"Bang, gue mau ke Bali."Dari hari kemarin kondisinya sangat baik, efek-efek dari kemoterapi sudah tidak terasa lagi. Angka hemoglobin dan trombosit pun lumayan stabil. Garin hanya harus memakan makanan yang bisa membuat angka itu tetap bagus. Maka hari ini, Garin rasa ini hari yang tepat untuk berlibur. Sejenak meninggalkan rumah sakit, sebelum nanti harus mendekam lagi dengan segala kesakitan efek pengobatan.
"Bang," Garin memanggil lagi karena Gama yang tengah duduk di sofa tidak menyahut sama sekali.
"Gak usah buang-buang uang, lo ambruk gue juga yang susah," sahut Gama tanpa mengalihkan pandang dari handphone.
Garin mengulum bibir. "Gue janji gak akan ambruk, gak akan bikin lo susah ... sebelum dikemo lagi, gue mau liburan dulu," katanya pelan, ada nada takut dalam suaranya.
Gama mengembuskan napas keras. Melirik Garin. "Lo emang gak pernah bisa dibilangin ya dari dulu, belum juga ilang sifat buruk lo itu."
Garin terdiam. Dia kalah kalau Gama sudah menyinggung soal dulu.
--
Lupakan tentang pergi ke Bali. Garin tidak berani berbicara lagi setelah siang tadi Gama tidak mengizinkannya. Dia sudah menghubungi Hagi, dan Hagi bilang Garin harus menuruti apa kata abangnya.
Drrrtt ...
Ada pesan masuk. Garin kira balasan dari Hagi, tapi ternyata pesan dari Gama. Jujur setiap melihat nomor abangnya yang menghubungi duluan, Garin selalu deg-degan, saat mendapat pesan atau teleponnya saja, Garin selalu otomatis menegakkan badan, merasa seolah Gama ada di hadapan.
Garin membuka pesan itu. Mulutnya membulat seiring mata yang membola.
Dua buah screenshoot pembelian tiket pesawat atas nama Garindra Bimo tujuan Denpasar-Bali, Ngurah Rai. Penerbangan first class, besok pukul 11.30, dan yang satunya tiket dari Bali, Ngurah Rai ke Jakarta, Soekarno-Hatta, jarak waktunya satu minggu setelah tiket pergi, itu berarti Gama memberi waktu liburan satu minggu. Garin kaget, dari mana Gama tahu nomor KTP-nya untuk memesan tiket itu. Ah, iya. Kan untuk mengurus segala hal tentang pengobatannya menggunakan KTP. Tapi bukan tentang itu yang terpenting. Heii, Gama membelikannya tiket!
Garin ingin mengucapkan terimakasih langsung dengan menghubunginya, tapi teleponnya tidak diangkat juga. Garin beralih ke ruang chat, menulis kalimat ucapan terimakasih diakhiri emot senyum yang banyak. Ceklis dua dalam ruang chat itu langsung berwarna biru, Gama sudah membacanya, tapi tentu tidak mungkin membalasnya, tak apa. Garin tersenyum lebar, beranjak untuk memasukkan beberapa pakaian dan barang penting ke dalam ransel.
--
Tok ...Tok ... Tok ...
Pintu ruang rawat ada yang mengetuk. Garin beranjak untuk membukanya, dia sedang menunggu waktu untuk berangkat ke Bandara. Sejak semalam tak bisa tidur, tak sabar ingin pergi ke sana. Keningnya mengernyit melihat wajah tak dikenal berdiri di ambang pintu.
"Saya dipinta Pak Gama buat anter Mas ke Bandara," ucap orang itu.
Kening Garin yang mengernyit kembali normal, raut bertanya-tanyanya hilang. Garin tersenyum. "Sebentar, Pak, " katanya lalu berbalik masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas.
"Sus, saya pergi dulu," pamit Garin pada salah satu perawatnya yang berpapasan.
Perawat yang tidak terlalu muda itu tersenyum. "Iya hati-hati, jaga kesehatan, jangan sampe drop, minum obatnya, makan yang bener," amanatnya beruntun.
Garin mengangguk, tersenyum, kemudian melanjutkan langkah mengikuti orang yang diperintah Gama untuk mengantarkannya ke Bandara, padahal tadinya Garin akan berangkat menggunakan grab saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
EGO (Selesai)
Fiksi Umum**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Hidup semaunya sendiri. Membangkang. Keras kepala. Dan terakhir ... pergi begitu saja. Sombong sekali! Lupa akan semesta yang bisa menghempas tanpa peduli.