, Kavala sepenasaran itu. Karna setelah lama bersama, dia merasa tidak kenal dengan Eru. Sama sekali.

"Aku tidak suka bicara panjang lebar, singkatnya, kami partner, Eru dan Kamari ditangkap, Eru melawan, sihirnya diambil, dia merubah namanya dari Haru menjadi Eru dan mengasingkan diri bersama Kamari."

Sangat singkat. Saking singkatnya, sel otak Kavala sampai repot mencernanya. Tapi satu hal yang dia tahu, nama asli Eru itu, Haru. "Kenapa mereka ditangkap?" tanya Kavala. Rasa penasaranya makin menjadi-jadi.

"Eru dan Kamari bunuh diri, semua arwah di sini tidak suka itu, aku juga. Kakak juga bunuh diri kan? Itulah kenapa aku membencimu, sejak pertama aku mencium baumu."

"Bauku?"

"Baumu seperti orang hidup. Semua arwah membencinya, tapi setidaknya kau aman, hanya aku yang bisa mencium bau-bau samar seperti itu."

Night FestivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang