"Abang, ini kan jalan rumah Bang Garin. Gimana kalau kita maen dulu? Abanggggg!!!" Theo memandang jalan, tempat Garin selalu naik ke mobil Gama dari sana. Kepalanya sampai berputar, tetap memandang jalan itu saat mobil Gama tak berhenti. Lalu Theo melirik abangnya yang terus menjalankan mobil, dan memanggilnya panjang dan nyaring.
"Bang Garin udah pindah rumah," abangnya menyahut.
Theo melirik dengan kening bertaut.
"Hm? Kapan? Kok gak bilang? Bang Garin udah lama gak maen ke rumah, terakhir juga pulang gak bilang Adek. Abang sama Bang Garin berantem, ya?""Nggak, Dek. Bang Garin tiba-tiba harus pindah rumah."
"Ke mana? Ayok kalo gitu, kita maen ke rumah barunya Bang Garin."
"Jauh."
"Kalo gitu, tunggu adek libur sekolah lama, nanti kita ke rumah Bang Garin yang jauh."
"Nanti kalo Adek udah gede, baru Abang ajak Adek ke rumah Bang Garin, ya."
"Kenapa nunggu Adek gede? Adek kan udah boleh naek pesawat, Abang. Lagian, naek pesawat kan gak ada batas umurnya, anak bayi aja bisa." Mata kecil itu kemudian melebar. "Apa ke rumah baru Bang Garin harus pake roket? Makanya anak kecil belum bisa?"
Gama terkekeh, mendengar celotehan anak kecil itu. "Mau ke mana pake roket? Rumahnya Bang Garin banyak penculik anak kecil, makanya nanti aja kalau Adek udah gede. Abang takut Adek diculik."
"Mmm, kenapa Bang Garin pindah rumah ke tempat yang banyak penculiknya?"
"Adek mau boba, gak? Itu di depan ada."
"Mauuu." Theo melirik antusias, tapi kemudian raut wajahnya berubah lagi ke semula, menatap Gama. "Tapi Abang, kalo Bang Garin rumahnya jauh. Siapa yang ajarin adek gitar di sini? Bisa gak suruh Bang Garin ke rumah, satu minggu sekaliii ... aja."
Gama terdiam. "Mm ... nanti minta Mama les gitar aja, ya?" katanya, tanpa mengalihkan pandang dari jalanan.
"Abang beneran lagi berantem ya, sama Bang Garin?"
"Nggak. Adek mau boba rasa apa? Abang kali ini mau beli juga, ah. Kasih tahu dong yang enak rasa apa?"
"Yang oreo cheese enak, yang double chocolate enak, yang apalagi, ya ..."
Gama tersenyum tipis, lalu mengatupkan rahang kuat-kuat. Membelokkan mobil menuju tempat penjual minuman boba.
"Abang nangis?"
Gama sudah secepat mungkin menghapus air mata yang tiba-tiba menetes, sembari memalingkan wajah. Tapi, penglihatan adiknya lebih cepat.
"Abang kenapa?" Anak itu menghadapkan tubuh ke Gama. Memajukan tubuh, lalu memeluk Gama tanpa dipinta. "Abang capek, ya? Adek juga kadang nangis kalo capek."
"Iya, Abang lagi capek, kerjaan Abang lagi banyak banget." Gama balas memeluk tubuh adik kecilnya itu.
"Abang kalo capek ngomong aja ke Adek, gak pa-pa. Adek emang belum bisa bantu Abang, tapi Adek bisa peluk Abang."
Gama menumpahkan tangis di pelukan adiknya. Hal yang pertama kali terjadi; dia meluruhkan punggung tegaknya pada tubuh kecil adiknya.
"Tunggu Adek sekolah yang pinter dulu ya, Abang. Nanti Adek bantu Abang kerja biar Abang gak capek."
Gama semakin menangis mendengar ucapan itu. Lalu dia melepas pelukan, kedua tangannya beralih, mengusap wajah Theo yang sedang memandang tepat ke mata Gama.
