PART 17

6K 715 42
                                    


Garin membuka mata. Senin pagi, Gama bekerja, Mama akan mengunjunginya sekitar pukul 08.00, biasanya.

Merasa ingin ke toilet, Garin bangun, turun dari ranjang. Sepertinya dia terlalu cepat berdiri, pandangannya jadi menghitam. Garin lupa hemoglobinnya tidak stabil. Anemia hidup bersamanya setiap hari, ditambah sisa demam semalam, menambah pening.

Garin melangkah, baru dua langkah, tambah pusing, semuanya terlihat berputar. Garin menutup mata, mencoba melangkah lagi. Dan, ya ... tersungkur. Jidatnya membentur ubin. Garin merasakan sakit, sempat terbesit pikir, pasti jidatnya membiru. Sakit, lalu kesadarannya terenggut oleh pandangannya yang menghitam.

--

Mama mengompres kening Garin yang menonjol tepat di tengah-tengah, benjol karena terjatuh. Saat perawat kalang kabut di kamar rawat putranya pagi tadi, Mama baru sampai. Bukan benjolannya yang dikhawatirkan, tapi pendarahan di dalam yang mungkin terjadi. Garin tidak punya cukup trombosit untuk membuat darahnya membeku. Jika terjadi pendarahan di dalam, tentu itu akan berbahaya. Tadi dokter langsung meminta izin untuk melakukan serangkai pemeriksaan, mengecek secara keseluruhan kepala Garin yang terbentur. Setelah hasil keluar, dokter maupun Mama, mengembuskan napas lega. Tidak ada pendarahan di dalam. Benjolannya saja yang harus mereka obati, dan antisipasi, mungkin Garin akan demam karena itu.

Garin bangun, melihat Mama yang duduk di sampingnya, sedang mengompres jidat Garin yang terasa sakit.

"Lain kali kalo pusing tiduran aja, kalo mau ke toilet panggil perawat," ucap mamanya.

"Mau ke toilet." Garin bangun.

Mama mengambil kompresan yang terjatuh. Membantu Garin turun dari ranjang, dan menuntunnya berjalan menuju toilet, sembari membantu mendorong tiang dengan infus pump yang mengalirkan darah ke dalam tubuh Garin.

Setelah selesai dari toilet, dan kembali duduk di ranjang, Garin meringis, meraba benjol di keningnya. Cukup besar ternyata, tadi dia lihat di cermin wastafel.

"Makan, ya?"

Garin mengangguk. Duduk menegak, saat Mama menarik overbed table ke hadapannya, lalu mengambil jatah sarapan Garin. Mama tak pernah mau beradu tatap dengan Garin. Hanya saat dia menyuapi makan, matanya menatap wajah Garin, sekilas, lalu akan mengalihkan pandang lagi pada mangkuk nasi.

"Ma, makasih, ya. Kemarin udah izinin aku maen sama Theo. Ma, seandainya aku sembuh, gimana caranya Mama kenalin aku ke Theo sebagai kakak? Theo kan tahunya, aku temennya Bang Gama."

Sendok yang hendak diangkat Mama, terhenti.

"Nanti Mama pikirin, kamu sembuh aja dulu," sahut Mama. Melirik Garin sekilas, lalu mengangkat sendoknya, menyodorkan ke depan mulut Garin.

"Mama, Mama pindah rumah?"

Mama menyimpan sendok pada mangkuk. Mendongak. Menatap Garin.

"Kenapa?" tanya Garin.

Mama tak menyahut. Hanya menatap. Untuk pertama kali setelah sekian tahun, Garin dan Mama kembali beradu tatap lama, walaupun Mama hanya dengan tatapan datarnya.

"Kamu udah tahu jawabannya," Mama kemudian menyahut dengan nada suara yang datar. Lalu tangan rampingnya kembali mengambil sendok, menyendok nasi.

"Cepetan abisin makannya, nanti Mama kompres lagi jidat kamu. Jam 10 Mama harus pergi."

Garin tidak meminta jawaban lebih. Kentara sekali mamanya tak ingin membahas itu. Mungkin jika dibahas lebih dalam juga, itu akan menyakiti Garin.

--

Gama kaget melihat kening Garin. Merah menonjol, cukup besar, tepat di tengah-tengahnya lagi. Mamanya bilang akibat terjatuh, tapi Gama mengembuskan napas lega saat Mama kemudian bilang, tidak apa-apa.

EGO (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang