PART 25

5.6K 624 46
                                    

Pagi ini Gama membawa Garin berjemur menggunakan kursi roda, mendorongnya menuju taman rumah sakit. Mereka berpapasan dengan beberapa orang yang juga akan berjemur, saling menganggukan kepala dan tersenyum. Saling berempati karena merasa bernasib sama.

"Ah, anget banget. Di kamar dingin banget. Langitnya bagus. Bang, di sana aja biar lo bisa duduk."

"Nggak. Terlalu panas."

Mereka sekarang berada di tepi teras, menghadap taman yang ada di depan sana.

"Panas jam segini masih sehat, Bang. Lagian, namanya juga berjemur. Kalo diem di sini gak berjemur dong namanya."

Gama menghela napas. Menarik kursi roda, membelokannya ke arah jalan menuju taman.  "Lo banyak omong," katanya sembari mendorong.

Membuat Garin tersenyum. Dua hari kemarin, dia tidak mendengar suara rendah Gama yang selalu bernada datar itu. Gama menghentikan kursi roda di samping bangku taman, dia duduk di bangku itu. Cahaya matahari masih terasa sejuk menerpa kulit dengan hawa hangatnya yang pas.

"Bang, gue mau ke Bali. Mau berjemur di sana."

Tatapan Gama langsung tertuju pada Garin, datar dan mencekam.

"Gue masih punya tabungan kok buat beli tiketnya."

"Menurut lo, gue permasalahin itu?"

Garin terdiam. Perlahan membalas tatapan Gama dengan sedikit takut. "Mungkin. Gue udah banyak ngabisin duit lo, dan gue gak mau nambah-nambahin lagi."

"Emang kalo lo pergi ke sana pake duit lo, itu gak nambah-nambahin pengeluaran gue? Lo pergi dalam keadaan kayak gini, pulang, collaps. Lo tahu berapa uang tambahan yang gue keluarin buat lo setiap kondisi lo gak baik? Antibiotik, pemeriksaan, obat baru, konsultasi."

Garin menunduk. Akh, dia salah ngomong.

"Tapi gue gak permasalahin itu, Rin. Uang bisa gue cari, tapi lo, kalo lo kenapa-napa, gue harus gimana?"

-

Garin tak bicara lagi sampai Gama kembali membawanya ke ruang rawat. Rasanya tiba-tiba canggung dan ada perasaan bersalah.

Gama mendorong kursi rodanya sampai ke dekat ranjang. Garin berdiri, duduk di tepi ranjang. Gama berbalik, hendak menyimpan kursi roda tanpa bicara.

"Bang."

Gama menengok. Garin menapakkan kaki, melangkah, lalu memeluk Gama tanpa permisi.

"Makasih, abangku yang baik banget," katanya, menyerukan kalimat yang dulu selalu menjadi andalannya ketika Gama selalu berhasil menyembunyikan kenakalannya di hadapan Mama.

"Maaf ya, Bang. Dari dulu gue selalu bikin lo capek."

Gama menghela napas, membalas pelukan Garin, adik nakalnya, yang untuknya, Gama akan melakukan apa pun untuk melindunginya.

--

Sudah berapa bulan Garin tidur di kamar ini, harum obat-obatan sudah tak lagi mengganggunya, hidungnya sudah terlalu terbiasa menghirup segala harum khas dari rumah sakit. Tubuhnya yang kurus, kulitnya yang tak lagi mulus. Akh, Garin hanya ingin rambutnya kembali, alisnya juga, setidaknya dia tidak terlihat aneh.

"Woahh, ini pertama kalinya gue liat langsung pasien kanker. Gak main-main."

"Bukan kankernya yang gak main-main, obatnya yang bikin gue kayak gini. Obat kemo lebih ganas dari kankernya."

"Woah, gue hampir gak kenalin lo."

"Lebay lo, Nob, ah. Gue beliin pesenan lo, eskrim. Emang lo boleh makan eskrim?" Anka yang datang membawa Nobi, duduk di ujung ranjang, menyimpan sekotak eskrim pesanan Garin, di atas overbed table.

EGO (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang