PART 19

5.6K 714 44
                                    

Besoknya, Gama beneran ngantor setelah memastikan Garin tidak merasa lemas seperti kemarin. Mama juga tentu tidak ada berkunjung karena Papa ada di rumah, seperti yang Gama bilang kemarin. Jadi karena gabut, Garin tidur lagi setelah sarapan dan minum obat. Membiarkan TV yang menyala menemani tidurnya.

Garin tidur entah berapa lama. Matanya terbuka dan menangkap sesorang yang sedang duduk di sofa. Seseorang itu langsung beranjak saat melihat mata Garin terbuka. Garin pun langsung bangun. Menarik tubuhnya untuk duduk.

"Papa," panggilnya dengan mata melebar kaget.

Papa bergerak seperti akan membantunya bangun.

Garin menggeleng dengan senyum samar. "Garin lagi gak selemah itu, Pa," ucapnya. Mungkin Papa berpikir untuk bangun saja Garin harus dibantu. Ya, beberapa waktu memang Garin merasakan ada di posisi selemas itu, tapi untuk sekarang tubuhnya cukup kuat.

Suasana canggung. Hening. Papanya terlihat sekali ingin berbicara, tapi mungkin bingung, atau terlalu shock. Dan kenapa papanya bisa tahu Garin ada di rumah sakit? Tidak mungkin Mama memberitahu.

"Papa berantem sama Mama. Papa udah marahin Mama yang tega gak kasih tahu tentang kamu ke Papa."

Garin seketika mendongak. Menggeleng. "Harusnya Papa gak usah marahin Mama. Garin ngerti kenapa Mama lakuin itu. Garin denger, waktu itu Papa juga beberapa kali marahin Mama karena Garin. Papa gak boleh marahin Mama cuma karena Garin."

"Mama emang kadang keterlaluan, Rin. Mama usir kamu dari rumah. Mama bahkan buang foto-foto kamu, barang-barang kamu, pindah rumah, dan gak ngenalin kamu ke Theo. Papa sebenernya gak setuju sama semua keputusan Mama itu."

"Pa, Garin yang milih pergi dari rumah, Mama gak pernah usir Garin. Garin yang salah. Sekarang Papa harus telepon Mama. Minta maaf sama Mama, atau Papa pulang dulu. Garin gak mau Mama sampe nangis terus karena berantem sama Papa."

Papanya menatap seakan enggan. Tapi Garin balas menatap dengan tatapan memohon. "Pa."

Pria yang belum terlalu tua itu menghela napas, lalu mengeluarkan handphonenya. Di depan Garin Papa menelepon Mama, meminta maaf, dan berbicara cukup panjang. Setelah keduanya terdengar saling memafkan, Papa menutup telepon.

"Di rumah, Papa jangan marahin Mama lagi," kata Garin. Bagaimanapun dia tidak rela mamanya dimarahi orang lain, sekalipun itu suaminya.

"Iya, maaf. Kamu pulang ke rumah, ya? Sebesar apa pun kesalahan kamu, kamu gak seharusnya nerima ini, Rin. Pulang, ya? Pengobatan kan bisa rawat jalan, kalo waktunya kemo baru ke rumah sakit."

Garin menggeleng. "Nanti, kalo Garin udah sembuh, Garin bakal pulang sebagai abangnya Theo."

"Papa bisa jelasin sekarang ke Theo. Adik kamu bisa diajak ngomong layaknya orang dewasa kok."

Garin kembali menggeleng. "Ngga, Pa. Papa jangan marahin Mama karena itu juga. Malah ini jadi motivasi buat Garin, Garin mau sembuh biar bisa pulang dan diakui abang sama adik Garin."

Papa menghela napas. Kalau memang itu dijadikan motivasi, Papa hanya berharap Garin cepat sembuh.

"Sekarang gimana keadaan kamu?"

Garin tersenyum. "Cukup baik kok, Pa."

Papa kemudian duduk di tepi ranjang. "Maaf ya, Rin. Papa belum bisa jadi Papa yang baik buat kamu," katanya.

"Garin yang belum bisa jadi anak yang baik buat Papa," balas Garin, "Garin sekarang udah cukup tua. Dan ngerasa apa yang Garin lakuin dulu itu kekanak-kanakan. Maaf, ya, Pa."

Papa tersenyum. Tangannya terangkat untuk meremat bahu Garin. "Sembuh ya, Rin," ucapnya.

Garin mengangguk. Untuk pertama kali dia merasakan lagi kehangatan seorang papa, walaupun papanya yang ini terlalu muda untuk menjadi papanya. Papa yang ini hanya berbeda usia 10 tahun dengan Gama.

EGO (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang