Meskipun Hagi sudah tahu tentang Gama, abang Garin satu-satunya. Tapi mereka belum pernah mengobrol berdua, bertemu langsung pun baru waktu itu, saat Gama menjemput Garin ke Bali.Sudah tiga hari Hagi di Jakarta, dia belum melihat Gama ke Rumah sakit. Kondisi Garin belum pulih, malah sejak kemarin mengeluh sekujur tubuhnya
sakit. Apa jadinya kalau Hagi tidak
bersedia datang ke Jakarta untuk menemani Garin? Akan sendirian kah temannya itu dalam melewati
kesakitannya? Apa kemarin juga seperti ini, saat kemoterapi pertamanya? Hagi tahu Gama masih punya rasa sayang kepada Garin layaknya kakak kepada adik. Tapi apa dia tidak khawatir. Bukan hanya fasilitas yang orang sakit
butuhkan, tapi bantuan dalam bentuk fisik juga."Gi--" Hagi tersadar dari lamunannya. Garin tampak meringis merapatkan paha.
"Pengen kencing?" tanya Hagi, hapal dengan gelagat Garin dari hari kemarin, kata dokter itu disuria namanya,
beberapa pasien kemoterapi memang mengalaminya. Rasa sakit dan panas pada saluran kemih saat mau
mengeluarkan urin dan setelahnya.
Hagi membantu Garin bangun,
memapahnya ke toilet."Ergh .... " Pintu toilet dibuka, Hagi menunggu di ambang pintu, mendengar erangan Garin. Kata dokter nanti juga pulih. Hagi menghampiri Garin yang sudah menaikkan kembali celananya. Sudut matanya berair. Senyeri itu, kah?
Saat memapahnya untuk kembali, tubuh Garin tiba-tiba meluruh. Hagi ikut terduduk menahan Garin yang tidak sepenuhnya pingsan. Matanya masih sedikit terbuka menatap Hagi, tapi hanya sesaat sebelum akhirnya tertutup sempurna.
--
Gama datang di malam harinya. Siang tadi Garin pingsan karena anemia parah. Setelah mendapat transfusi darah,
kondisinya jadi lebih baik, dan sekarang sudah tidur.Pintu terbuka, yang Hagi lirik pertama kali adalah Garin. Untung saja tidak terbangun. Hagi beranjak, melangkah cepat untuk menggiring keluar seseorang yang baru saja masuk.
"Garin tidur, Bang. Kasian dia lagi sensitif, pasti kebangun kalo ruangan rame," kata Hagi.
Tatapan Gama tajam ke arahnya.
"Kayaknya nongkrong di sana enak, Bang." Sebenarnya Hagi segan, tapi sudah terlanjur. Dia tarik lagi tangan Gama ke tempat yang dekat dengan jendela kaca besar, di depannya ada kursi dan meja. Hagi bawa Gama untuk duduk di sana.
"Oh ya, kita belum kenalan secara resmi. Hagi ...." Tangan Hagi terulur, tatapan tajam Gama akhirnya sirna seiring helaan napas yang keluar.
"Gama. Maaf ya, Gi, saya repotin kamu, Garin susah diatur," ucap Gama.
Hagi menatap. "Lagi sibuk banget ya, Bang? Atau ... masih nyimpen benci sama Garin?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Hagi, sedikit lancang. Gama sepertinya juga terkejut dengan pertanyaan lancang Hagi.
"Maaf, Bang, bukan aku mau ikut campur. Aku cuma ikut sedih aja liat hubungan Abang sama Garin. Mungkin ada pertanyaan tentang Garin yang Abang mau tahu jawabannya, aku bisa jawab," ucap Hagi. Dia hanya ingin tahu apa yang membuat Gama jadi sebenci itu kepada adiknya. Dan barangkali mungkin Hagi bisa membantu menjawab pertanyaan dari pikiran yang membuat Gama membenci Garin.
"Garin cerita semuanya sama kamu?" tanya Gama, dari nada suaranya terdengar tidak suka.
"Pas Garin pergi dari rumah, dia perginya ke rumahku," sahut Hagi tanpa ragu. Mengesampingkan detak jantungnya yang jadi cepat, jujur agak takut berhadapan dengan Gama. Wajahnya tampan, tapi rautnya tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
EGO (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Hidup semaunya sendiri. Membangkang. Keras kepala. Dan terakhir ... pergi begitu saja. Sombong sekali! Lupa akan semesta yang bisa menghempas tanpa peduli.