"Janji ya, Adek sekolah yang pinter, hidup yang baik, sehat, nurut sama Mama, tapi Adek gak perlu bantu Abang kerja. Kalo Adek udah gede, Adek harus jadi apa yang Adek mau."
"Kalo udah gede, Adek mau jadi kayak Abang."
Gama tersenyum. "Jadi kayak Abang?"
Theo mengangguk kuat.
Senyum Gama mengembang. "Adek bisa lebih dari Abang," katanya, lalu mengecup kening Theo lembut.
"Mau beli boba? Yuk." Gama mengusap matanya.
Theo menggeleng. "Biar Adek aja. Mata Abang merah nanti banyak yang liatin. Mana uangnya, Abang."
Tangan kecil itu menengadah di hadapannya.
"Bisa?"
Theo mengangguk. "Mm, Adek udah gede," ucapnya, yakin.
Gama terkekeh. Mengambil dompetnya, memberikan selembar uang.
"Abang mau beli juga?"
"Ya, tolong ya, beliin Abang sekalian. Rasa apa aja yang menurut Adek enak."
"Oke, Abang."
Theo kemudian keluar dari mobil. Gama memperhatikan dari dalam. Anak kecil itu melewati pintu kaca dengan percaya diri.
Ah, Gama lupa. Ada sesuatu yang harus dia berikan pada Theo. Gama keluar mobil, mengambil barang itu di bagasi.
-
Theo kembali. Gama membukakan pintu mobil. Adiknya masuk ke dalam mobil dengan dua boba di tangannya.
"Abangg, ini," katanya sembari menyodorkan satu kepada Gama.
"Makasih," ucap Gama.
Theo duduk kembali di kursinya.
"Abang punya sesuatu buat Adek. Dari Abang Garin."
"Hm?" Punggung Theo menegak, matanya melebar.
Gama mengambil sesuatu dari bangku belakang. Sebuah gitar yang dibalut tas berwarna hitam dengan segala pernak-pernik yang menempel pada tas itu.
"Woahhh, gitar gede." Bibir anak itu terbuka lebar. "Dari Bang Garin?" tanyanya tampak senang.
Gama mengangguk, mengambil gitar itu dari dalam tas, memberikannya, agak kebesaran saat disimpan di pangkuan sang adik.
"Abang, telepon Abang Garin dong. Adek mau bilang makasih."
"Hm?" Alis Gama terangkat.
"Ah, kemaren handphone Bang Garin ilang. Kayaknya Bang Garin belom beli lagi."
"Yaaa." Bahu Theo menurun. "Terus Adek bilang makasihnya gimana?" katanya dengan bibir yang jadi cemberut.
"Mm, nanti Abang bilangin kalo ketemu."
"Adek juga mau ketemu."
"Nanti, ya?" Gama menatapnya lekat.
Membuat Theo akhirnya mengangguk, walaupun dengan bibir yang masih cemberut, tapi dia kembali senang saat melihat gitar besar di pangkuannya.
Gama tersenyum. Garin juga pasti senang, gitar kesayangannya yang dulu dia beli pake uang tabungannya sendiri, sekarang ada di tangan adik tersayangnya.
Yeah. Gama jadi teringat ucapan perawat kemarin; beberapa jam sebelum jantungnya berhenti, di tengah kondisinya yang melemah, Garin meminta perawat untuk tidak memberitahu Gama karena dia baik-baik saja. Gama mendecih saat mendengar itu. Bahkan di tengah sekaratnya, anak itu masih bilang baik-baik saja, di saat dokter-dokter mengelilinginya untuk memerangi malaikat maut, dia bilang, dia baik-baik saja. Dan kata perawat, Garin bilang seperti itu dengan air mata yang mengalir. Akh, dengan membayangkannya saja, air mata Gama menetes. Tolong yakinkan dia, kalau adik nakalnya itu akan bahagia di sana.
--
❤
Makasih.
🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
EGO (Selesai)
Ficción General**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Hidup semaunya sendiri. Membangkang. Keras kepala. Dan terakhir ... pergi begitu saja. Sombong sekali! Lupa akan semesta yang bisa menghempas tanpa peduli.