Saat Garin bangun tadi pagi, Gama sudah tidak ada di ruangan. Sepertinya benar, perasaannya kemarin hanya efek dari pengobatan, soalnya saat bangun, Garin merasa biasa saja, dan malah bertanya-tanya, kenapa kemarin sampai merasa marah dan menangis sebegitunya. Pintu terbuka, sosok Dimas yang muncul. Garin tersenyum lebar, Dimas selalu datang di waktu yang tepat.--
Gama menyetir mobil dengan pelan sambil melihat map di handphone yang terus bersuara. Setelah map menyerukan lokasi yang ditujunya telah sampai. Gama melepas sabuk pengaman, lalu membuka pintu mobil. Dia berada di jajaran rumah minimalis bertingkat dua, ada mobil putih dengan plat nomor yang sudah Gama hapal. Ya, yang itu rumah Dimas.
Ditekannya bel. Pintu terbuka, disambut oleh Dimas langsung, mempersilahkan Gama masuk. Gama duduk di ruang tamu, terdengar suara Garin di dalam, dia datang ke sini untuk menjemput anak itu. Dimas membawa istrinya untuk menyapa Gama, memberikan jamuan minum dan beberapa jenis kue. Lalu Garin muncul, tersenyum lebar.
"Maaf ya, Dim. Garin ngerepotin."
"Nggak kok, Pak, saya yang ajak." Dimas tersenyum. Hanya sebentar dia di sana. Garin pamit pada Dimas dan istrinya, begitu pun Gama, mengucap terimakasih pada mereka yang sudah baik pada Garin.
-
"Siapa yang bolehin keluar?"
"Dokter."
Gama diam, tak bisa protes. Dia lirik Garin, sepertinya kemarin anak itu marah, sekarang juga terlihat diam, raut wajahnya datar.
"Besok Theo minta ke kebun binatang, lo ikut," kata Gama. Garin menoleh.
"Jam 9-an, nanti gue jemput," sambung Gama.
"Gue kan--"
"Gue udah bilang Mama. Gue bilang ke Theo-nya lo temen gue."
Garin mengatupkan bibir, mengangguk. Daripada tidak sama sekali. Dia sangat ingin bertemu dengan adik kecilnya itu.
--
"Sus, besok saya mau main," Garin berucap pada seorang perawat yang sedang menyambungkan cairan infus ke kateter di dadanya. Sore ini tiba-tiba badan Garin demam, dan menjelang malam demamnya meninggi, yang membuatnya harus tersambung lagi dengan cairan infus.
"Mau ke mana?"
"Ke ragunan atau taman safari kayaknya."
Perawat itu memandangnya, tampak berpikir. "Gak yakin dibolehin dokter," ucapnya kemudian.
Garin mengembuskan napas panjang, tampak kecewa.
"Gimana kalo binatang-binatang itu bawa penyakit? Tubuh kamu lagi rawan infeksi lho."
"Kan pake masker, gak akan deket-deket juga," kata Garin dengan bibir cemberut.
"Abang gak nginep?" Perawat malah mengalihkan pembicaraan. Garin menggeleng, tak bersemangat.
"Ke sana sama abang?"
Garin mengangguk. Perawat itu bertanya seperti pada anak kecil, dan Garin juga menjawabnya seperti anak kecil.
"Mm, nanti tunggu besok kalo gitu, izin langsung ke dokter, ya? Kalo butuh apa-apa, panggil aja. Selamat malam, Garin."
Garin mengembuskan napas panjang setelah perawat pergi, memegang keningnya yang panas. Ada-ada saja.
--
Garin tersenyum melihat perawat-suster Ira, namanya, yang paling Garin kenal, yang tidak terlalu muda itu, yang semalam memberikan cairan infus untuknya. Pukul 08.45, suster Ira masuk ke ruangannya, dia punya jadwal longshift sepertinya, pulang malam-berangkat lagi di jam yang sama, di pagi harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EGO (Selesai)
Ficción General**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Hidup semaunya sendiri. Membangkang. Keras kepala. Dan terakhir ... pergi begitu saja. Sombong sekali! Lupa akan semesta yang bisa menghempas tanpa peduli.